Beberapa hari kemudian…
“Hai Togar…”
“Hai Hotman…”
Siapa lagi yang menggunakan nama orang tua selain Diana dan Febri? Sejak akrab karena kasus Gemma tempo hari, kedua orang itu dengan cepat menembus level pertemanan yang paling tinggi. Terkadang candaan mereka malah menyertakan umpatan bahasa daerah lebih kasar yang hanya mereka yang mengerti, sebab mereka berasal dari suku yang sama.
Mereka jadi semakin akrab. Apalagi sekarang, mereka berdua sama-sama jadi panitia MOS. Kini, lapangan sekolah telah penuh dengan siswa-siswi baru SMA Tunas Perdana. Masa Orientasi Siswa sedang berlangsung, bertepatan di hari kompetisi gitar solo antar SMA se-Jakarta.
“Gue udah minta izin ke Fabian buat ikut Gala. Entar gue jemput lo pulang sekolah,” ujar Febri pada Diana.
Diana hanya mengangguk. “Gue ngikut lo aja, Feb… Ayo, kita cek anak-anak dulu.”
Mereka lalu sedikit berpisah. Ada satu instruksi yang diberikan oleh Fabian tentang teka teki yang biasanya diberikan saat MOS. Diana, Febri dan semua panitia berkeliling untuk melihat apakah benda yang dibawa para siswa baru itu benar atau tidak.
Kini mata Diana tertuju pada seorang siswi bernama Rara, yang membawa benda lucu di tangannya dan memancing perhatiannya.
“Apaan neh?”
Rara ketakutan sampai tergagap. “Ka-kan pe-perintahnya disuruh bawa celana dalem plastik, Kak.”
Diana memutar bola matanya saat melihat keluguan Rara. “Polos amat sih lo! Kita bilang ‘bawa’ bukan ‘bikin’! Celana lo tinggal masukin dalam plastik, gitu doang! Emang siapa yang mau pake celana dalem kayak gini, hah?”
Si anak perempuan hanya manggut-manggut dan minta maaf setulus-tulusnya dengan gentar. Diana juga tidak lama memarahi anak itu, dan menyuruhnya kembali pada barisannya sendiri.
Rara kemudian duduk di sebelah seorang anak perempuan lain dan mulai mengomel-ngomel. “Gue disuruh bawa celana dalem plastik. Tapi pas gue bawain celana dalem dari plastik, gue malah dihukum. Maunya apa sih?”
Siswi yang duduk di sebelahnya menyahut, “Apa gunanya sih bikin kita konyol kayak gini? Katanya MOS, tapi kita malah dikenalin sama sistem plonco kayak gini, macam zaman penjajahan aja. Eh, tapi kita emang lagi dijajah sistem sih. Coba kalo sistemnya nggak kayak gini, nggak bakalan ada yang namanya plonco dibungkus pake kertas kado bernama MASA ORIENTASI SISWA. Yang ada kita di bully-bully sama kakak kelas yang entah tujuannya apa. Kalo buat nyuruh kita hormatin mereka doang, ya mereka bisa bilang baik-baik dong!”
Febri yang kebetulan berdiri di dekat sana langsung mendatangi siswa tersebut dan menunjuk wajahnya.
“Lo!” Mata Febri jatuh ke tanda pengenal yang terbuat dari karton hijau yang menggantung dileher siswi tersebut. “Yang namanya Nita… Sini!”
“Ada apa Kak?” tanya Nita dengan berani.
“Belagu amat lo. Baru mau masuk, udah jago banget aja lo kritik kebijakan di sini.”
“Lah, tapi yang saya bilang nggak salah kok.”
“Lo bisa keluar dari sekolah ini kalo lo nggak suka.”
Nita terdiam seribu bahasa.
“Kenapa diem? Lo takut nggak dapat sekolah yang nggak ada MOS-nya?”
Nita masih terdiam dan menunduk takut.
Febri langsung meraih empeng bayi yang menggantung di dada Nita dan menyumpal mulut siswi itu. “Sekarang nyanyi lo, bintang kecil pake vokal ‘i’ semua, empengnya nggak boleh dilepas!”
“A-ampun Kak… maaf, maaf…” si Nita memohon agar hukuman itu dibatalkan. “Nggak bisa Kak… susah…”
“HARUS! Sini lo, berdiri depan gue.” Febri bersedekap menunggu Nita bernyanyi, tak mau mendengar banyak alasan lagi.
Nita terlihat takut, dia gugup dan kesulitan menelan ludah. Dari mulutnya pun terdengar suara yang lebih mirip tikus yang terjepit pintu daripada nyanyian merdu.
“Binting kicil… dilingit ying biri…”
Rara dan kawan-kawan mencoba mengulum tawanya. Bukankah Nita tadi yang paling vokal menyuarakan kalau sistem ini harusnya diganti? Tapi hanya dengan sekali sentak dari Febri, Nita langsung ciut seperti rempeyek melempem.
...***...
Dari jauh, Gala dan Niko duduk berdampingan di sebuah bangku sekolah yang terletak di kantin. Niko menunduk sambil belajar, dengan sebuah buku catatan di tangannya. Sementara Gala terlihat santai.
“Lo belajar melulu. Perasaan, kita nggak bakal ada ulangan dalam waktu dekat ini,” komentar Gala memandang Niko sambil berdecak.
“Ya, gue nyicil aja. Gue mau masuk kampus sasaran gue. Gue mesti giat…” ucap Niko seraya meminum susu kotak miliknya.
Sebenarnya Gala hari ini merasa agak kalut. Ada banyak hal yang menjadi pikiran Gala saat ini. Mulai dari Gemma sampai sang Papa.
“Lo kenapa, Men?”
Gala mengangkat kepanya menatap Niko yang kini tak lagi berfokus pada bukunya. “Gue… nggak apa-apa.”
“Apa perlu gue ngomong ke Gemma supaya dia paham? Gue yakin dia pasti ngerti.”
“Nggak usahlah. Lo lihat aja tangannya kayak gitu. Semua salah gue, Nik…” sepertinya Gala saat ini tidak ingin membahas apa-apa. Dia pun mengalihkan perhatiannya pada beberapa anak baru yang berlari-lari kebingungan. “Febri ngerjain anak-anak lagi tuh,” ujarnya sambil tertawa.
Padahal, dia sama sekali tidak terhibur saat melihat anak-anak baru yang disuruh untuk minta tanda tangan kakak kelas penting dan yang menurut mereka good looking. Harusnya dia senang kalau ada orang-orang yang menghormatinya, at least karena fisiknya.
“Kakak ganteng, minta tanda tangan dong,” ujar seorang siswi sambil menyodorkan bukunya.
Gala menandatangani buku siswi tersebut dan mengembalikannya, lalu memasang wajah ketus. “Bilang sama temen-temen lo, gue nggak mau tanda tangan lagi kalo temen-temen band gue nggak tanda tangan duluan.”
“Iya Kak. Makacih ya,” ujarnya sok manis, merasa beruntung karena dia adalah orang terakhir yang menerima tanda tangan dari anak terpopuler di sekolah itu tanpa proses berbelit. Hanya untuk berbalik dan mengumpat jengkel.
“Asu…” si siswi kesal saat melihat kolom tanda tangannya ada gambar tai buatan Gala.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments