My December 2

...“Dari sekian banyak hati menghampiri. Kenapa hati ini terpikat pada dirimu”...

.......

.......

.......

...-Macarius Aeden Robertson-...

...****...

Kini Dea duduk bersama pria yang tadi menolongnya di sudut ruang yang disediakan meja dan kursi. Dea merasa gugup dan salah tingkah saat sesekali melihat pria itu yang tersenyum padanya.

“Kamu enggak apa-apa kan?” tanya pria itu pada Dea.

“Hah? Oh i-iya gak papa kog” jawab Dea disertai senyuman.

“Manis” gumam pria itu yang masih dapat di dengar Dea.

“Apa?” tanya Dea bermaksud memastikan.

“Ah bukan apa-apa kog, oh iya kita belum kenalan lo. Kenalin nama aku Aeden” ucap pria itu sambil mengulurkan tangannya.

“Dea” jawab Dea meraih uluran tangan itu.

“Kamu sendiri?” tanya Aeden.

“Oh enggak kog, tadi sama sahabat aku. Bentar lagi dia dateng” ucap Dea sambil menata buku-buku yang akan ia pinjam.

“Mau pulang sekarang?” Aeden meraih buku yang akan ia pinjam juga.

“Iya soalnya udah mau siang, oh ya buat yang tadi makasih ya Aeden” Dea tersenyum tulus membuat jantung Aeden berdebar.

Sesaat bola mata mereka saling menyelami satu sama lain. Saling merasakan detak jantung yang berdebar, dan saling mengagumi satu sama lain. Sampai sebuah suara menyadarkan mereka.

“Loh Aeden?” sapa Thea yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Dea.

Tadinya Thea penasaran dengan pria yang duduk di samping sahabatnya itu. Thea segera menghampiri dan tidak menyangka akan bertemu saudaranya yang sudah lama tidak berjumpa.

“Thea” ucap Aeden bangkit lalu memeluk Thea.

Dea terdiam melihat bagaimana Aeden memeluk Thea dengan penuh kasih sayang. Sesaat Dea merasa sakit pada ulu hatinya, ia merasa tidak rela saat Aeden memeluk Thea. Ada apa dengan dirinya? Dea merutuki dirinya sendiri atas pemikiran aneh yang terlintas dalam benaknya.

“Dasar cowok sialan kemana aja kagak ada kabar gue kira lo mati” sungut Thea melepas pelukan mereka.

“Lo kan tau gimana sibuknya anak kelas 3 SMA. Kayak lo masih kelas 1 SMA aja” cibir Aeden mengacak rambut Thea.

“Halah alasan banget lo” Thea melirik tajam pada pria berdarah Indonesia Belanda itu.

“Enggak alasan kog Thea” kilah Aeden.

Thea melirik raut wajah bingung Dea, lalu ia menatap wajah Aeden penuh tanya.

“Kalian kenal?” tanya Thea pada Dea dan Aeden.

“Tadi Aeden yang nolongin aku ambil buku” jelas Dea apa adanya.

Thea memicing mata mendengar ucapan Dea, sejauh ini Aeden termasuk pria dingin dan cuek pada sekitarnya. Lalu apa ini? Seorang Aeden nolong Dea, sahabatnya?

Aeden menjitak kepala Thea saat menyadari apa yang dipikirkan saudaranya itu.

“Enggak usah mikir yang aneh-aneh deh” ucap Aeden.

“Kog Thea di jitak sih kan kasian” sahut Dea dengan wajah polosnya.

Aeden tersenyum menatap wajah polos Dea. Baru kali ini ia merasakan hal lain setiap menatap mata indah itu. Apa mungkin ia tertarik pada Dea? Benarkah hanya sebatas tertarik? Atau mungkin...

“Thea kita pulang yuk” ajak Dea membuyarkan lamunan Aeden.

“Yaudah yuk, Aeden kita duluan ya” pamit Thea menarik tangan Dea.

“Duluan ya Aeden” sambing Dea tersenyum manis.

“Okay manis” jawab Aeden membuat pipi Dea merona.

“Jangan gombalin sahabat gue” ketus Thea.

Aeden pun tertawa kecil menatap kepergian dua gadis itu. Hanya pada Dea sikap dinginnya hilang begitu saja. Sejujurnya sejak Dea masuk ke perpustakaan kota Aeden sudah menatapnya dari jauh. Sampai akhirnya Aeden melihat Dea yang akan jatuh saat memgambil buku tadi. Aeden pun memilih untuk mencari satu buku lagi yang ia butuhkan sebelum pulang.

.

.

.

“Makasih Thea, gak mampir dulu?” ucap Dea sambil membuka pintu mobil.

“Besok aja ya De, soalnya aku mau anter oma juga nih. Tau sendiri kan kalo enggak tepat waktu bisa rewel” keluh Thea dibalas tawa oleh Dea.

“Iya udah kalo gitu hati-hati bawa mobilnya tkut beset kan kasian” canda Dea membuat Thea mendengus kesal.

Emang pentingan mobil apa dari pada gue, pikir Thea.

“Okay bye bye Dea jelek” teriak Thea langsung menancap gas.

Dea menggeleng kepala melihatnya, untung sahabat. Dea berbalik membuka pintu pagar lalu berjalan memasuki rumah yang sudah sejak kecil ia tinggali bersama sang nenek.

“Assalammualaikum nenek, Dea cantik dan manis pulang” pekik Dea sambil terkikik.

“Waalaikumsalam cucu oma yang manja” jawab nenek Salma dari arah dapur.

“Nenek ngapain di dapur kan ada mbak Inah nek, nenek tuh istirahat aja jangan sampek kecapekan” ucap Dea meraih tangan yang kini mulai keriput.

“Nenek tuh cuma ngeteh kog sambil liatin si Inah masak. Oh iya ini udah siang kamu sudah sholat dhuhur?” tanya nenek Salma.

Dea menyengir lalu berlari menaiki anak tangga menuju kamar sambil berteriak.

“Belum nek, ini mau mandi terus sholat dhuhur”

“Dasar anak itu mau sampai kapan kayak gitu, manjanya minta ampun” gumam nenek Salma lalu kembali ke meja makan melanjutkan minum tehnya.

Di dalam kamar Dea bergegas mandi selesai itu langsung ambil air wudhu’ dan sholat dhuhur dengan kusyu’. Sholat kali ini Dea meminta pada Allah untuk membukakan hati orang tuanya agar segera pulang. Sungguh Dea juga merasa rindu yang mendalam.

Selesai berdoa Dea membereskan perlengkapan sholatnya lalu duduk di meja belajar. Tangan Dea meraih ponsel melihat pesan masuk dari siapa saja, ternyata dari teman sekelas dan grup OSIS saja. Dea menghela nafas saat tak melihat satu pesan pun dari kedua orang tua nya.

Bola mata Dea menelisik barang-barang di atas meja belajarnya, sampai pandangannya tertuju pada buku yang hampir membuatnya jatuh. Seketika wajah Dea tersenyum merona saat mengingat kejadian singkat di perpustakaan kota tadi.

Entah mengapa tapi senyum Dea semakin mengembang saat Thea menjelaskan bahwa Aeden masih saudaranya. Kebetulan memang sudah lama tidak bertemu, biasanya saat ke gereja Thea akan bertemu tapi beberapa bulan terakhir ini ia tidak bertemu.

“Ih aku kog jadi mikirin dia sih, ih malu-maluin deh” gumam Dea mengusap cover buku itu.

“Ah udah ah ngapain juga aku mikiran dia” sambung Dea bangkit menyusul sang nenek.

.

.

.

Di tempat lain seorang pria tersenyum mengingat kejadian tadi di perpustakaan kota, siapa lagi kalo bukan Aeden. Beberapa kali Aeden mengetuk jarinya di atas meja belajar menimbulkan suaran yang berirama. Aeden melirik pada ponsel yang teronggok di tas meja belajar membuat senyumnya sedikit surut.

“Kenapa tadi enggak minta nomor telpon Dea sih? Ya ampun kog bisa sampai lupa sih” gumam Aeden membolak balikkan ponselnya.

Sesaat Aeden terdiam memikirkan bagaimana ia bisa menghubungi Dea, sampai satu nama terlintas dalam otaknya.

Thea...

“Bener banget kenapa enggak kepikiran buat minta nomor telponnya Dea ke Thea aja sih” pekik Aeden lalu menghubungi Thea.

Hallo semua...

Gimana nih lmudah pada penasaran belum sih sama kelanjutannya. Tunggu aja terus ya...

Setiap hari author bakal up satu part untuk kalian....😁

Jangan lupa like, komen dan vote ya🔥🔥🔥🔥

Makasih❣️

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!