[081xxxxxxxx : Di, bisa bawain gue gitar ke rumah? Bokap gue katanya lagi lembur. Gue pengen latihan. -Gemma-]
Diana mengerutkan keningnya saat melihat sebuah pesan singkat masuk dalam ponselnya.
Karena ayah Gemma tidak memberikan putrinya ponsel, Gemma memang kadang-kadang mengirim pesan melalui ponsel tukang ojek pengkolan yang nongkrong tak jauh dari rumahnya. Tukang ojek bernama Burhan yang baik hati. Tapi, nomor ini bukanlah nomor Burhan dan tidak pernah tersimpan di ponselnya.
[Me: Gem, ini elo?]
[081xxxxxxxx : Iya, Di. Emang siapa lagi?]
Ya memang siapa lagi yang memanggil Diana dengan panggilan ‘Di’? Rata-rata semua teman-teman dan juga guru-gurunya akan memanggilnya dengan nama Diana, tanpa disingkat.
[Me: Mo diantar sekarang, Gem? Bokap lo ada nggak?]
[081xxxxxxxx : Aman, Di. Doi udah tahu kalau gue mau ikut lomba. Maaf ngerepotin ya, Di.]
Kening Diana makin terlipat tidak percaya.
[Me: Ha? Bokap lo setuju?]
[081xxxxxxxx : Iya. Beneran.]
[Me : Oke, gue jalan.]
Meski ada sedikit keraguan, Diana tetap akan mengantarkan gitar itu. Jarak antara rumah Diana dan Gemma juga tidak jauh, hanya beda komplek yang jauhnya tak lebih dari dua ratus meter. Jalanan di sana juga amat terang dan ramai dengan pedagang asongan, aman untuk seorang anak gadis yang berjalan seorang diri.
Setibanya di depan rumah Gemma, Diana langsung mengetuk pintu. Tetapi tidak biasanya, Gemma lambat membuka setelah mereka berjanji bertemu. Kecuali kalau ada…
“Diana?”
Pintu itu terbuka, menampilkan sosok garang Yahya, ayah Gemma yang telah lama menduda.
Auranya menyeramkan, dengan wajah kuat khas mafia. Tatapannya tajam tanpa belas kasihan. Kerutan itu memang menandakan kalau beliau tak lagi muda, tapi suara pelan dan dalam itu seakan menggelegar dan membuat siapa saja yang berhadapan dengannya gemetaran. Jangan mengira kalau ini hanyalah kamuflase. Penampilannya benar-benar sesuai dengan sikapnya.
Garis wajah yang tegas dan tatapan mata intimidatif itulah yang dimiliki Gemma, diwariskan dari sang ayah yang benar-benar galak.
“O-om? Malem Om…” ucap Diana dengan gentar. “Gemma ada?”
“Ada apa?” tanya Yahya tanpa basa basi.
“I-ini, Om. Mau ketemu Gemma.”
Kepala Gemma menyembul dari belakang Yahya. Mata Gemma terbelalak dengan horor saat melihat kedatangan Diana bersama dengan gitar miliknya.
“Ini gitar siapa?” tanya Yahya.
“Gi-gitar Gemma, Om.”
Terdengar dengusan dari mulut Yahya, tetapi dia tampak tenang. “Berikan gitar itu pada saya.”
Diana pun menatap Gemma dan Yahya secara bergantian dengan takut-takut.
“Ayo kemarikan.”
Tangan Diana mulai gemetar luar biasa saat mendapat tatapan misterius tapi menusuk dari Yahya. Dia memberikan gitar beserta soft case itu pada Yahya.
“Diana, kamu pulang sekarang.” Perintah Yahya.
Di belakang Yahya, Diana bisa melihat jelas kalau Gemma memejamkan matanya pasrah.
Diana pun hanya bisa berlari menjauh saat pintu itu tertutup. Meski dia adalah gadis kuat yang bersabuk hitam, mentalnya tidak tahan dengan peristiwa yang akan terjadi sebentar lagi.
***
Istirahat pertama, Gala dan rekan-rekan satu band-nya yang lain mendapat izin untuk latihan selama setengah jam. Mereka telah selesai latihan dan sedang membereskan alat-alat itu untuk dimasukan dalam hard case satu persatu.
“Men, gue denger si Gemma ternyata jago juga main gitar,” ucap Adit, vokalis band sekolah.
“Iya, kok nggak pernah muncul sih dia?” ujar Victor yang tengah menggelar kain lebar untuk menutupi drum set. “Gue sempat lihat video dari Bu Rosa. Gila men, jago bener. Sepintas, permainannya kayak Joe Satriani tapi lebih akustik …”
Emon sedang mencabut kabel jek bass-nya dan menggulungya, hanya bisa geleng-geleng kepala dan menoyor kepala Victor. “Lebay ah! Diem lo, Vic.”
Takut kalau Gala akan merasa tersinggung akibat pujian Adit dan Victor. “Galalah yang paling jago, nggak usah dibanding-bandingin!”
Gala diam saja mendengar perkataan teman-temannya. Hatinya sedikit tercubit saat mereka mulai membanding-bandingkan skill Gala dan Gemma yang notabene berbeda genre. Api emosi di hatinya semakin tersulut kala mengingat pilihan Rosa yang tetap tertuju pada Gemma.
***
“Kamu!”
Panggil seorang guru pada seorang anak perempuan pendiam yang sedang makan nasi kuning di meja kantin paling pojok.
“Lepas jaketnya! Kayak nggak tahu aturan aja kamu, udah kelas 3 juga! Ini lagi, kenapa rambutnya nggak diikat?”
Mendengar nyaringnya suara guru itu, Gala sampai mengangkat kepalanya pada si sumber suara. Kebetulan mejanya tak jauh dari meja Gemma, gadis yang dimaksudkan sang guru.
Sebenarnya peraturan mengikat rambut untuk anak perempuan yang rambutnya melebihi batas bahu, banyak membuat anak perempuan jengah. Tidak semua siswi dengan ikhlas mengikuti peraturan itu. Mereka akan menggunakan berbagai alasan mulai dari sakit, tidak gaul, jelek, dan sebagainya.
Entah dari mana, Diana muncul dan menengahi guru tersebut dan Gemma. “Bu, Biarin Gemma pake jaket, ya? Dia nggak enak badan.”
Maria, guru pengawas kantin bertubuh kecil pendek itu sepertinya tidak mempedulikan pembelaan Diana. Dengan kasar, Maria menarik rambut Gemma dan mengikat rambutnya dengan karet gelang secara sembarangan.
Tiba-tiba Maria tertawa. “Anak gadis kalo kerokan jangan sampe leher dong. Malu tau, tuh keliatan!” ledek Maria saat melihat bekas kemerahan melintang di tengkuk Gemma yang sepertinya memanjang dari punggungnya.
Wajah Gemma terlihat memerah karena malu, dia tidak merespon ledekan Maria yang masih terkekeh. Belum selesai kekehannya, Maria sudah melepas paksa jaket yang Gemma kenakan.
“Kalo sampe saya lihat kamu pake jaket lagi, saya tambah poin kamu. Ngerti?” kata Maria sambil menyita jaket Gemma dan berlalu pergi.
Beberapa anak menertawakan kejadian itu. Tetapi tawa yang paling nyaring dan mencolok adalah suara tawa dari mulut Erika dan kawan-kawan.
Tanpa mempedulikan teman-teman yang menertawakan Gemma, Diana langsung menarik tangan Gemma berjalan menjauhi kantin dan berhenti tepat di depan pintu masuk WC perempuan.
“I’m sorry gue baru dateng. Tadi jam 1 dan 2, gue dipanggil ke ruang OSIS. Lo nggak apa-apa ‘kan?” tanya Diana dengan cemas. “Sini, kemariin punggung lo, gue mau liat.
Gemma mengelak. “Udah, Di. Gue nggak apa-apa kok.”
Diana menghembus napas dengan kesal dan menarik kerah belakang Gemma secara paksa hingga turun beberapa senti. Matanya membesar saat melihat ada banyak garis-garis merah menumpuk di punggung Gemma. Kalau dilihat dari atas memang seperti bekas kerokan, tapi kalau dilihat keseluruhan, sungguh mengerikan.
“Kita ke UKS, sekarang!” paksa Diana sambil menarik tangan Gemma lagi menuju unit kesehatan sekolah yang dijaga oleh salah seorang anak PMR.
“Minta salep luka, sama pain killer,” kata Diana. Dia sudah sering terluka saat pertandingan dan tahu obat apa saja yang biasa digunakan untuk meredakan sakit.
Gemma duduk di bed pasien dengan kepala tertunduk lesu. Dia membiarkan saja temannya itu membuka seragam putihnya dan melepas pengait branya. Kemudian, mengoleskan salep di sepanjang punggung Gemma yang terdapat luka cambukan.
“Ssshhh!” ringis Gemma dengan mata terpejam erat dan air mata yang hampir tumpah.
“Tahan ya Gem …” ucap Diana tak tega. Tapi dia harus segera mengoleskan salep ini pada tubuh sahabatnya itu.
Setelah semua garis luka teroles dengan salep, Diana membaringkan tubuh Gemma dengan posisi miring. Saat meraba kulit Gemma, Diana mengambilkan termometer dan melihat kalau suhu tubuh Gemma sudah melewati batas normal. “Badan lo hangat, Gem.”
“Hm-m. Gue cuma perlu istirahat bentar. Thanks Di.”
“Gue bakal hajar siapapun yang ngerjain lo, Gem.”
“Nggak usah, Di. Gue nggak―”
Diana sudah gelap mata. Dia keluar dari UKS dan pergi mencari orang yang dimaksud.
“Ikut gue, SEKARANG!” geram Diana saat menemukan Gala yang baru saja selesai makan di kantin. Diana menarik Gala diikuti oleh Febri dan Niko yang hanya pasrah, tidak berani mendekat kalau Diana sudah marah.
Bruk!
Tubuh Gala terhempas ke paving blok setelah diterjang Diana. Kini mereka sedang ada di parkiran sepeda yang jauh dari keramaian dan pengawasan guru-guru.
“Brengsek lo ya! Lo kalo ada masalah ama cewek, jangan begini lo. Licik banget lo kayak uler!”
Gala menggosok pantatnya. Saking kerasnya tamparan itu, bokongnya sampai nyeri. “Eh kurang ajar! Salah gue apa sampe lo lempar gue kayak gini?”
Niko dan Febri buru-buru datang dan memegangi Diana. Tetapi wanita yang sudah kepalang marah itu menatap kedua cowok tampan itu macam bocah ingusan sampai mereka ketakutan. Mereka tidak jadi mendekat karena takut dihajar. Tetapi bersiap siaga akan membawa kabur Gala jika diperlukan.
“Lo ‘kan yang ngirim SMS sama gue? Pura-pura jadi Gemma, suruh gue datang ke rumah bawain gitar. Pake bilang bokapnya Gemma ngizinin pula. Bohong lo tuh niat banget.”
Kening Gala terlipat, kepalanya sedikit miring. Dia tidak mengerti apa yang Diana bicarakan. “SMS apa sih yang lo maksud? Ngizinin buat apa? Gue bener-bener nggak ngerti dah.”
Diana mengeluarkan ponselnya dan mempertunjukkan nomor dan SMS yang masuk tadi malam. “Ini nomor lo kan? Banci lo! Lo kenapa sih nggak biarin aja Gemma ikut kompetisi itu, hah? Terluka banget kayaknya harga diri lo liat cewek yang main. Selama ini, dia nggak pernah nunjukin bakatnya dia. Gue yang kasih rekomendasi sama Bu Rosa. GUE!”
“Bentar-bentar. Ini masalahnya apaan? Itu bukan nomor gue, sumpah!” Gala semakin bingung.
“Lo jangan belagak bego! Gemma itu nggak punya hape, asal lo tau! Dia selalu pake nomor tukang ojek di depan rumahnya buat ngirim pesan sama gue kalau dia udah di rumah dan butuh sesuatu.
Tadi malam, dia minta diantarin gitar yang selama ini dia sembunyiin di rumah gue. Dan apa yang jadi harapan lo akhirnya terjadi. SELAMAT! Keinginan lo kesampaian! Dia nggak bakal ikut kompetisi itu karena bokapnya udah hancurin gitarnya dia, rusak sampe nggak berSISA!”
Gala menganga, berusaha mencerna semua informasi beruntun yang dimuntahkan Diana dengan penuh luapan emosi. Tapi Gala benar-benar has no idea tentang apa yang terjadi. Berbagai pertanyaan berseliweran di dalam otaknya tentang siapa Gemma dan bagaimana keluarganya.
“Emangnya bokapnya Gemma semengerikan itu? Gosip itu … bener?”
“Lo jangan pura-pura nggak ngerti masalahnya gitu dong. Gentle jadi cowok! Akuin kalo lo emang salah!”
“Diana, gue nggak tahu gimana cara yakinin lo, tapi itu benar-benar bukan nomor gue. Kalo lo nggak percaya, tanya aja Niko atau Febri.”
Febri dan Niko mendekat, melihat nomor itu dan keduanya menggeleng dan berusaha meyakinkan Gemma kalau nomor itu bukanlah nomor Gala.
Gala menoleh pada Diana dengan tatapan penuh tanya, ingin mengkonfirmasi kalau pikirannya mungkin salah. “Emang Gemma diapain aja sama Bokapnya?”
Diana lantas memandang Gala yang sepertinya benar-benar tidak punya petunjuk apa-apa tentang kejadian ini.
“Lo bener-bener nggak pernah tahu gimana bokapnya Gemma kalo denger anaknya main gitar?”
...****************...
Visualnya nanti pas udah gede aja yaaa
kiss kiss 💋💋💋
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments