New York City, 13 July.
Tak bisa kupercaya Max meninggal hari ini.
"Bohong! itu semua bohong khan Nat?!" aku berseru tak percaya.
Ku tatap lekat - lekat Natasya dengan kedua mataku yang sembab, kupastikan sekali lagi mata dan ekspresi wajahnya kalau apa yang baru saja ia katakan adalah omong kosong.
Ia berbohong, entah apapun alasannya ia hanya mengarang cerita konyol ini padaku.
Namun tidak, yang kulihat dimatanya adalah kejujuran, kenyataan sebenarnya dan memang benar terjadi.
"Tenangkan dirimu Jeanny! semua terjadi diluar kemampuan kita, bagaimanapun juga kita harus menerima segala sesuatunya" tutur Natasya lembut dengan nada menghibur seraya memelukku erat.
Aku gemetar dan kami sama - sama gemetar. " Sulit kupercaya Nat, kemarin malam kami baru saja bertemu dan makan malam bersama. Apakah aku bermimpi?
Katakan Nat, apakah aku sedang bermimpi?!" aku berseru syok.
Kulihat Natasya menggelengkan kepalanya dengan kedua matanya yang berubah menjadi merah.
"Tidak, ini nyata Jeanny. Kau sudah bangun dari mimpimu" jawabnya lirih.
###
Saat menyaksikan pemakaman Max di Joins Eternal Cemetary, hatiku bagai diiris puluhan pisau.
Aku tak percaya, sama sekali tak menduga bahwa kematian Max Judas Bremmes akan secepat ini.
Meninggal dalam usia menjelang tiga puluhan. Masih dibilang cukup muda apalagi kematiannya yang masih menimbulkan tanda tanya.
Ia ditemukan meninggal di apartemen miliknya, overdosis itu dugaan sementara.
Saat aku mengantar jenazah Max, aku merasa banyak mata yang menatap dan memperhatikanku dengan penuh curiga.
Mereka mencurigai aku sebagai penyebab kematian Max Bremmes, kekasihku sendiri atau lebih tepatnya mantan kekasih.
Satu persatu dari orang - orang yang mengantarkan jenazah Max pergi meninggalkan pemakaman saat itu pula aku sanggup lagi untuk membendung kesedihanku, dengan posisi terduduk aku bersimpuh di tanah pemakaman Max yang masih merah itu. Bayangan kejadian di malam itu masih melekat dengan begitu jelas di otakku.
( Flash back )
"Aku tak menyangka kau terlibat dalam bisnis ilegal seperti itu Max.
Kau membuatku kecewa, sangat kecewa!" ucapku marah.
Malam itu kami berjanji bertemu di sebuah restoran kecil di Lexington Avenue, yang tak jauh di hotel tempatku menginap 4 hari terakhir ini.
"Mengertilah aku Jeanny, aku terjebak dalam bisnis mereka, aku terpojok.
Aku kalang kabut saat tahu perusahaan tempatku bekerja akan gulung tikar, aku sangat frustasi saat itu!" Max mencoba berkelit.
Ia menundukkan kepalanya dan kedua tangannya tampak gemetar seakan ia menahan beban yang ingin dilepaskannya.
Aku mengerti perasaannya sekarang dengan penuh rasa iba kugenggam jemari tangannya dengan lembut.
"Masih ada kesempatan untuk memperbaikinya Max, kau masih bisa memilih jalan lain yang lebih baik dari bisnis terlarang itu, kau tahu maksudku bukan?" ucapku sedikit memberikannya dorongan.
Max menatapku, matanya yang biru tajam kini berubah menjadi sorotan mata yang mengandung kesedihan.
"Maafkan aku Jeanny, aku sangat menyesal dengan kejadian ini" ucapnya dengan suara tertahan.
Malam itu juga, saat pertemuan kami di sana ia menginginkan aku kembali padanya.
Namun aku tak bisa melangkah lebih jauh lagi, sudah berulang kali ia mengatakan menyesal namun sampai saat itupun ia masih tetap sama.
Kecanduan obat dan kini menjadi pengedar terlarang.
Sengaja aku datang ke New York untuk mengetahui keadaannya walaupun kami sudah hampir 1 bulan berpisah namun perasaan hatiku terdorong untuk tahu keadaannya selain untuk mengurusi urusan pekerjaan di kota New York dan entah bagaimana pagi itu Natasya Perrone, sahabatku membawa kabar duka dari Max bahwa ia meninggal di apartemen miliknya karena over dosis.
Benarkah itu? Apakah ada motif lain di balik kematian Max yang misterius selain over dosis?
"Tak perlu kau buang air mata buayamu di tempat ini!" suara itu terdengar ketus, dingin dan menusuk hati.
Aku menoleh ke belakang memastikan suara siapa itu, "Frank?!"
Ia berdiri tepat di belakangku, sorot matanya tajam, rambutnya yang hitam legam seakan menambah sosoknya yang terkesan dingin.
Aku menatapnya tak percaya, kuseka air mataku dengan jemari tanganku yang dingin.
"A...pa maksud ucapanmu itu?" tanyaku terbata.
Senyuman dingin menghias wajahnya kini, senyuman yang menyimpan sejuta arti bagiku. "Setidaknya kini harapanmu terkabul, Max mati sia - sia karena kau! Kau yang telah membunuhnya!" serunya lantang dan marah.
Aku berdiri, menggeleng berulang kali.
"Kenapa kau menyangka aku penyebab semua ini, Frank? Apa salahku, sehingga kau menuduhku sekejam itu?!" aku berseru dengan suara serak.
Bukannya memberikanku jawaban ia malah berbalik untuk pergi namun beberapa saat kemudian ia menoleh padaku.
"Kita lihat saja, setelah ini apa kau masih bisa menyangkal ucapanmu itu Miss Anderson."
Setelah mengucapkan itu kemudian Frank berlalu pergi meninggalkan aku yang hanya bisa menatapnya nanar.
Frank Jefferson adalah sahabat dekat Max Judas Bremmes, mantan kekasihku.
Kami sudah cukup lama saling mengenal, namun aku masih belum mengerti kenapa sejak dulu ia tak pernah menyukaiku.
Sejak dulu sikapnya selalu dingin dan tertutup kepadaku, sempat dulu aku mengeluhkannya pada Max tapi Max berkata jika sikapnya itu hanyalah sebagai bentuk rasa sayangnya pada persahabatan mereka.
Frank adalah pria yang baik dan bertanggung jawab namun disisi lain ia kadang bisa saja menjadi over protektif dengan orang yang dianggap spesial untuknya, itu yang selalu diucapkan Max dulu padaku tentang Frank Jefferson.
Namun aku tak menyangka, jika Frank bisa setega itu menuduhku sebagai pembunuh Max, orang yang pernah aku cintai.
Walaupun hubunganku dan Max sudah berakhir namun aku sama sekali tak pernah membenci Max ataupun Frank Jefferson.
Hingga Max terjerat dalam bisnis terlarang, sikap Frank pun semakin berubah dingin padaku.
Entah sebenci apa dalam pikirannya, dimatanya aku selalu dianggap salah oleh Frank Jefferson.
"Jeanny..., ayo pulang lah bersamaku."
Suara itu tiba - tiba mengejutkanku dalam lamunan sesaat.
Kulihat Natasya Perrone, berjalan menghampiriku yang masih tengah berdiri seorang diri di depan tanah pemakaman Max yang sudah tampak sepi.
"Tak perlu kau ambil hati dengan sikap arogan Frank Jefferson, ia memang tak pernah mengenalmu dengan baik seperti aku mengenalmu Jeanny..." tuturnya lirih menenangkan.
Kutatap Natasya dengan berlinang air mata karena masih merasakan sesak saat seseorang menuduhku sebagai pembunuh dari orang yang pernah aku cintai.
"Apa aku seburuk itu Nat? sehingga semua orang menyangka aku lah penyebab kematian Max.." aku bertanya dengan suara tertahan.
Nat memelukku dan berkata,
"Sudah kukatakan mereka semua tak mengenalmu sebaik aku mengenalmu Jeanny..., apa yang mereka lihat hanya sampul dan bukan hatimu.
Penyelidikan akan membuktikan siapakah yang bersalah dalam kasus Max, jadi kau tak perlu khawatir dan berpikir macam - macam karena polisi akan dengan tuntas mengusutnya, ok?!"
...🌺🌺🌺🌺🌺🌺...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Ufuk Timur
baru baca bab awal kak, ,udah ninggalin jejak , ,udah nambah ke favorit juga, ,kalau berkenan mampir di novelku ya😊😊😊 Aili Tan, ,mari saling mendukung, ,aku akan baca pelan-pelan karya kakak❤️❤️
2022-01-22
3
Ufuk Timur
meskipun mantan, kepergiannya tetap bikin gimanaa gitu
2022-01-22
1
Duwi Hariani
sabar ya! semua pasti akan kembali ke yang maha kuasa
2022-01-22
1