Suara dari sol sepatu menapak lantai terdengar nyaring. Sesekali wanita menggunakan kemeja putih berbalut jas hitam yang dipadukan dengan span berwarna abu-abu itu menjadi sorotan mata. Penampilan cukup menawan siang itu membuat beberapa orang tidak fokus saat bersisian melintasi koridor rumah sakit.
Ya, wanita cantik nan anggun itu tidak lain ialah Nadin. Terlihat di salah satu tangannya membawa sesuatu. Mungkin buah atau makanan yang akan diberikan pada wanita hamil semalam.
Tidak menyangka jika ia harus kembali pulang saat malam telah berganti pagi bahkan menjelang subuh. Setelah ketegangan dan kepanikan atas keadaan wanita hamil yang mengalami pendarahan, pada akhirnya dokter memutuskan untuk melakukan operasi Cesar. Dengan keadaan yang tidak normal Nadin pun terpaksa menjadi wali atas wanita tersebut.
Mengingat kembali kejadian malam tadi membuat Nadin semakin dirundung kegelisahan. Sebab setelah wanita berdarah asing itu melahirkan, ia terpaksa harus meninggalkannya sendirian. Mau bagaimana lagi, Nadin pun juga butuh istirahat meski sebenarnya ia tidak tega.
Beberapa menit berlalu cukup ia habiskan waktu untuk menyusun berbagai macam pertanyaan terhadap wanita asing. Kini langkah kaki terhenti pada sebuah ruangan yang kemarin menjadi akhir pertemuan dengan wanita yang ditolongnya. Nadin segera meraih knop pintu dan membukanya lebar.
Siap wanita cantik itu menyuguhkan senyum saat masuk ke dalam kamar. Menatap lurus di mana sosok wanita asing yang kemarin ditolongnya sedang memberikan ASI eksklusif pada bayinya.
"Selamat siang," sapa Nadin sembari melangkah mendekat.
Wanita yang sedang asik menyusui bayinya, kini mengalihkan pandangan ketika mendengar suara pintu terbuka dan sapaan dari seseorang.Tidak perlu waktu lama untuknya membalas senyuman Nadin.
"Siang juga. Aku menunggumu," ucap wanita asing dengan senyuman lebar.
Nadin meletakkan buah tangan yang dibawanya di atas nakas. Kini senyuman kembali merekah saat mendengar suara riang dari wanita asing yang baru ia kenal semalam.
"Buah segar baik untuk kesehatan," seloroh Nadin sembari menarik kursi yang ada di samping pembaringan pasien dan segera duduk di atas sana.
"Bagaimana keadaanmu hari ini, Laurin? Maaf aku datang terlalu siang karena ada sedikit urusan," ujar Nadin mencairkan suasana.
Laurin menggeleng.
"Tidak, tidak apa. Seharusnya aku yang meminta maaf karena sudah merepotkanmu, Nadin." Laurin menatap dalam ke dua bola mata Nadin. "Sungguh aku tidak bisa lagi membalas kebaikanmu. Terima kasih."
Laurin berusaha meraih tangan Nadin dan menggenggamnya.
"Jangan dipikirkan! Sudah sepantasnya aku melakukan hal itu, tidak menutup kemungkinan orang lain juga akan melakukan hal sama," balas Nadin.
Laurin tersenyum lembut sembari mengangguk kecil. Ia sungguh beruntung karena bisa bertemu dengan orang yang baik hati seperti Nadin.
Kedua mata Nadin tak hentinya menatap bayi mungil dalam dekapan Laurin yang sedang melakukan kegiatan. Perlahan atas panggilan hati, Nadin beranjak dari duduknya dan berpindah duduk pada sisi ranjang. Tangannya terulur untuk menyentuh bayi mungil yang masih memerah.
"Putrimu sangat cantik Laurin," ucap Nadin tanpa mengalihkan pandangan.
Laurin terkekeh kecil. Saat tiba-tiba sesuatu terlintas begitu saja tanpa diminta. Nadin seketika kembali dihadapkan oleh kebimbangan. Namun, sepertinya hati Nadin tidak bisa ia arahkan untuk menahan rasa penasaran.
"Laurin."
Wanita itu hanya berdeham dan menatap Nadin.
"Lalu, bagaimana dengan keluargamu? Apakah kamu tidak ingin menghubunginya? Aku bisa meminjamkan ponselku, jika kamu mau?" tanya Nadin dengan hati-hati.
Laurin menatap lamat-lamat wajah Nadin. Ada guratan kekecewaan tersirat dari wajah Laurin. Nadin pun turut mengiba meski tidak tahu kebenarannya.
Lemah gerakan Laurin menggeleng. Nadin sekali lagi tertegun. Ia menjadi semakin bingung juga penasaran. Bagaimana mungkin kabar gembira atas kelahirannya tidak ingin ia sampaikan pada keluarga.
'Aneh sekali Laurin ini?' batin Nadin.
"Ada apa Laurin? Katakan saja jika kau mau! Mungkin aku bisa menolongmu," desak Nadin.
Laurin mengembuskan napas sejenak. Ribuan ungkapan telah ia rangkai cukup banyak di dalam hati dan siap mengudara. Pada awalnya ia tidak cukup berani membawa masuk orang lain dalam urusan keluarganya. Akan tetapi, di sisi lain ia sedang membutuhkan bantuan.
"Mmm ... aku, sebenarnya aku—"
Laurin dan Nadin mengalihkan pandangannya. Keduanya terpaksa harus menahan diri untuk saling menemukan kelegaan.
Ceklek
Seorang wanita berpakaian putih melangkah masuk ke dalam dengan menyuguhkan senyum.
"Selamat siang, Bu Laurin. Sudah waktunya baby Laura kembali."
Melangkah semakin mendekat. Laurin pun segera mengakhiri kegiatan yang dilakukan oleh putrinya. Perawat itu telah siap mengambil alih Laura dari dekapan hangat ibunya.
"Semoga baby Laura tidak rewel lagi ya, Bu," ujar perawat saat berhasil menggendong Laura kecil.
"Ya ... semoga saja, Sus," balas Laurin penuh harap. Sudah sejak pagi tadi dirinya harus melawan rasa sakit akibat operasi, sebab putrinya sangat rewel juga tidak ingin berada jauh dari ibunya.
"Baik, saya permisi, Bu," pamit perawat.
Kedua bola mata masih menatap sosok wanita berpakaian putih tersebut hingga keluar dari kamar. Kini Laurin cukup leluasa untuk bercerita.
Laurin berdeham, membuat Nadin kembali fokus pada sosok wanita yang baru menjadi seorang ibu tersebut. Tangan Laurin meraih tangan Nadin dan menggenggamnya.
"Aku ... ehm ... sebenarnya." Laurin melepaskan genggaman tangan kemudian menutup wajahnya.
Nadin mengerutkan kening. Siapa sangka sayup-sayup ia mendengar suara isak tangis yang coba ditahan oleh Laurin.
"Astaga ...," gumam Nadin lirih. Ia menggeser sedikit tubuhnya. Tak menunggu lama, segera kedua tangan memeluk tubuh Laurin yang kini semakin terguncang. Bersamaan dengan tubuh bergetar, isak tangis semakin terdengar jelas.
"Tenanglah, Laurin!" bisik Nadin mengiba.
Meski keingintahuannya cukup besar. Nyatanya ia tidak sanggup menuntut pada keadaan. Usapan lembut ia berikan supaya Laurin bisa tenang.
"Aku ...."
Laurin melepaskan diri dari pelukan Nadin. Wanita itu mengusap wajahnya yang telah basah oleh air mata. Nadin kembali mendudukkan dirinya. Menatap Laurin sembari menunggu kisah yang mungkin akan diceritakan.
"Katakanlah! Ada apa sebenarnya?" ucap Nadin sembari menggenggam sebelah tangan Laurin.
"Aku ... kabur dari rumah. Maaf karena aku harus menyusahkanmu, Nadin."
Laurin menundukkan kepalanya.
"Aku berhutang padamu. Biaya untuk operasiku hingga perawatan Laura tidaklah sedikit." Ia mengusap kulit wajah yang kembali berlinang air mata menggunakan sebelah tangan.
Nadin menggeleng sambil berujar lembut, "Tidak, tidak masalah. Aku tidak akan menuntutmu untuk menggantinya tapi, aku hanya ingin tahu mengapa kamu kabur."
Laurin kembali menatap Nadin. Kali ini tatapan mata ia buat fokus menatap wajah Nadin. Meyakinkan diri jika wanita cantik yang telah membantunya tidak akan meninggalkan dirinya sendiri.
"Sebenarnya ... aku telah berpisah dengan suamiku, Nadin. Dia berselingkuh dengan wanita lain. Jauh-jauh aku datang dari London karena keadaan membuatku terpuruk. Nyatanya saat aku tinggal di sini bersama kakakku. Dia bersumpah akan membawa bayi yang kulahirkan nanti ke panti asuhan."
Laurin bercerita sambil terisak-isak. Bahkan ia cukup berat saat menyelesaikan perkataannya. Melihat tubuh Laurin yang kembali terguncang, hal itu membuat Nadin semakin mengiba. Ia kembali merengkuh tubuh lemah wanita yang baru saja melahirkan tersebut.
"Sudah Laurin. Jangan bersedih lagi! Kau bisa tinggal bersamaku," bisik Nadin sembari memberikan usapan lembut pada punggung Laurin.
Ia belum pernah mengalami hal semacam ini. Sungguh sesuatu yang tidak biasa. Bahkan keluarga sendiri berniat jahat seperti itu. Apalagi dalam keadaan seorang wanita yang terluka sebab kisah cinta yang tidak berjalan mulus.
"Aku akan membantumu. Tenanglah!" bisik Nadin lagi.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
༄༅⃟𝐐Dwi Kartikasari🐢
lanjut....
2021-12-20
0
Vera😘uziezi❤️💋
Tegang kak
2021-01-08
0
🌼 Pisces Boy's 🦋
dendam mengalahkan cinta
2020-09-26
2