Jakarta, tahun 2006
"Nggak bisa gitu dong, Bu! Saya nggak terima!"
Suara Gala terdengar meninggi pada seorang wanita berusia 40an yang kini berdiri di depannya dan menatapnya datar.
Keputusan Bu Rosa sepertinya tidak bisa diganggu gugat. Tapi Gala tetap tidak terima.
"Saya udah persiapan dari bulan lalu, Bu!" Gala menolak keras. Dalam hatinya, dialah yang seharusnya dikirim mewakili sekolah dalam kompetisi Gitaris Solo SMA sekota Jakarta.
Dia sudah banyak berlatih, masuk klub gitaris, mendatangkan tutor Gitaris handal, dan main gitar setiap hari. Tapi kenapa di mata Bu Rosa, dia tetap tidak lebih baik?
"Gemma Aruna Fransius dari kelas 3 IPS yang akan bertanding di kompetisi itu, bukan kamu. Lagian, siapa suruh kamu persiapan? Bulan lalu saya belum memutuskan siapa yang akan maju, 'kan?"
Gala maju selangkah dan menatap Rosa dengan sengit. Ambisinya tak bisa dibendung. Dia tidak mau kalah sekarang tanpa melawan.
"Nggak. Saya yakin, Bu Rosa pasti sengaja, 'kan, bikin saya nggak bisa ikut kompetisi itu?! Saya ini kelas 3, Bu. Ini tahun terakhir saya bisa bertanding. Saya pasti menang!"
"Kamu memang udah sering menang." Perawan tua berambut keriting, bertubuh bongsor dan gigi kelinci itu mendesah bosan. "Kamu aja nyetem gitar masih pake guitar tuner. Ngerti 'kan bedanya kamu sama Gemma di mana?"
“Hanya karena Gemma itu punya telinga peka, bukan berarti cara dia bermain lebih baik dari saya!”
“Ini sudah diputuskan ya, Gala. Lagi pula, kamu sudah sering ikut kompetisi semacam ini. Berilah kesempatan pada orang lain. Lebih baik kamu fokus untuk ujian akhir.”
Wajah Gala memerah. Meski kekesalan dalam hatinya memuncak, dia tetap tidak bisa berbuat apa-apa, sebab satu sekolahan sudah tahu tentang pengumuman ini. Rosa mengumumkannya sesaat sebelum upacara hari Senin itu berakhir.
“Gemma juga sama-sama kelas 3 ‘kan?”
“Pengecualian! Dia nggak pernah tanding sebelum ini.”
“Tapi―”
“Gala. Keputusan saya sudah final,” ujar Rosa sambil berlalu.
Telinga Gala memanas. Darah dalam urat nadinya berdesir kian cepat memompa perasaan kecewanya semakin tinggi. Dadanya kembang kempis menahan amarah hingga napasnya terdengar amat berat.
Gemma... anak perempuan kurus berwajah ketus itu sudah membuatnya kehilangan kesempatan ini.
No!
Gala tidak terima! Gadis itu harus diberi pelajaran. Kenapa juga dia harus muncul di saat-saat terakhir? Apa dia mau pamer? Tidak ada yang pernah mengalahkannya di sekolah ini, apalagi anak perempuan!
Dia akan membuat perhitungan pada Gemma sepulang sekolah. Gadis itu harus paham posisinya ada di mana dan dia harus bisa menempatkan diri.
***
“Es batu sahabat gue!” panggil Diana dengan ceria pada Gemma yang sedang duduk sendiran di depan gudang sekolah yang sepi. “Ntar kita mampir ke ka ef ci yuk, gue traktir dari hadiah gue menang lomba!”
"Minggu depan aja ya. Pas bokap gue nggak ada di sini."
Gemma tersenyum lembut pada sahabatnya yang berwajah manis, berpenampilan ‘tomboy yet girlish’ di beberapa sisi tersebut.
Dia mengangguk, tapi masih memusatkan perhatiannya pada benda yang terbuat dari kayu dan senar baja, yang sedang dipeluknya dengan erat. Dia langsung memainkan gitar tersebut dengan merdu sekali.
Gemma, cewek yang terkenal dengan sikap dinginnya itu sedang memainkan lagu-lagu milik band lawas, Dewa 19. Jemarinya begitu lihai dan lentur seolah tak bertulang saat dia memetik gitarnya, sangat berbeda jauh dengan perangainya yang kaku. Terutama saat dia berimprovisasi dengan melodi rumit pada lagu Roman Picisan, bukan hanya sekedar memainkan kunci dasar.
Siapa saja yang melihatnya akan mengakui kalau skill yang dimiliki Gemma itu sangat potensial. Skill yang membuat siapa saja iri, terutama kaum Adam yang mendominasi dunia musik.
