Siang telah berganti senja, lembayung jingga menghiasi Desa X dengan indahnya, seindah hati Ahmad yang telah terisi dengan seorang gadis bernama "Ani"
Ahmad bersiap untuk Jama'ah sholat maghrib di mushola sebelah rumah Bibi Inah. Sore tadi sebelum sholat Ashar Ahmad telah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan pakaian pamannya mengingat dia tak membawa pakaian ganti.
Adzan maghrib telah menggema; Ahmad, Bibi Inah dan Paman mukhlas berangkat bersama di mushola sebelah. Setelah selesai sholat maghrib mereka semua berlanjut berdzikir hingga waktu sholat Isya tiba. Itulah kebiasaan sebagian warga Desa X yang selalu menghabiskan waktu Maghrib hingga Isya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan suasana yang seperti inilah yang selalu dirindukan Ahmad bila berkunjung ke rumah Bibinya. Tenang dan damai meski beragam masalah tengah menderanya.
Setelah sholat Isya selesai Ahmad mengejar imam mushola yang bernama Pak Ikhsan yang tengah melangkah keluar dari mushola.
Ahmad telah mengenal Pak Ikhsan karena sewaktu remaja dulu ia sering main hingga berhari-hari di rumah bibi Inah dan sering di ajak bibi Inah dan paman Mukhlas sholat berjamaah di mushola ini.
"Pak Ikhsan", panggil Ahmad. Pak Ikhsan pun berhenti dan menengok mengikuti arah suara. "Apa kabar pak Ikhsan?" sapa Ahmad.
Pak Ikhsan mengerutkan kening mengingat-ingat wajah Ahmad yang pernah ia lihat tapi entah dimana dan kapan.
"Saya Ahmad Pak..., keponakan Bibi Inah...," ucap Ahmad. "Oh..Iya, kapan datang?" jawab Pak Ikhsan sambil mempersilahkan Ahmad duduk di lantai teras mushola.
"Tadi siang Pak..", "Oh...apa kabar keluargamu?" lanjut Pak Ikhsan. "Alhamdulillah baik semua pak" jawab Ahmad.
"Nampaknya kau sedang banyak beban". ucap Pak Ikhsan kepada Ahmad. "Kok tahu Pak". jawab Ahmad.
Pak Ikhsan mengeluarkan rokok dari dalam saku baju koko nya. "Kelihatan dari kerutan di dahi kamu. Ayok sambil merokok agar pikiranmu sedikit rileks" tawar pak Ikhsan.
Ahmad mulai bercerita tentang kisah rumah tangganya dan terakhir Ahmad memberanikan diri menanyakan pendapat pak Ikhsan tentang Ani.
Pak Ikhsan dengan lugas memberikan pendapat kepada Ahmad "sebaiknya kamu tata hatimu dulu sebelum kamu membuka hatimu untuk gadis lain, apalagi Ani putri pak Ratno itu masih 17 tahun sedangkan kamu sudah dewasa dan maaf kamu seorang duda yang memiliki anak, pastinya bukan sesuatu yang mudah diterima gadis belia seperti Ani. Maaf jangan tersinggung ya nak".
"Iya Pak, akan saya pikirkan dulu Pak. Terimakasih atas masukannya Pak". ucap Ahmad. "Iya nak, jangan lupa istikharah dan sholat tahajud agar pikiranmu tenang dan tidak salah dalam mengambil keputusan". Nasihat Pak Ikhsan pada Ahmad. Ahmad tersenyum.
Ahmad pamit para Pak Ikhsan mengingat hari sudah larut malam dan dirasa nasihat demi nasihat dari Pak Ikhsan sudah cukup Ahmad dapat dan cukup menjadi bahan renungan Ahmad agar tidak terburu-buru dalam melangkah dan mengambil keputusan.
Ahmad melangkah pulang ke rumah Bibi Inah. Bibi dan pamannya tadi lebih dulu pulang saat melihat Ahmad dan Pak Ikhsan mengobrol di teras mushola.
Ahmad memang sering main ke rumah Bibinya sejak kecil bersama orang tuanya dan tempat yang sering Ahmad kunjungi saat di rumah Bibinya adalah mushola milik Pak Ikhsan ini, namun entah mengapa Ahmad tidak pernah berinteraksi dengan keluarga Pak Ratno bos dari Bibirnya. Mungkin karena mereka keluarga berada hingga mungkin mereka menutup diri dari masyarakat sekitar.
Sesampainya di rumah Bibi Inah sedang menunggu Ahmad di meja makan untuk makan bersama dan setelah Bibi Inah melihat keponakannya masuk dengan mengucap salam Bibi Inah segera menjawab dan memanggil suaminya untuk makan bersama.
Setelah makan malam selesai Ahmad meminta pendapatnya kepada Pamannya untuk bekerja di rumah Pak Ratno bersama Pamannya.
Paman Mukhlas menghela nafas berat " Pekerjaanku itu nggak gampang loh Mad, butuh keterampilan dan juga tenaga yang kuat, karena harus mengangkat kayu dari tempat satu ke tempat yang lain, nanti setelah di olah kita juga harus menyusun kembali balok-balok kayu tersebut. Saran aku, kamu nggak usah ikut kami mengolah kayu, bagaimana jika kamu mencari bahan bakunya saja".
"Caranya?". tanya Ahmad sambil menghisap rokok yang dia ambil di atas meja milik Pamannya.
"Kamu cari bahan baku kayu albasia dari para pekebun, kemudian kamu beli dan kamu jual kembali pada bos aku Pak Ratno. Kamu bisa sambil jalan sambil belajar. Kamu tidak perlu mengeluarkan tenaga extra". Paman Mukhlas.
"Akan kucoba paman, aku punya yang sedikit nanti bisa untuk modal awal, minimal untuk uang muka pada pekebun pemilik kayu. Besok kenalkan aku pada bos ya Paman". Ucap Ahmad dengan semangat. "Tentu" jawab Paman Mukhlas.
Di rumah Bibi Inah malam ini begitu hangat, setelah obrolan Ahmad dan Paman Mukhlas di meja makan, mereka bertiga melanjutkan obrolan demi obrolan di ruang TV sambil ngopi dan cerita banyak hal, terutama Bibi Inah yang antusias menceritakan masa kecilnya bersama saudara satu-satunya Mbak Dian ibu dari Ahmad.
Bibi Ahmad dan Paman Mukhlas tidak memiliki anak dan hari-harinya mereka habiskan untuk bekerja di rumah Pak Ratno. Di samping untuk mendapatkan uang mereka juga bekerja untuk membunuh sepi, setidaknya Pak Ratno yang memiliki anak banyak bisa menjadi pelipur lara mereka. Mereka diberi kamar khusus di rumah Pak Ratno yang bisa dipakai sewaktu-waktu jika mereka enggan pulang atau dilarang pulang oleh anak-anak bosnya karena nggak mau ditinggal, mereka tinggal menempati kamar tersebut. Paman Mukhlas pun sangat menyukai anak kecil sehingga saat pulang kerja dari pabrik kayu milik bosnya ia sempatkan Untuk mampir dan bermain dengan anak-anak Pak Ratno yang lucu-lucu dimatanya.
Malam semakin larut, Ahmad minta pamit kepada Paman dan Bibinya untuk istirahat. Ahmad menempati kamar tamu rumah bibinya yang mungil namun asri, bersih dan rapi yang membuat siapapun akan betah berlama-lama tinggal didalamnya.
Sesampai di kamar Ahmad membaringkan tubuhnya. Ahmad memandangi langit-langit kamar yang tanpa plafon hingga terlihat deretan genting yang tersusun rapi. Ahmad merenung dan mengingat anaknya yang ia tinggal tadi siang. Ia menarik nafas yang teramat berat ia rasakan, untuk pertama kalinya setelah putrinya lahir ia tidur tanpa menemani putrinya. Pasti malam ini terasa panjang tanpa ada tubuh mungil yang selalu menempel padanya saat tidur.
Sebenarnya istri Ahmad sangat baik pada Ahmad namun entah mengapa seakan hati Ahmad tertutup untuk menerima cintanya. Dulu Ahmad berfikir seiring berjalannya waktu mungkin cinta akan tumbuh dengan sendirinya, namun anggapan itu salah. Bahkan sering kali Ahmad tak mau menerima kesalahan yang diperbuat istrinya, betapapun ia sadar bahwa manusia tidak ada yang sempurna.
Tiba-tiba Ahmad senyum sendiri saat mengingat wajah Ani yang menghiasi pelupuk matanya dan hatinya berdebar-debar. dalam hatinya bergumam "inikah yang namanya cinta pada pandangan pertama yang sering dibicarakan orang?, oh...Ani..."
"Aku akan berjuang untuk mendapatkan hatinya, apapun jalannya, apapun resikonya akan aku hadapi.., Bismillah Ya Allah..."
Akhirnya setelah lama Ahmad bertraveling dengan otaknya, iapun terlelap terbang ke alam mimpi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments