Episode 3

Pukul 03.00 WIB dinihari rumah Bibi Inah sudah terlihat geliat para penghuninya. Mendengar gemericik air di kamar mandi belakang serta langkah kaki silih berganti Ahmad terjaga dari tidurnya dan mengambil HP nya dari atas meja kamar untuk mengecek jam. Ahmad bergegas bangun dan mengambil air wudhu dan melaksanan sholat sunah dan doa-doa panjang untuk dirinya dan orang-orang yang ia cintai serta semua yang terlintas di pikirannya. Begitu khusuk, begitu damai sampai tak terasa mengalir air matanya.

Ahmad adalah laki-laki sensitif, meski tampak dari luar dia lelaki berotot tangguh tinggi besar dan tegap namun hatinya sangat rapuh, hingga saat Ahmad berumur 23 tahun ibunya memohon-mohon agar Ahmad menikahi gadis satu Desa dengannya Ahmad hanya menurut dan tanpa berfikir panjang. Yang dia tau orang tuanya pasti telah memikirkan baik buruknya, namun nasib berkata lain.

Hingga saat ini Ahmad tak ingin menyalahkan siapapun atas takdir yang harus ia jalani dan ia pun tak berani berandai-andai setelah matanya menangkap sosok cantik kemarin dan debaran aneh hatinya yang belum sepenuhnya ia mengerti.

Ahmad merenung setelah rangkaian ibadah yang baru saja ia jalani, semenjak ia sekolah kemudian masuk pesantren dan keluar dari pesantren saat berumur 21 tahun dan membantu ayahnya mengelola sawah dan tambak ikan milik ayahnya sambil merintis usaha dengan jual beli gula kelapa. Ahmad mejadi salah satu pebisnis yang cukup disegani di Desanya. Ia membeli gula dari para petani dan menjualnya kepada pedagang yang ada di kota dan setelah kepergiannya ia serahkan semua usahanya lebih tepatnya dipaksa menyerahkan usahanya kepada mantan istrinya.

Awalnya mantan istrinya menggertak Ahmad bila Ahmad ingin bercerai darinya Ahmad harus keluar tanpa membawa apapun, dengan berfikir pasti Ahmad tak rela jika harus meninggalkan aset-asetnya yang dia bangun sejak 5 tahun ini hingga menjadi kebanggaannya. Rumah permanen yang sangat layak, gudang penyimpanan gula, sebuah truk pengangkut gula dan pastinya para rekan bisnisnya yang lebih dari 10 orang.

Sungguh tak percaya Ahmad rela meninggalkan semuanya demi status baru yang ia sandang "DUDA". Ahmad berfikir untuk apa harta dan kekayaan yang melimpah sedangkan ia harus tersiksa setiap saat. Istrinya sangat pencemburu. Ruang gerak Ahmad sangat dibatasi. Bila Ahmad pulang dari liar kota bajunya selalu diciumi untuk mencari jejak apakah ada jejak bau perempuan di sana, belum lagi sang sopir yang menemaninya selalu di interogasi terus menerus sampai istrinya puas menanyakan semua hal.

Ahmad lelah seringkali dia telah kehabisan tenaga dijalan untuk mengawal barang dagangannya sampai ditangan konsumennya dengan baik tapi setelah sampai rumah istrinya tak pernah membiarkannya langsung beristirahat dengan tenang, selalu harus laporan dulu mengenai detail cerita perjalanannya dari awal hingga akhir sampai di rumah. Bahkan Ahmad tidak mau berlangganan rumah makan untuk menghindari kecurigaan istrinya.

Ahmad mengakhiri lamunannya ketika adzan Subuh terdengar bersahutan dan ia beranjak keluar kamar menuju mushola Pak Ikhsan.

Setelah sholat Subuh Ahmad, Paman Mukhlas dan Bibi Inah duduk bersama menikmati sarapan pagi yang telah Bibi Inah masak sebelum Subuh tadi.

Disela-sela makan Paman Mukhlas bertanya pada Akhmad, "bagaimana bisnismu, aku lihat sudah berkembang apa kamu tinggalkan begitu saja? kan sayang, kamu memulainya dengan susah payah masa sekarang kamu tinggal begitu saja". Sebenarnya Paman Mukhlas mau menanyakannya sedari kemarin saat Ahmad baru datang dan bilang ingin nginap disini beberapa hari, namun niat itu ia urungkan setelah ia melihat muka Ahmad yang terlihat murung dan lingkar mata Ahmad yang membesar bertanda kurang istirahat.

"Aku tinggal semuanya paman, aku yakin Yati bisa meneruskan usaha itu. Kita dulu punya orang kepercayaan dan hitung-hitung sebagai ganti nafkah yang harus ku berikan pada Putri anak kami". terang Ahmad.

"Oh...,ya sudah kalau itu keputusanmu. Sebenarnya kamu usaha kan sebelum kamu menikah, seharusnya itu hak kamu, kamu membagi harta yang kamu dapat setelah menikah sebagai gono-gini, tapi bila sudah keputusanmu seperti itu ya mau apalagi?" ucap paman Mukhlas.

"Iya paman, aku tak mau berurusan lagi dengan Yati, walaupun ada anak kami yang bersamanya, biarlah nanti kita bahas bila sudah mereda emosi kita, toh harta masih bisa kita cari lagi nanti" lanjut Ahmad.

"Ayo sudah siang, kita berangkat. Ahmad ayo kamu ke rumah Pak Ratno bersama kami, biar kami kenalkan kamu sama Pak Ratno", ucap Bibi Inah

"Ayo Bibiku sayang..", jawab Ahmad dengan semangat. Ahmad membayangkan bertemu dengan Ani pemilik wajah ayu.

Sesampainya di rumah Pak Ratno mereka bertiga masuk lewat pintu belakang dan belum sampai kedalam Bibi Inah sudah disambut pelukan si kecil "Ria". Ani adalah empat bersaudara, Ani anak pertama dari Pak Ratno dan Bu Indah, anak keduanya Raka yang berumur 15 tahun saat ini sekolah di SMP kelas 3, adiknya Rio berumur 10 tahun sekolah kelas 4 SD dan si kecil Ria yang masih berumur 4 tahun.

Bibi Inah meraih tubuh Ria dengan gemasnya dan Paman Mukhlas tak ketinggalan mencubit pipi Ria dan menciumnya dengan tak kalah gemasnya. Pipi Ria yang gembul dengan celotehnya yang belum terlalu fasih berbicara membuat siapapun gemas saat di dekatnya.

Ahmad mematung melihat pemandangan didepannya, ada rasa haru yang menyelinap dihatinya membayangkan anaknya yang dua hari ini belum dia lihat. "Putri, kau sedang apa nak?", gumamnya dalam hati.

Paman Mukhlas membuyarkan lamunan Ahmad ketika berkata itu Pak Ratno sambil menunjuk arah depan dimana Pak Ratno baru muncul dari pintu dalam rumahnya.

"Pak", sapa paman Mukhlas, dan Pak Ratno tersenyum pada mereka. Pak Ratno dengan perawakan sedang dan berkumis tipis, terlihat ramah dan masih terlihat ganteng diusia mungkin sekitar 40 tahunan dimata Ahmad. "pantas anaknya cantik, bapaknya ganteng begitu", gumam Ahmad dalam hati.

"Ini Pak, ponakan saya mau bertemu Bapak...", ucap Paman Mukhlas pada Pak Ratno.

"Oh..., mari kita duduk di gazebo situ aja ya, sambil ngopi. Mbak Inah tolong buatkan kopi untuk kami ya..". Ucap pak Ratno

Kami bertiga menuju gazebo, tak lama kemudian Raka dan Rio keluar dari pintu dalam dan bersalaman pada bapaknya untuk meminta pamit ke sekolah. Mereka mencium tangan Pak Ratno dan bersalaman kepada Paman Mukhlas dan Ahmat hikmat. Dalam hati Ahmad terkagum kagum pada perilaku kedua kakak beradik itu yang sangat takzim pada ayahnya dan hormat pada Paman Mukhlas meski mereka tau ia hanya anak buah ayahnya.

Raka dan Rio melangkah keluar lewat pintu belakang dengan mengucap salam "Assalamu'alaikum". Mereka serempak menjawab "Wassalamu'alaikum".

Terpopuler

Comments

Harniah Harny

Harniah Harny

cerita yang sangat menarik, semangat terus, jangan lupa mampir di karyaku juga ya, jangan lupa like komen nya, salam kenal dan hangat slalu..

2022-10-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!