Bab 4

Hari pertemuan itu tiba. Aku didandani begitu cantik oleh pelayan. Dress selutut tanpa lengan dengan warna peach membalut tubuh rampingku. Sedangkan rambutku dibiarkan tergerai, dengan aksesoris penjepit di sisi kepala. Sebuah kalung permata di leherku. Aku terlihat sempurna di depan cermin.

Pertemuan itu akan diadakan di restoran sebuah hotel, kata ayah. Aku pergi ke tempat itu dengan diantar supir sendirian. Ayah langsung pergi ke kantornya, sedangkan kedua kakakku sibuk dengan tugasnya.

Aku senang, karena Calvin tidak mengusulkan untuk mengantarku. Entah apa yang dipikirkan pria itu, padahal ada kesempatan bagus untuk bisa mencegahku bertemu dengan calon masa depanku.

Kata ayah, restorannya berada di lantai tiga puluh. Maka aku masuk ke lift yang langsung membawaku melesat dengan cepat ke lantai tersebut. Begitu pintu lift terbuka, aku melangkah keluar. Hanya ada satu koridor lurus di mana di ujungnya terdapat pintu ganda berwarna cokelat.

Sudah ada dua pelayan berjaga di depan pintu. Aku dihentikan oleh keberadaan mereka.

"Apakah anda memiliki kartunya?" kata pelayan itu bicara padaku.

Kartu?

Aku tidak diberitahu kalau masuk ke restoran harus memiliki kartu. "Kartu apa yang kalian maksud?" tanyaku sangat polos.

"Oh, mohon maaf nona. Untuk masuk ke tempat ini harus memiliki kartu member. Jika anda tidak memilikinya, maka dengan berat hati kami tidak mengizinkan anda melewati kami," kata pelayan itu dengan ramah.

Aku memutar mata. Oh ayah! Mengapa kau tidak pernah mengatakan hal ini kepadaku! Jadi, apakah rencana perjodohan itu akan kandas hanya karena aku tidak mempunyai kartu member?

Kucoba menghubungi nomor ayah. Namun teleponku tidak cepat diangkat. Aku mendengus sebal. "Apakah seseorang tidak berpesan pada kalian kalau ada orang memesan meja?" tanyaku tidak berniat menyerah.

Kedua pelayan itu bertatapan. "Kalau boleh tahu atas nama siapa?"

"Clara Jaromir," jawabku.

"Oh! Nona Clara. Memang benar ada reservasi meja atas nama nona Clara Jaromir. Silakan masuk, nona."

Akhirnya! Kenapa tidak dari tadi!

Begitu masuk, restoran itu tampak lengang dari pengunjung.

Aku diarahkan ke meja bundar oleh pelayan. Kemudian aku duduk di tempat itu menunggu seseorang datang. Aku penasaran. Aku merasa berdebar-debar akan seperti apa pria itu nanti?

"Clara?" panggil suara renyah itu, membuat kepalaku reflek menoleh dari jendela.

Mulutku terbuka, dan aku terbengong ketika mengetahui siapa pria yang datang menyapaku.

"Kau?" Aku tidak bisa berkata-kata, ketika pria itu menarik kursi di hadapan dan duduk satu meja denganku. Hanya ada dua kursi di meja ini di mana kursi di depanku harusnya diisi dengan seseorang yang dijodohkan denganku. Apakah itu artinya pria ini adalah .... calon suamiku?

"Kau datang atas undangan ayahku untuk menemuiku di sini?" tanyaku setengah tak percaya.

"Ya. Akulah calon suamimu, Clara," pungkas pria itu. Aku melongo, lalu mataku memindai penampilannya. Pria itu mengenakan setelan jas biru dongker. Rambut hitam mengilap dengan model maskulin. Secara keseluruhan, penampilannya sungguh terlihat dewasa dan memesona. Membuatku sampai terpana.

Cepat-cepat aku berdeham. "Ini adalah pertemuan pertama kita setelah beberapa tahun tidak bertemu," ucapku.

"Kau benar," sahutnya. "Dan hal itu membuatku merasa pangling saat melihatmu yang sekarang," ujar pria itu.

"Benarkah? Seperti apa aku di matamu?" timpalku bertanya.

"Seperti bidadari dari kayangan."

Aku terkekeh seketika. "Leluconmu lumayan bagus!"

Pria itu tersenyum. Wajahnya nampak ramah. "Aku serius, kau terlihat cantik. Ini di luar dugaanku. Mungkin karena kita sudah lama tidak bertemu," kata pria itu.

"Kau juga terlihat tampan," balasku dengan santai. "Bagaimana kau bisa diundang ayahku sebagai mantunya?" Aku mengambil gelas wine lalu meminumnya sedikit.

"Itu karena kami sering bertemu dalam pertemuan bisnis. Kebetulan ayahku dan ayahmu saling kenal sebagai rekan bisnis," jawab pria itu.

Stephen nama panggilannya. Teman masa kecilku dulu. Malahan satu-satunya temanku yang sangat akrab denganku. Kami lost contact sejak kelulusan sekolah pertama.

Setelah kami selesai makan, kami berpisah untuk pulang. Stephen mengantarku sampai depan lobi. Sedangkan mobil pribadiku sudah tiba di sana. Kami saling melempar senyum dan berpamitan.

"Sampai jumpa lagi, Stephen!" Lalu aku masuk ke dalam mobil. Duduk di belakang supir.

"Bagaimana makan malamnya?" Tiba-tiba aku terhenyak kaget mendengar suara familiar. Aku melirik ke depan. Seketika napasku tercekat begitu mengetahui supirku adalah Calvin!

"Kakak!" pekikku tertahan. "Di mana pak Gerry?"

"Dia sedang cuti," jawab Calvin singkat. "Pindah dudukmu ke depan!" titah Calvin dengan tegas.

"Tidak mau!" tolakku.

Ciiiiiiiiiit

Mobil mengerem mendadak, membuat kepalaku terbentur ke kursi depan. Pintu di sampingku dibuka oleh Calvin. "Keluar!" perintahnya. Aku mendelik tajam padanya, tapi kemudian menurutinya dengan melangkah keluar mobil.

Calvin langsung menarik tanganku, membuatku berjalan terseret olehnya saat memutari kap mobil lalu dia membuka pintu lain. "Masuk!" Calvin mendorong pundakku. Aku tidak bisa menolaknya. Lantas aku menyelinap duduk di samping kursi kemudi.

Calvin kembali lagi di kursi kemudinya. Dalam sekejap mobil kami melaju lagi dengan mulus. Tidak ada percakapan di antara kami. Suasana di dalam mobil sangat hening.

Tidak lama kemudian kami sampai di depan rumah. Aku buru-buru keluar mobil. Setelah memasuki rumah, aku sadar tidak ada siapapun di rumah kami. Jam segini para pelayan pasti sudah pulang. Orang tuaku entah ada di mana. Aku tak memusingkan mereka, lalu berjalan ke kamar.

Tidak lupa dengan mengunci pintu kamar. Takut-takut Calvin akan menyelonong masuk. Aku melempar tubuhku ke kasur. Tengkurap. Pikiranku melayang pada pertemuan pertama dengan Stephen. Aku mengambil ponsel, dan terdiam seketika.

Aku lupa meminta nomornya, sial. Saking asiknya kami mengobrol sampai lupa satu hal penting itu. "Argh!!! Bodoh kau Clara!" Aku menggeram kesal. Bisa-bisanya aku lupa meminta kontaknya.

Tunggu dulu, bukankah ayah pasti punya kontak Stephen? Minta saja pada ayah! Lantas aku mengetikkan pesan singkat pada ayah untuk meminta nomor Stephen. Setelah terkirim, aku meletakkan ponsel lalu bangkit duduk.

Aku menghela napas. Melirik jam di atas nakas. Pukul setengah sepuluh malam. Seperti biasa, sebelum tidur aku akan pergi ke kamar mandi. Karena aku belum mandi, jadi aku membersihkan tubuhku dulu dengan air hangat di bawah shower.

Tidak terlalu lama mandi, aku memakai mantel handuk, mengikat talinya di pinggang. Melihat gelas di nakas tampak kosong, aku berniat mengambil air minum ke dapur. Salah satu kebiasaanku kalau setiap malam harus ada air minum di kamar, untuk diminum begitu bangun tidur. Maka membawa gelas kosong, aku menuruni anak tangga.

Ketika sampai di lantai bawah, aku terdiam sejenak mendapati Calvin ada di dapur. Haruskah aku putar balik dan menunggu Calvin pergi dari sana?

"Ada apa? Kemarilah. Aku akan mengambilkan air minum untukmu," kata Calvin menyadari keberadaanku.

Kakiku bergerak melangkah maju. Calvin mengambil air mineral dingin dari kulkas, dia juga mengambil gelas baru dari dalam kabinet. Menuangkannya sampai penuh. Lalu mendorong gelasnya kepadaku.

Sedangkan gelas kosong yang kubawa, harus dicuci. Aku menerima gelas darinya. Meneguk air dinginnya yang seketika mengalir segar di tenggorokan. Hingga kurasakan sepasang tangan memeluk perutku, punggungku menempel di dada bidang Calvin yang berada di belakangku.

Mulai lagi .... Tidak bisakah pria ini tidak menempel padaku sehari saja?

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!