Kaki jenjang melangkah pelan menelusuri lorong sekolah, Amira terus menebar senyumannya. Membuat beberapa siswa yang berada di sana, kelepek-kelepek. Dalam soal paras, Amira memang sangat cantik. Bibir tipis merah ranum, hidung mancung, mata bulat dengan iris indah dan wajah yang begitu imut dan menggemaskan. Tak heran jika dia jadi primadona sekolah.
“Hay guys!” teriaknya ketika sudah sampai di dalam kelas. Tersenyum sembari memandangi satu persatu teman sekelasnya.
“Pagi cantik,” sapa Adnan balik. Pria yang menjabat sebagai ketua kelas.
Amira kembali berjalan, melewati beberapa bangku dan meja yang berjejer. Ia menghampiri gadis berhijab segitiga yang tengah membaca buku. Siapa lagi kalau bukan Cinta Amara—teman sekaligus saudari bagi Amira.
“Assalamu’alaikum Ukhty Cinta,” sapa Amira sambil senyum-senyum ke arah Cinta.
“Wa’alaikum salam. Kemarin ke mana? Kok enggak sekolah?” Cinta memberondong Amira dengan pertanyaannya.
“Oke, oke. Sabar ya, aku duduk dulu, nanti aku ceritain deh,” ucap Amira sambil mengambil bangku untuk dia duduki.
Cinta langsung meletakkan buku dalam genggaman. Ia benar-benar penasaran dengan Amira, dan enggak biasanya juga, gadis itu terlihat begitu bahagia.
“Jadi apa? Kenapa kamu tidak sekolah kemarin?”
“Elah, Cinta Amara, sabar napa. Belum juga napas,”
“Aku penasaran,”
“Iya iya. Jadi gini. Aku—“
“Selamat pagi murid-murid.” Ucapan Amira terhenti saat mendengar sapaan guru perempuan yang sudah masuk dan akan segera memulai pelajarannya.
“Pagi Bu!”
“Nanti ya, pas ngantin.”
**
Sepasang mata tertutup perlahan, masih dengan tangan yang setia memijat pelipis dengan gerakan perlahan. Laska merasa kurang enak badan, berulang kali ia menghirup udara dan mengeluarkannya dengan pelan. Semua perkataan abi dan uminya kemarin, masih terus terngiang-ngiang ditelinganya.
“Abi tidak pernah menyangka, kamu, yang Abi pikir bisa menjadi imam yang baik. Ternyata ... Sangat buruk!” Pria paruh baya membuang napas kasar. Muhammad Akbar, abi Laska memilih memijat pelipisnya setelah mengucapkan kalimat itu.
“Tidak Abi! Laska tidak pernah melakukan itu, ini, hanya salah paham. Umi yakin ‘kan? Laska bukan pria seperti itu?” Laska mengalihkan pandangan ke arah Kia, di sana wanita itu, tengah menangis sesenggukan.
“Umi tidak tahu, semua ini di luar pikiran Umi. Kamu ... Menghamili Amira, yang bahkan belum tamat SMA,” ucap Kia dengan terbata-bata. Berulang kali ia menutup mulut, menahan tangisannya.
“Umi, Abi, percayalah. Laska bukan pria seperti itu, bahkan Laska tidak pernah sekali pun mengonsumsi minuman keras! Tidak pernah!”
“Sudahlah, semuanya sudah menjadi bubur. Kamu, tetap harus bertanggung jawab, nikahi Amira. Secepatnya.”
“Bos!”
Laska tersentak, dia langsung membuka matanya. Terlihat seorang pria berpakaian OB tengah berdiri di depan mejanya dengan segelas kopi panas.
“Ya?”
“Ini kopinya. Apakah Bos sedang sakit?” tanya OB itu.
“Tidak! Kamu bisa kembali sekarang,” perintah Laska.
“Baiklah, permisi.”
Se-peninggalan OB bernama Dedi tadi, Laska meraih gelas berisi kopi, meniupnya pelan lalu menyesap dengan perlahan. Seketika hangat menjalari kerongkongannya, dan membuatnya sedikit rileks.
Kini tatapan matanya mengarah pada benda pipih yang tergeletak di meja. Seketika keinginan menelepon sang umi begitu menggebu, dia ingin mengucapkan maaf entah untuk ke berapa kalinya.
“A-asalamu’alaikum Umi.” Laska langsung mengucap salam ketika panggilan sudah mendapat jawaban dari Kia.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Kia dari seberang sana, suaranya terdengar parau dan serak. Laska tahu betul apa yang terjadi dengan sang umi. Pasti terus menangisi dirinya yang sangat bodoh ini, ditipu seorang gadis kecil dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Seketika bayangan-bayangan bahagia bersama sang umi menghampiri Laska. Sebuah keharmonisan yang saat ini begitu dia rindukan.
“Laska janji akan selalu bahagiain Umi. Apa pun itu. Laska nggak akan pernah buat Umi nangis,”
Laska mengusap sudut matanya, dia tak bisa menepati janji itu. Dia gagal.
“Laska, Nak.”
Panggilan dari sang umi membuyarkan lamunan Laska, dengan gesit pria itu kembali menempelkan benda pipih di genggamannya ke telinga.
“Ah, iya Mi. Maaf Laska lupa kalau lagi teleponan sama Umi,” ucap Laska dibarengi dengan tawa renyahnya. Berusaha memecahkan keheningan.
“Kenapa Sayang, telepon Umi? Rindu tidur di peluk ya?” Terdengar kekekan dari seberang sana, seketika membuat hati Laska menghangat.
“Hahaha, iya Mi. Rindu banget,”
“’Kan sudah punya istri, peluk istri dong.”
Iya banget. Tidur aja pisah.
“Enggak deh, dia bocil Mi. Takutnya entar teriak-teriak, ‘kan Laska malah bahaya.”
Keduanya tertawa bersamaan di tempat yang berbeda. Tetapi menit berikutnya, Laska terpaksa mengakhiri sambungan karena akan melakukan meeting.
“Nanti lagi ya Mi, soalnya Laska mau meeting. Assalamu’alaikum Umi Sayang.”
“Wa’alaikumussalam Sayang.”
**
Saat sudah masuk ke dalam dan merasakan udara yang cukup dingin, keramaianlah yang pertama kali menjadi pandangan Amira. Gadis itu semakin bersemangat menyerbu berbagai pakaian yang saat ini tengah ada diskon, karena mereka sekarang tengah berada di mal. Ternyata benar, gadis ini pergi bersama para temannya. Dia dan Cinta, perempuan, yang lainnya pria.
“Kamu mau beli apa sih Ra?” tanya Cinta yang sejak tadi hanya mengekor Amira tanpa mau memilah satu pakaian saja.
“Bajulah, apalagi,” acuh Amira masih tetap sibuk dengan kegiatannya.
“Iya aku tahu, tapi baju apa?”
“Apa aja deh. Kamu bawel tahu nggak.”
Cinta hanya bisa membuang napas kasar, ia memilih duduk di kursi yang sudah tersedia. Mengambil satu buku dari dalam tas dan mulai membaca kelanjutannya tadi. Sebenarnya dia sempat syok tadi, saat Amira cerita tentang pernikahan mendadak gadis itu. Tapi detik berikutnya dia langsung istigfar dan memarahi tingkah konyol Amira yang menjadikan Laska bermasalah terhadap ayahnya.
Tak bisa Cinta pungkiri, Amira bisa senekat itu. Berpura-pura hamil dan menuduh Laska hanya untuk bebas dari perjodohan yang sudah disepakati dua keluarga. Ah, Cinta benar-benar pusing dengan Amira, menurutnya gadis itu terlalu bar-bar.
“Ta, kamu nggak beli?” Amira mendongakkan kepalanya untuk melihat Cinta yang tengah fokus dengan buku.
Cinta mengalihkan pandangan ke arah Amira, lalu berkata, “Tidak. Aku masih punya banyak baju.”
“Ah, baiklah.”
Amira kembali fokus memilih baju, ia ingin membeli baju yang sangat cantik dan tentunya menggoda. Banyak rencana dalam otak yang sudah ia susun. Malam ini, Amira ingin menggoda Laska dengan pakaian yang terbuka, ingin memastikan, pria dingin itu tertarik atau tidak.
Dia tersenyum miring, membayangkan betapa tegangnya wajah Laska nanti. Ah, rasanya dia sudah tak sabar.
Sebenarnya rencana ini tiba-tiba saja datang, yang sebelumnya dia hanya cuek, tapi terpikir untuk mencoba. Sesekali enggak apa lah ya.
“Ya Allah, Amira lama banget sih. Kebiasaan.” Cinta mencebik kesal, memperhatikan Amira yang masih belum juga selesai memilih baju.
Beranjak dari duduk, Cinta berniat berkeliling sebentar sembari menunggu Amira selesai. Dia sangat hafal betul dengan kebiasaan Amira saat memilih barang apa pun itu, pasti akan membutuhkan waktu yang begitu lama.
Pandangan gadis berhijab putih begitu berbinar ketika mendapati banyak sekali barang-barang yang sangat bagus. Dari sepatu hingga tas beranded. Hingga tanpa sadar, di depan sana ada seorang pria yang juga tak fokus dengan jalannya.
“Auh!” adu Cinta saat merasakan sakit di kepalanya akibat terbentur dengan benda yang cukup keras.
Ralat, bukan benda melainkan dada bidang. Cinta membulatkan mata saat mendapati sepasang mata melotot ke arahnya.
“Kalau jalan itu pakai kaki, lihatnya pakai mata. Jangan terbalik! Dasar gadis aneh!”
Bersambung
Jangan lupa like, komen dan vote temen-temen.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
dee_an
laska manggilnya jd abi umi ya...di novel jaman dia kecil manggilnya papa mama kan
2022-05-17
0
Death angel
wah Roman romannya ada bau bunga nih ☺
2021-12-23
0
Aya SiJutek Cuy
roman2nya itu si kulkas berjlan.
2021-12-22
0