Bab 2

Setelah selesai makan malam keluarga, aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton televisi. Tiba-tiba Carey ikut duduk di sampingku.

"Apa kau yakin akan menerima pertunangan itu?" kata Calvin meragukanku.

"Ya, aku akan menerimanya dalam hidupku."

"Wah, mendengar jawabanmu, aku jadi curiga, apa kau sudah pernah bertemu dengannya?" tanyanya cukup bawel.

"Tidak, bahkan aku tidak tahu namanya apalagi wajahnya," jawabku acuh.

"Jangan salah pilih pria. Ingat, dia akan menjadi masa depanmu. Aku tidak setuju jika kau tidak mencintainya dan dia tidak mencintaimu balik," ucap Carey.

Dengar kan? Pria ini adalah kakak kedua yang terbaik bagiku. Dialah sosok kakak yang sebenarnya dengan segala sikap wajarnya kepada adik perempuan.

"Terima kasih sudah peduli padaku, kak. Aku tahu mana pria yang baik untuk hidupku. Untuk itulah aku akan memutuskan dengan siapa aku akan hidup nanti," kataku sambil menatap lurus ke layar televisi.

"Baguslah. Jangan tidur kemalaman. Aku ke kamar," pamit Carey mengusap rambutku kemudian beranjak pergi.

Sedangkan aku masih bergeming di depan televisi. Menonton drama romantis kesukaanku yang tayang tiap malam. Sampai tidak menyadari jam semakin larut malam, dan suasana rumah sudah sepi dan gelap.

Aku tidak peduli. Alih-alih pergi ke kamar untuk tidur, aku meneruskan tontonanku sambil berbaring di sofa panjang. Hanya cahaya dari televisi yang menerangi ruangan ini. Perlahan-lahan membuat mataku memberat dan aku mulai tertidur ketika merasakan pergerakan lain di sofaku.

Sontak aku terjaga lagi. Nyawaku yang tadinya hendak terjun ke dunia mimpi, sekarang bagai tersedot kembali ke dunia nyata. Kudapati sosok Calvin duduk ditepi sofa. "Jangan tidur di sini," kata suara berat Calvin.

Pria ini berbahaya, otakku memperingatkan. Tetapi rasa kantuk yang menguasai, membuat kewaspadaanku menurun terhadap Calvin. Aku percaya Calvin tidak akan bertindak kasar padaku selama aku tidak membuat kesalahan. Dan sejak seharian penuh ini, aku cukup percaya diri tidak melakukan hal yang membuatnya marah. Jadi aku pikir aman untuk sekarang.

Tapi ternyata tidak!

Aku tersentak ketika merasakan tekanan lembut pada bibirku. Ketika mataku terbelalak, kepala Calvin menghalangi pandanganku sepenuhnya. Dia menciumku!

Aku memberontak. Memberi isyarat agar dia melepas ciumannya. Kemudian Calvin menjauhkan wajahnya tapi tidak mengubah posisinya di dekatku. Dia mengusap garis bibirku yang kering sambil menatap mataku dengan tatapan gelap.

"Bibir ini tidak boleh diambil pria lain," ucap Calvin.

Lalu tanpa diduga, dia kembali merunduk dan menjangkau permukaan bibirku penuh. Aku memelotot. Terutama ketika kami 'bersilat lidah' dengan tubuh panas Calvin di atasku. Tidak ada balasan dariku selain menjadi pasif dibawah tekanannya yang mendominasi.

Calvin itu sekeras baja dan dia tidak peduli bagaimana aku memberontak. Sebab apapun bentuk penolakanku dalam situasi seperti ini, tidak berarti apa-apa bagi Calvin, dan hanya kesia-siaan bagiku. Sampai-sampai akhirnya aku kehabisan napas dan mulai memukul keras pundaknya berkali-kali.

Perlahan Calvin menarik dirinya. Melepas tautan bibir kami, dan benang tipis terjuntai membentuk jembatan bening yang saling terhubung sebelum putus di dagu kami.