Termasuk Gala, yang saat ini tengah menatapnya dengan tajam dari balik pohon beringin.
“Keren juga,” komentar Niko, anak laki-laki tampan berpipi chubby yang berdiri di sebelah Gala.
“Berisik!” ucap Gala kesal.
Febri, cowok paling tinggi dari antara merek, mencubit pipi Niko dengan keras sampai Niko mengaduh. Yang membuat Gala kesal bukanlah Gemma saja. Pujian tulus dari Niko seakan-akan mengonfirmasi kalau permainan Gemma memang bagus, dan Gala tidak suka hal itu terjadi.
Tatapan mereka kembali menyorot Gemma dengan penasaran.
Siapa yang menyangka kalau gadis itu mendapatkan kemampuannya dengan cara otodidak?
Gala merasa lebih hebat darinya karena effort yang dia lakukan demi meningkatkan kemampuan bermusiknya itu lebih besar. Tidak seperti Gemma yang tiba-tiba saja datang dengan sok, memamerkan kemampuannya bermusik dengan pandai.
Memangnya siapa dia? Dewi gitar? Cuih!
"Dari mana lo belajar main gitar padahal nggak ada gitar di rumah karena Bokap lo melarang keras?" tanya Diana, teman baik sekaligus teman satu-satunya yang dimiliki oleh Gemma.
"Dari pos ojek pengkolan depan rumah. Mereka yang ngajarin."
"Lo udah siap buat kompetisi minggu depan?"
"Siap nggak siap, ya jalanin aja Di," jawab Gemma seraya membersihkan benda kesayangannya dengan guitar cleaner.
"Tapi lo seneng 'kan? Karena lo yang akhirnya maju?"
Bibir tipis Gemma melengkung untuk tersenyum dan memasukkan gitar akustik elektrik itu dalam soft case-nya. "Nih, jaga baik-baik ‘bayi’ gue."
“Aman! Tar kalo dia lapar, gue tetein.”
Tangan Diana terjulur untuk menerima benda kesayangan sahabatnya yang dia harus jaga bagai keris Mpu Gandring yang baru saja di temukan di situs kuno. "Bokap lo kapan mau ke Kalimantan?"
"Minggu depan. Makanya gue bisa bebas ikut kompetisi." Gemma memasang ranselnya, bersiap untuk pulang. "Sori, gue repotin lo bawa yang beginian. Lebih aman kalau gitar ini nggak ada di rumah gue karena Bokap gue bisa pulang kapan aja."
Diana menggeleng tipis. Bukan itu yang membuatnya keberatan. Dia hanya tidak berani membayangkan 'risiko' lainnya. "No worries. Asal gue nggak ketemu Bokap lo aja."
"Tapi Gemma ketemu gue," ucap Gala yang keluar dari tempat persembunyiannya bersama Febri dan Niko, yang selalu mengekor Gala bak hewan peliharaan yang belum makan.
Ketiga anak itu cukup famous di sekolahnya. Cakep, kaya, semua murid segan pada mereka, hampir semua anak perempuan memuja mereka.
Dan Gala bangga akan pengaruh yang dia miliki, yang jauh lebih besar dari Febri dan Niko. Tapi pengaruh itu ternyata tidak cukup untuk membuatnya yang dipilih untuk ikut kompetisi tersebut.
Ada helaan napas pelan yang terdengar dari mulut Gemma. Dia memutar bola matanya, malas berkonflik dengan Gala.
"Mau lo apa?"
Tangan Gala terjulur untuk menunjuk wajah Gemma yang tirus. Gala tersenyum miring, menampilkan lesung pipi dalam yang menghiasi wajah tampan rupawannya.
"Lo mundur dari kompetisi itu. Gue bisa lakuin apa aja yang bikin lo sulit nantinya."
"Gue jelas nggak bisa mundur, Gala. Gue udah dipilih."
Gala menurunkan tangannya, memasukkannya dalam saku celana. "Gue nggak bisa biarin ‘cewek’ yang maju.”
Gemma menggeleng dengan senyum sinis. “Nggak usah terlalu patriarkis.”
Mata sipit Gala memicing. “Lah emang harusnya gitu, kan? Lo itu ‘cewek’! Sadar diri lah!”
Diana yang juga jengah melihat kelakuan Gala, maju ke depan sambil memasang kuda-kuda.
Sebagai pemegang sabuk hitam Tae Kwon Do yang baru saja menjuarai kompetisi antar SMA seluruh se-Jabodetabek, sudah seharusnya dia melindungi sahabatnya itu dari orang-orang yang ingin mengganggu. “Persetan sama patriarkis! Sini lo, maju hadapin gue. Lo semua bosan hidup?”
Belum apa-apa, Febri dan Niko sudah mundur. Tapi tidak dengan Gala. Anak lak-laki itu masih menatap sinis pada Gemma. Gadis itu tidak merasa terintimidasi sama sekali. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Tak heran orang-orang menjuluki dia Es Batu.
“Gue denger-denger, bokap lo galak ya Gem? Apa gue mesti kasih tau bokap lo supaya lo mundur?"
Meski ada gurat elusif di wajah Gemma, dia memilih untuk tenang. “Jangan pake cara licik. Gue udah terpilih. Terima aja kenyataannya.”
“Nggak, gue nggak bisa terima. Gue bakal bikin lo mundur, lihat aja nanti!”
Namun, Gemma masih saja terlihat kalem. Gala semakin heran, anak perempuan di depannya ini malah santai saja. Dia bahkan berlalu dari Gala dan kawan-kawan tanpa merasa terintimidasi sama sekali.
Gemma mencoba mengusir kekuatiran itu. Anak laki-laki sombong tersebut tidak bisa membuktikan apa-apa pada ayahnya, selama gitar itu tidak berada di tangannya.
***
Bruk!
Punggung Gemma menghantam pagar beton belakang sekolah dengan keras, sementara lima orang anak perempuan berwajah cantik dengan tas punggung brand mahal, berdiri mengelilinginya.
“Lo pasti curang ‘kan? Bu Rosa milih lo daripada pacar gue.”
Gemma mengernyit, menahan nyeri yang menjalar di sepanjangan punggungnya karena dorongan keras dari Erika tadi. Gemma menatap mereka bingung.
“Pacar mana maksud lo, Er?”
“Lo nggak tahu kalau Gala sama gue pacaran?” Erika bertolak pinggang. Matanya menatap Gemma tajam. Gemma tak dapat meminta pertolongan Diana sebab sahabatnya itu sudah pulang.
“Pertama, gue nggak curang. Kedua, gue nggak perduli lo itu mau jungkir balik ngejar Gala. Yang pasti, gue nggak melakukan apa yang lo tuduhkan. Jadi,” Gemma memperbaiki letak tasnya di punggungnya. “biarin gue pulang dari pada harus dengar omong kosong lo yang sering menghayal pacaran sama Gala.”
Mata Erika melotot, “berani-beraninya lo ya!”
Plak!
Satu tangan Erika mendarat sempurna di wajah Gemma dan memberikan bekas merah di sana. Erika tersenyum penuh kemenangan saat melihat wajah Gemma yang terpental ke kanan hingga rambut panjang gelombangnya itu terhambur.
“Songong banget lo. Orang sombong kayak lo emang harus diberi pelajaran!”
Erika bersiap menghajar Gemma, tepat saat seseorang yang baru saja dibicarakannya berjalan melewati mereka bersama Febri dan Niko bak selebritis.
Meski tak tebar pesona, tapi siapa saja yang melihat grup lelaki tampan ini pasti akan tersenyum. Ketampanan dan aura mereka sangat natural, pun dengan sikap cool yang semakin membuat para kaum hawa menggelepar kepanasan.
Gala si kaya yang jago bermain gitar, Niko anak pintar bercita-cita jadi dokter obsgyn yang jauh dari kata kuper, dan Febri adalah langganan MVP pertandingan basket. Kolaborasi triple damage yang dapat memporak-porandakan hati para gadis.
Ya kecuali Gemma dan Dianna. Sepertinya hanya mereka yang tak pernah ambil pusing.
Mungkin di hadapan orang yang tidak suka, para lelaki ini hanya segerombolan cowok dengan simbiosis mutualisme. Tidak banyak yang tahu kalau mereka sudah akrab dari bayi.
Teman-teman Erika langsung bersikap norak seperti cacing yang baru saja diberi garam. Ada yang mendadak tolol, ada juga yang seperti orang udik―yang seperti tak pernah melihat lawan jenis.
Gala mencelos dalam hati. Norak.
“O em ji, Niko! Besok, ajarin gue matematika yaaa…”
“Febri sooo hanseeemmm!”
“Gala, bokin lo nih!”
Buru-buru Erika langsung memperbaiki posisi berdiri dan rambutnya yang sempat ikut berantakan dengan sikap salah tingkah yang kentara. “Eh… Gala… mau kemana?”
Tapi reaksi Gala justru lucu. Dia memandang datar pada Erika, tak mempedulikan sapaannya sama sekali, dan berlalu begitu saja. Seperti tidak mendengar dan tidak melihat siapa-siapa.
“Gala, kok aku dicuekin sih! Iiihhh!” panggil Erika dengan putus asa sambil menghentakkan kaki kanannya ke tanah.
Dan di saat Erika dan kawan-kawan sedang lengah, Gemma langsung mengambil langkah seribu.
Kabur!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments