Ricky masih berusaha mencerna keadaan, kemudian dia menatap Arman dengan tatapan ragu. "Profesor, apa maksudnya ini?"
"Sudah aku katakan sebelumnya, dia adalah subjek. Aku memilihnya karena kondisinya yang cukup menarik, sekitar 2 tahun lalu dia pernah berkonsultasi denganku, tapi sayangnya dia cuma datang 1 kali. Tapi jika proyek ini berhasil, maka itu akan membuahkan hal positif bagi seluruh dunia."
"Memangnya tujuan penelitian kali ini untuk apa?" tanya Ricky.
"Menghapus perasaan manusia." jawab Arman penuh keyakinan.
"Apa ayah sudah gila?! Jika manusia tanpa perasaan memangnya itu bisa disebut sebagai manusia lagi?! Pokoknya aku nggak dukung proyek ini!" bantah Aslan.
"Cih, semua penemu pada awalnya juga dianggap gila. Manusia yang ingin terbang akhirnya menciptakan pesawat. Pikirkan ini, dengan adanya perasaan, manusia bisa sedih, marah, depresi, takut. Manusia yang memiliki perasaan itu sudah menghasilkan teknologi-teknologi yang canggih seperti saat ini. Bagaimana jika ada seseorang yang tidak punya perasaan apa pun dan hanya fokus pada ilmu pengetahuan? Bukankah ini sebuah terobosan baru untuk dunia?"
"Tapi ayah ..."
"Diam! Tidak ada tapi! Lagi pula bukan kamu yang paling berperan di sini!"
Seketika suasana menjadi hening, Aslan merasa geram namun tak kuasa melawan ayahnya, sedangkan Arman malah mengabaikan ucapan dari anaknya dan malah terus menatap Ricky dengan tatapan berharap. Tetapi setelahnya Ricky malah meletakkan kembali berkas itu ke meja.
"Maaf profesor, sepertinya aku kurang cocok untuk proyek penelitian ini. Aku berfokus pada pembedahan, sebaiknya cari saja seseorang dari jurusan psikiatri." ucap Ricky yang langsung membuat tatapan Arman berubah sinis.
"Keluar!!"
"Eh?!" Ricky tersentak. "I-iya aku keluar ..."
"Bukan kamu! Tapi Aslan yang keluar!"
"Kok aku ...??" Aslan kebingungan namun ayahnya masih menatapnya dengan tatapan memaksa, akhirnya pun dia keluar dan sekarang hanya tinggal Ricky dan Arman saja yang berada dalam ruangan.
"Hahh ... sulit juga ya meyakinkanmu, sepertinya aku harus mengatakan semuanya." ucap Arman sambil menggelengkan kepala.
"..."
Aku baru pertama kali lihat profesor yang punya temperamen begini.
Arman membenarkan posisi duduknya serta melipat kedua tangan. "Aku akan langsung saja, ini adalah kesempatan emas bagimu untuk meraih lebih dari yang kamu impikan. Sebentar lagi kamu akan menghadapi ujian sertifikasi dokter, aku sangat yakin kamu akan lulus dengan mudah mengingat kemampuanmu itu. Tapi ... tidakkah pernah kamu punya ambisi yang lebih dari itu?"
"Menjadi dokter spesialis bedah adalah mimpiku sejak lama. Tapi apakah maksud dari profesor barusan adalah sesuatu yang berhubungan mengenai jabatan?" tanya Ricky yang juga mulai serius.
"Benar, dan lewat proyek penelitian ini aku bisa membantumu. Karya-karya ilmiah mu sebelumnya memang mengagumkan, tetapi yang satu ini akan lebih menantang dan berpengaruh besar. Jika berhasil, bila saatnya tiba nanti aku akan membantumu mendapatkan gelar sebagai profesor dengan merekomendasikanmu menjadi guru besar yang baru di universitas ini."
"Apa?!" Ricky membelalak.
"Kita tahu kalau profesor bukanlah derajat akademik, tetapi suatu jabatan yang erat kaitannya dengan dengan kedudukan di perguruan tinggi. Dengan begitu, kamu mungkin akan mencetak rekor sebagai profesor termuda di negara ini. Dan bukan cuma itu, tidak sedikit juga kesempatanmu untuk andil dalam Asosiasi Kedokteran. Singkatnya, ini adalah kesempatan yang sangat sayang untuk dilewatkan."
"Tapi ... tetap saja ini bukan bidang yang aku tekuni, bagaimana jika aku melakukan kesalahan? Meneliti mental seseorang itu bukan hal yang pasti, dan juga apakah subjek itu sendiri sudah tahu akan hal ini?" tanya Ricky dengan nada ragu.
"Subjek belum tahu, karena ini bersifat rahasia. Kamu sudah melihat sendiri reaksi Aslan, sangat mungkin jika di luar sana akan ada banyak orang yang menentang hal ini dengan alasan kemanusiaan dan sebagainya. Tetapi jika berhasil pasti tidak sedikit juga orang yang tertarik, intinya penelitian ini akan menimbulkan pro dan kontra."
"Lalu bagaimana jika subjek melawan lewat jalur hukum?" tanya Ricky lagi.
"Kamu tenang saja, akan ada kenalanku yang mengurusnya. Jadi sebenarnya sudah ada beberapa yang mendukung proyek ini, sponsor kali ini juga tidak sembarangan, jika kamu butuh apa pun dalam penelitian ini maka bilang saja apa yang kamu butuhkan."
"Ohh ... Jika ini bersifat rahasia, bagaimana caraku mengamati subjek dari dekat? Dengan memalsukan identitas?"
"Tepat! Aku memang tidak salah memilih orang! Identitasmu akan dipalsukan menjadi mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan MIPA, nantinya kamu akan datang ke sekolah itu sebagai mahasiswa yang melaksanakan PPL atau Program Pengalaman Lapangan. Mengingat kemampuanmu, aku rasa PPL akan lancar karena itu jauh lebih sederhana dari bidang yang kamu tekuni sekarang. Mungkin akan terasa aneh karena itu sekolah swasta dan hanya kamu seorang, jika ada yang bertanya maka kamu jawab saja kalau kepala sekolah di sana adalah kerabatmu. Lagi pula kepala sekolah SMA Langit Biru juga adalah kenalanku."
Arman sekali lagi menyodorkan berkas itu ke arah Ricky.
"Jalan lurus tanpa hambatan sudah terbentang di depanmu, dan kamu sepertinya juga tertarik. Ambillah berkas ini, di dalamnya ada seluruh informasi tentang subjek yang diketahui oleh pihak sekolah."
Ricky membisu, sejenak dia melirik ke arah berkas itu namun setelahnya dia malah menunduk. "Bisakah profesor memberi waktu untuk berpikir?"
Arman menghela napas. "1 hari, bawa pulang berkas itu dan besok katakan apa keputusanmu. Jika kamu menolak maka lupakan semua yang aku katakan barusan!"
"Baik prof," ucap Ricky seakan tidak bertenaga.
***
Malam hari, di sebuah apartemen yang berada di pusat kota. Apartemen tipe loft 2 bedroom, Ricky memilih apartemen dengan 2 kamar karena terkadang orang tuanya juga berkunjung dan menginap di sana.
Ricky duduk di meja belajarnya sambil membolak-balik halaman berkas yang diberikan oleh Arman. Dia berpikir sangat keras hingga merasa kehausan, lalu dia meminum segelas kopi yang telah dia buat sebelumnya.
"Nisa ... Nisa ..." gumamnya.
Kenapa manusia satu ini harus lahir?! Bikin susah orang aja! Aku belum kenal tapi aku sudah membencimu. Gimana enggak? Karirku yang bahkan belum dimulai sekarang terancam hancur.
"Profesor Arman itu cukup terkenal dan berpengaruh, dia juga pakar dalam bidang psikologi. Jika aku bertentangan dengannya, bisa-bisa nanti dia akan mempersulitku. Aku bukannya takut, tapi rasanya susah kalau itu sampai kejadian."
Ricky mengacak-acak rambutnya akibat frustrasi.
"Arghhh! Bisa gila aku!"
"Padahal jelas-jelas ini menentang hukum! Subjek nya aja nggak tau atau bahkan setuju, gimana kalau nanti cuma aku yang kena terus aku dipenjara?"
"Nggak! Pokoknya jangan sampai! Mulai sekarang jaga-jaga ... tiap kali ketemu profesor harus diam-diam aku rekam, pokoknya juga kumpulkan bukti tentang profesor agar nanti dia nggak bisa lepas tangan gitu aja!"
Ricky lalu kembali melihat isi berkas itu.
"Aneh, di sini ditulis kalau dia berprestasi di pelajaran dan olahraga. Kejuaraan taekwondo, karate, kungfu blablabla ... Gila! Hampir semuanya diborong! Fisiknya bukan maen ..."
Ricky membalik halaman selanjutnya yang memuat tentang foto-foto Nisa.
"Loh?! Kok dia kecil begini? Dilihat-lihat dari mukanya ... Dia mirip penderita anemia yang nggak punya semangat hidup."
Profesor bilang sekitar 2 tahun lalu, Nisa ini sudah konsultasi di usianya yang ke-14 tahun. Tetapi nggak ada catatan medis penyakit atau pengalaman trauma sebelumnya. Sekarang aku jadi tau kenapa profesor menyebutnya dengan kondisinya menarik.
Ricky kemudian melanjutkan membaca hingga halaman terakhir. Sejenak dia merenung, lalu setelahnya dia kembali meneguk kopi hingga habis. Dia bahkan meletakkan gelas kosong itu dengan semangat.
TAKK!
"Sudah aku putuskan! Ayo lakukan meskipun nanti sulit! Aku nggak mau buat masalah sama profesor lalu ayah sampai terlibat, ayo mandiri!"
Kalau dipikir-pikir ... Mungkin ini yang namanya takdir kebetulan. Tadi pagi aku habis menyerempet siswi SMA Langit Biru, sekarang aku punya kesempatan buat cari tau siapa dia dan minta maaf.
Ciri-cirinya yang aku tau cuma dia punya rambut warna pirang. Sedangkan Nisa yang subjek ini di foto rambutnya hitam, mungkin nanti aku harus tanya apa dia kenal sama yang rambut pirang.
"Oke, sekarang ayo tidur! Siapa tau besok adalah hari yang melelahkan!"
***
Keesokan harinya. Hari ini Ricky bangun lebih awal dari biasanya dan cepat-cepat pergi ke kampus. Setibanya di kampus, tempat yang pertama kali dia datangi adalah ruangan Arman.
Di ruangan itu ternyata Arman sudah menunggu-nunggu kedatangan Ricky. Bahkan begitu Ricky duduk, tanpa basa-basi lagi dia langsung berkata, "Bagaimana keputusanmu?"
"Aku terima." jawab Ricky penuh keyakinan.
"Hahahaha! Bagus, bagus! Keputusan yang sangat tepat!" Arman tertawa gembira.
"Ehmm ... Profesor, bolehkah aku tahu alasan profesor memilihku selain karena kemampuanku? Bahkan jika dipikir-pikir secara kemampuan, di bidang ini sudah jelas anak didik profesor lebih unggul."
"Karena aku melihat potensi dalam dirimu. Dan itu harus diasah. Kecerdasanmu bukan penentu, mental jauh lebih penting. Kamu bisa saja super duper genius yang cuma butuh 1 kali baca untuk memahami seluk-beluk ilmu kedokteran. Tapi itu belum cukup untuk kamu menjadi dokter yang sebenarnya. Proyek penelitian ini juga akan bermanfaat untukmu, setelah ini mentalmu akan jauh lebih kuat dari sebelumnya."
"Begitu ya," Ricky lalu mengulurkan tangannya dan tersenyum. "Mari berjabat tangan prof, sebagai tanda dimulainya penelitian ini."
Arman juga tersenyum lalu berjabat tangan dengan Ricky. "Iya, mohon kerja samanya. Tapi ... kamu membawa pulpen perekam suara ternyata." ucap Arman sambil melirik ke arah saku almamater Ricky.
"Eh?! Bagaimana profesor bisa tahu?" seketika Ricky melepas jabat tangannya dan ekspresinya panik.
"Karena aku juga punya satu yang model seperti itu di rumah. Ngomong-ngomong sekarang aku juga sedang membawanya," Arman lalu menunjuk ke arah tempat pensil yang berada di meja kerjanya.
"Haha, jangan panik begitu. Aku juga melakukannya untuk berjaga-jaga. Seandainya penelitian ini berhasil aku hanya khawatir kamu akan membuang namaku dan hanya mencantumkan namamu."
"O-ohh ... begitu toh," Ricky lalu tersenyum canggung sambil menggaruk tengkuknya. "Aku juga sama haha, aku khawatir kalau profesor nantinya akan membuangku jika penelitian ini berhasil."
"Tidak perlu merasa tidak enak. Wajar kok merasa khawatir."
"Iya, haha ..."
Syukurlah dia salah mengerti, malahan justru aku berpikir penelitian ini akan gagal. Tetapi profesor sangat optimis, sepertinya masih ada sesuatu yang belum aku ketahui.
"Oh iya, perlengkapanmu seperti almamater baru, kartu identitas dan lain-lain akan aku siapkan hari ini. Besok kamu sudah bisa pergi ke SMA. Jika ada kendala, kamu bisa minta bantuan Aslan."
"Eh? Bukannya kemarin Aslan menolak?"
"Semalam aku sudah bicara dengan anak itu. Lagi pula kalian berdua kan bersahabat, sudah pasti dia akan membantumu. Sisanya untuk urusanmu di kampus, sebisa mungkin aku akan mengaturnya agar tidak terlalu mengganggumu saat penelitian."
"Baik, terima kasih atas bantuannya profesor ..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
shera
Anemia ya allah💪😭
2022-01-14
0
shera
gw dukung aslan👍 emang gila bapak lo as
2022-01-14
0