Napasku terengah-engah. Aku mendelik tajam pada Calvin. Tapi sepertinya dia tidak peduli mau aku suka atau tidak. "Apa kakak gila? Bagaimana jika orang tua kita tahu!" protesku.

Calvin mengusap daguku dengan lembut. Kemudian tanpa menjawabku, dia menggendong tubuhku tiba-tiba. "Turunkan aku!" Aku menendang-nendang angin. Calvin abai. Dia membawaku naik ke lantai dua. Ketika berjalan melewati pintu kamarku, aku meronta-ronta minta diturunkan.

Sebenarnya dia mau membawaku kemana!

Sekali lagi, kedua lengannya yang terasa sekeras batu itu tidak bereaksi terhadap pemberontakanku. Calvin menggendongku seolah tidak terganggu dengan beban di tangannya.

"Kakak, aku akan teriak!" ancamku.

"Silakan saja teriak, biar mereka tahu bagaimana kau dan aku," kata Calvin menyeringai. Aku kalah tiap kali berdebat dengannya. Setiap ancamanku kepadanya bagaikan angin lewat.

Ini menjengkelkan sekali!

Kemudian Calvin membuka pintu, dan aku segera tahu dibawa kemana diriku. Adalah ke kamarnya! Kamarnya berada diujung lorong dan agak terpisah dari lorong kamar lain.

Begitu suara kunci terdengar, aku merinding seketika. Mengapa dia harus mengunci pintunya!

"Kalau tidak aku kunci, mungkin seseorang akan menyelonong masuk tanpa permisi dan mengganggu kegiatan kita berdua di malam yang panjang," kata Calvin seakan mendengar suara hatiku. Lalu dia membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Seketika aroma cool terserap ke indra penciumanku.

Aroma khas Calvin yang membuatku merasa nyaman.

Pria itu lantas turut berbaring di sampingku. Dia menarik punggungku mendekat, mendekapku erat dengan lengan kokohnya menjangkau seluruh punggungku.

Aku tahu Calvin tidak akan berbuat seperti yang lebih dari itu. Aku paham sifatnya. Selama aku tidak mengundang sisi lelakinya, maka dia tetap menjadi anjing yang tenang.

"Malam ini kau tidur di kamarku," kata Calvin. Dia memeluk kepalaku ke lehernya.

"Kenapa?" Aku bertanya.

"Hanya ingin."

Kemudian hening.

Aku pikir dia sudah tidur. Jadi aku memejamkan mata, lalu suara beratnya kembali terdengar. "Tolak pertemuan besok lusa. Aku tidak setuju kau berhubungan dengan pria lain. Kau masih terlalu muda. Apa kau tidak ingin menghabiskan masa mudamu dengan bersenang-senang?" kata Calvin.

Bersenang-senang? Aku mendengus. "Bagaimana aku bisa bersenang-senang dengan semua teman-temanku kalau kakak selalu saja melarangku pergi dengan mereka," keluhku menyindir perkataannya barusan.

"Aku hanya melarangmu bermain dengan teman-teman pria. Aku hanya melarangmu pergi tanpa diriku jika di malam hari. Semua laranganku semata untuk melindungimu dari kaum pria brengsek di luar sana," jelas Calvin dengan nada lembutnya. Kalau dia sudah bicara menggunakan intonasi yang pengertian, itu selalu membuatku luluh dan menjadi penurut padanya.

Jadi, siapakah di sini anjingnya?

"Aku sudah cukup umur untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Besok lusa aku tidak ingin membuat ayah kecewa padaku. Setidaknya aku harus menemui seperti apa dia," ucapku setengah mengantuk.

Samar-samar aku mendengar suaranya mengatakan sesuatu sebelum aku benar-benar jatuh ke alam mimpi.

"Jadi, kau ingin aku melakukannya, huh?"

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!