“Papa gimana?” tanya Gala lewat ponselnya. Saat ini, dia sedang menerima telepon dari seorang wanita.
“Aman,” kata Mona, kakak perempuan Gala.
“Papa lagi ngapain sekarang? Tiduran?”
“Lagi nyeleksi kandidat Manager Keuangan ...”
“Lah, kenapa harus sampai Papa, Kak? Bukannya istirahat malah―”
“Justru itu, Gala. Gara-gara korupsi besar-besaran Pak Prabu dkk kemarin, Papa jadi selektif banget. Harus yang udah nikahlah, inilah, itulah… Kakak sih ngikut aja. Lagipula, Papa pengen nanti pas ada di tangan Kakak, semua udah beres. Anyway, gimana? Kompetisi gitar solo, jadi ikut nggak?”
“Aku jadi ikut, Kak. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Ya, nggak yang kayak kuharapin sih… panjang ceritanya Kak. Ada cewek―”
Mendengar kata ‘cewek’, Mona langsung semangat sampai memotong, “Cantik nggak?”
“Ish, Kakak mah gitu… Nggak jadi cerita ah…”
“Hahaha, santai dong Bro… Nanti kita cerita-cerita lagi. Malam ini Kakak jemput ke tempat Papa.”
“Oke, Kak… See you…”
Gala menekan tombol merah untuk memutuskan panggilan itu. Ada desah lelah yang terdengar dari mulutnya ketika harus bersinggungan dengan sang Papa. Dia lalu mengalihkan perhatiannya, fokus untuk menyelesaikan konflik ini satu demi satu.
Niko dan Febri mendatangi Gala dengan wajah serius.
“Lo yakin mau biarin Gemma yang main?” tanya Febri.
Gala mengangguk sekali.
Niko mendesah pelan. “Tapi gimana bokap lo? Bukannya lo udah terlanjur bilang sama beliau kalau lo yang maju?”
“Gue ngalah aja. Lagian, bokap gue sering lihat gue menang kok. Nggak mesti gue lagi yang maju ‘kan?”
Febri menggeleng tidak mengerti. “Tapi ini kan―”
“Feb, ini udah jadi keputusan gue.”
Gala menatap sepatunya dan menyepak-nyepak tanah kering yang dia pijak dengan tidak sabaran. Febri dan Niko akhirnya mundur menjauh.
Setelah berhasil meyakinkan Diana, giliran dia harus bertemu dengan Gemma untuk menyelesaikan semua kesalah pahaman ini secara pribadi. Secara gentle…
Mereka sudah tahu siapa pemilik nomor itu, yang ternyata adalah nomor ponsel milik Erika. Tuh anak berani-beraninya bikin salah paham sefatal ini!
Mereka ingin melapor. Tapi ada banyak nama yang dipertaruhkan di sini. Ada nama guru mereka, Rosa, yang ternyata sudah tahu perkara ayah Gemma dan masih ingin membawa Gemma ikut dalam lomba. Dan mengingat risiko yang lebih parah, akhirnya niat mereka urung.
Gala tidak menyangka kalau gosip―tentang betapa mengerikannya kalau ayah Gemma marah―itu benar. Rasa bersalah menyerbu benaknya bagai ribuan jarum tak terlihat yang menusuk hingga ke jantung.
Berbagai kekuatiran muncul dalam hatinya tentang Gemma. Bagaimana kalau dia sakit karena luka di punggungnya? Bagaimana kalau dia kenapa-napa? Bagaimana kalau… Arrrghhh!!! Gala berteriak frustrasi dalam hatinya.
“Diana, lo pulang aja. Besok, lo pasti sibuk buat ngurusin MOS buat hari Senin nanti. Gue baik-baik aja. Serius,” kata Gemma dengan senyum tipis khas miliknya yang membuat wajahnya semakin tirus.
Diana pun melangkah pergi, tapi tidak benar-benar jauh dari Gemma. Diana membiarkan gadis itu menemui Gala seorang diri, sampai dia yakin benar kalau Gala tidak akan berbuat jahat pada temannya.
“Are you okay?” tanya Gala pada Gemma dengan tatapan yang begitu intens.
Gemma menatap datar pada Gala, lalu menghembuskan napas pelan. “Gue akan lapor ke Bu Rosa kalau gue mengundurkan diri.”
“What?”
Gala terperangah. Dia memang mengharapkan Gemma mundur, tapi bukan seperti ini caranya. Dia tidak mengharapkan semua luka itu tercetak jelas di punggung Gemma yang tertutup kemeja sekolah. Gala tidak pernah berharap tubuh seseorang akan terluka hanya karena ambisinya terhadap lomba itu.
“Lo bisa maju gantiin gue,” lanjut Gemma.
“Gem… gue nggak nyangka kalo kejadiannya bakal begini. Gue nggak pernah doain yang buruk-buruk menimpa lo.”
“Tapi ini udah kejadian, Gala. Gue nggak ada pilihan selain give up, tinggalin hobi dan kesukaan gue.”
“Gue akan pinjamin gitar gue.” Ujar Gala yang semakin merasa bersalah dan berusaha memberi solusi atas semuanya. “Lagian, kata Diana, minggu depan Bokap lo udah dinas ke Kalimantan, ‘kan? Nggak ada yang harus ditakutin.”
Gemma mengangkat telapak tangan kirinya di depan wajah Gala dengan gestur menolak. “Nggak perlu, Gala. Lo simpen aja. Lagian, gue nggak bisa main dalam waktu dekat ini. Tangan gue nggak bisa dipake latihan.”
“What do you mean?” Rasa penasaran Gala semakin meningkat. Dia memindai fisik Gemma dari atas sampai kebawah. Hingga matanya jatuh pada jemari di tangan kanan Gemma yang mendadak tremor. Di sana ada beberapa luka lecet yang entah dari mana asalnya. “Itu tangan lo kenapa gemetaran?”
Gemma menunduk melihat jari kelingkingnya yang terlihat bengkak.
Refleks, Gala maju selangkah, mengambil tangan Gemma dengan pelan dan melihat apa yang sebenarnya terjadi pada tangannya. Jari kelingking kanan Gemma membesar dari ukuran yang seharusnya, terlihat merah dan sedikit berdenyut.
“Ini… jari lo sakit?” tanya Gala dengan concern. Seketika, perasaan ngeri menyerbu hatinya. Kekerasan apa saja yang terjadi pada Gemma sampai seperti ini? Melihat luka Gemma seperti ini, kenapa jari-jarinya jadi ikutan nyeri?
Gemma mengangkat kepalanya, menatap langsung mata Gala saat dia menyadari perhatian Gala yang tiba-tiba. Kemudian, dia mengangguk perlahan tanpa bersuara.
Gala menatap luka Gemma dengan wajah horor. Ya ampun, semoga dugaan Gala salah besar…
...***...
“Lo masih bisa tahan ‘kan? Gue manggil supir dulu, biar kita bisa bawa lo ke rumah sakit,” ujar Gala pada Gemma saat mengantarkannya duduk di dekat pintu gerbang sekolah. Sementara Febri dan Niko mengekor Gala dengan setia.
Beberapa jam kemudian di rumah sakit, Gemma diizinkan pulang setelah jari kelingkingnya dipasangi finger splint. Hasil pemeriksaan ditemukan bahwa jari Gemma mengalami retak sedang. Dengan kondisi kelingking cidera seperti itu, jelas Gemma tak akan bisa bermain di kompetisi manapun. Untuk menulis saja, dia pasti kesulitan.
“Antar Diana aja dulu. Gue mau bicara sama lo,” pinta Gemma pada Gala. Diana sempat merasa aneh. Tapi dia tidak bertanya apa-apa sampai dia diturunkan tepat di depan pintu jalan masuk komplek rumahnya.
“Itu, singgah aja di situ,” Gemma meminta supir Gala untuk menepi dekat sebuah taman komplek.
Gemma turun dari mobil diikuti oleh Gala. Langkah mereka terhenti dekat air mancur di tengah-tengah semak tanaman yang dipangkas menyerupai labirin mini.
“Gem … Gue menyesal banget atas kejadian ini,” ungkap Gala dengan tulus. “Gue nggak mau lo celaka.”
Ada desah berat yang keluar dari mulut Gemma. “Tapi gue udah celaka, Gala. Lo pintar sembunyikan itu semua, tapi gue nggak bodoh.”
Gala terkejut bukan kepalang mendengar penuturan Gemma. Dia kira, hubungan mereka akan membaik dan tidak lagi dingin. Tapi kini, sepertinya Gemma telah menyimpulkan suatu hal yang buruk. Kepala Gala terangkat, netranya berbinar bingung. “Sembunyikan apa Gem?”
“Lo dan Erika bisa jadi pasangan yang klop. Kalian cocok banget dalam hal jebak menjebak.”
Dahi Gala mengernyit. “Lo ngomong apa sih?”
Ada senyum sinis yang ditampilkan Gemma pada Gala. “Ini kerjaan elo sama Erika kan?"
“Lo ngira gue kerja sama dengan Erika buat bikin lo kayak gini, begitu?”
Gemma mengangguk dengan wajah datar, sulit sekali bagi Gala untuk dapat membaca perasaan Gemma saat ini. Tapi yang jelas, Gemma tidak ingin mempercayainya, bahkan setelah Gala mengantarnya ke rumah sakit.
“Bukannya lo yang ngancam gue buat laporin semua ke ayah gue?”
“Gem, gue waktu itu cuma menggertak. Gue nggak bener-bener ngelakuinnya. Sumpeh deh. Gue nggak tahu caranya gimana buat lo percaya. Gue di sini jujur. Gue nggak bohong sama sekali ke lo.”
“Sekarang udah nggak penting lagi. Gue tahu banget perjuangan lo main gitar itu gimana. Lo datengin gitaris PES band langsung, Bang Fad, buat jadi tutor lo. Gue iri sama lo karena punya segalanya.
Gue tahu banget mentor kamu sibuk manggung di mana-mana, dan lo pasti punya uang yang cukup untuk sewa tutor seperti beliau. Gue sering nguping pembicaraan lo sama Bu Rosa tentang improvement lo selama belajar langsung sama Bang Fad. Effort lo gede, Gala. Sedangkan gue?
Gue cuma pemain gitar kacangan yang kebetulan punya telinga super peka dan kemampuan memetik yang masih amburadul. Jadi sekarang, nikmati aja semuanya. Gue doain lo menang. Jangan kuatir sama kerikil kecil kayak gue. Meski gue punya tenaga, gue tetap nggak bakal bisa menghalangi lo lagi.”
Kata-kata super panjang itu akhirnya meluncur begitu saja dari bibir tipis Gemma. Gala yakin kalau tidak ada yang pernah dengar Gemma dapat bicara sebanyak itu. Bahu Gemma naik turun, digerakkan oleh emosi yang memenuhi dadanya. Hidungnya bergerak-gerak dan matanya dipenuhi air mata yang membanjir.
Gala menatap Gemma dengan pasrah. Gadis itu tidak ingin memaafkannya. Kini dia benar-benar kehilangan arah, tak tahu hendak berbuat apa, bahkan kesulitan membuktikannya.
Dia pernah mengancam Gemma dengan membawa-bawa nama sang ayah. Itu sudah jadi landasan yang cukup untuk membuat Gemma tidak akan percaya. Dia tidak ingin berlomba dengan cara seperti ini juga.
“Makasih karena sudah bawa gue ke rumah sakit. I really appreciate it. Tapi, gue nggak mau lihat lo deket-deket gue lagi, dan permainan gitar gue nggak akan lo dengar lagi.”
Gadis itu lalu pergi meninggalkan Gala yang mematung di tempatnya. Kakinya seakan terpaku dan dadanya sesak oleh rasa bersalah yang hebat.
...****************...
Hayoloh Gala... Gemma marah...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments