Dennis

"Siapa ya?" tanya Nisa bingung.

"Hai, kamu pasti Nisa ya." Sapa pria itu, sebut saja Dennis namanya.

"Kok tahu namaku?" tanya Nisa heran.

"Tahu dong. Mama sudah cerita banyak tentang kamu dan Mas Herman. Oiya kenalin aku Dennis, adiknya Mas Herman." Jawab Dennis dan mengulurkan tangan kanannya.

"Aku Nisa. Salam kenal tuan Dennis." Balas Nisa dan menjabat tangan Dennis.

"Jangan panggil tuan, kamu bisa panggil saya Mas. Sepertinya umur kita enggak jauh beda."

Nisa hanya mengangguk.

"Halo Mas, gimana kabarnya?" Sapa Dennis seraya berjalan masuk ke dalam Herman.

"Aku sudah mulai membaik, Dek. Kapan kamu pulang? Kok enggak ngabarin? Kan bisa minta jemput Pak Nanang." Balas Herman.

"Kebetulan aku cuti nya dadakan, Mas. Lagian biar surprise gitu." Sahut Dennis.

"Nis, kamu boleh kembali ke kamar kamu. Aku mau berdua sama adekku." Ucap Herman.

Nisa hanya mengangguk dan beranjak keluar kamar. Bukannya kembali ke kamar tetapi gadis itu malah berjalan kearah dapur. Nisa melihat meja makan masih berantakan, mungkin Dina sudah istirahat, pikir Nisa. Nisa pun bergegas membereskan dan mencuci piring di dapur.

"Kamu belum tidur?" suara seorang pria menghentikan aktivitas Nisa.

"Eh Mas Dennis, ini masih cuci piring, Mas." Jawab Nisa.

"Lho Mbak Dina kemana? Ini kan bukan tugas kamu."

"Saya kan juga kerja disini, Mas. Jadi ini juga bagian dari tugas saya." Jawab Nisa.

"Oiya, Om Herman apakah sudah tidur?"

"Om Herman? Kok kamu panggil Om sih?"

"Hmm.. Karena Om Herman sendiri yang minta dipanggil Om. Beliau tidak mau nanti istrinya tahu kalo saya perawatnya."

Dennis hanya manggut-manggut.

"Hmm.. Mas Dennis mau makan apa? Biar Nisa masakin."

"Kamu bisa masak?"

"Bisa dong, Mas. Ya meskipun enggak seenak di restoran bintang lima, tapi cukup buat ngenyangin perut hehehe.."

Dennis pun tertawa mendengar ucapan Nisa.

"Nasi goreng telor aja deh."

"Oke, Mas Dennis tunggu dikamar aja nanti kalo udah siap saya antar ke kamar."

"Enggak perlu. Aku tunggu disini aja. Aku bosen dikamar."

"Terserah Mas Dennis deh."

Nisa pun mempersiapkan bahan-bahan yang akan dimasak dan kemudian ia mulai memasukkan satu per satu bahan tersebut kedalam wajan. Dennis memperhatikan Nisa dengan seksama.

"Oiya, kalo boleh tahu selama ini Mas Dennis kemana aja kok enggak pernah kelihatan? Apa Mas Dennis kuliah di luar negeri?" tanya Nisa sambil melanjutkan aktivitas memasaknya.

"Aku udah lulus kuliah kok. Selama ini aku bekerja, Nis." Jawab Dennis.

"Kerjanya di luar negeri, Mas?" tanya Nisa.

"Ahh enggak lah. Aku kerja di Indonesia juga, tapi aku ditugasin di Kalimantan." Jawab Dennis.

Nisa pun mulai menghidangkan nasi goreng plus telor sesuai pesanan Dennis dan jus jeruk.

"Memangnya Mas Dennis kerja di perusahaan apa?" tanya Nisa penasaran.

"Aku ini Tentara Nasional Indonesia, Nis." Jawab Dennis lirih.

"Hah? serius, Mas? jadi Mas Dennis ini TNI?" tanya Nisa tak percaya.

Ternyata majikannya memiliki adik seorang perwira, rasa kagum dan tak percaya kini menyelimuti hati Nisa.

Dennis hanya mengangguk seraya menyuapkan sesendok penuh nasi goreng ke mulutnya.

"Mas Dennis, TNI apa? Angkatan laut, darat, atau udara?" tanya Nisa antusias.

"Hmm.. enaknya yang mana, Nis?" tanya Dennis balik bertanya.

"Lha kok tanya balik sih, Mas. Padahal aku serius."

"Hehehe.. Jangan serius-serius nanti baper. Aku TNI AL, Nis." Jawab Dennis.

"Wahh.. keren itu, Mas. Bisa mengarungi samudera terus ya." Celetuk Nisa.

"Kamu jangan bayangin yang indah-indah. Tugasku enggak semudah yang dibayangkan. Tetapi aku menyukai pekerjaanku."

Nisa hanya manggut-manggut.

"Kalo Mas Dennis udah nikah?" tanya Nisa.

"Belum. Kenapa? Kamu mau ngajak aku nikah?"

Sontak Nisa pun tertawa mendengar ucapan Dennis.

"Kenapa tertawa? Kalo kamu mau ngajakin aku nikah, tunggu dulu ya. Banyak yang antri mau jadi istriku. Tapi sayangnya aku masih sibuk dengan pekerjaanku."

"Narsis banget sih Mas Dennis ini, siapa juga yang mau jadi istrinya Mas Dennis. Lagian Mas Dennis itu sudah tua, harus mikirin masa depan juga. Kerja boleh, tapi waktunya nikah ya nikah dong, Mas."

"Enak aja, umur aku masih 27 tahun. Mana ada tua."

"Nahh.. itu usianya udah cukup buat nikah, Mas."

"Nanti-nanti aja lah.."

Saat asyik mengobrol dengan Dennis, tiba-tiba ponsel Nisa berdering. Nisa pun bergegas mengambil ponselnya.

"Halo, iya Om. Oh Om mau ke kamar mandi, oke tunggu ya, Nisa segera kesana." Ucap Nisa pada Herman via telepon.

"Maaf ya Mas Dennis, Nisa harus kembali ke kamar Om Herman." Pamit Nisa dan bergegas menuju kamar Herman.

"Apa Nisa juga bakal ngantar Mas Herman ke kamar mandi?" batin Dennis.

Seketika Dennis menepis pikiran aneh-aneh yang hinggap dipikirannya. Sementara Nisa, sesampainya di dalam kamar Herman gadis itu bergegas memapah Herman menuju kursi rodanya dan mengantarkan sampai pintu kamar mandi karena di dalam kamar mandi sudah tersedia tongkat jalan khusus.

Setelahnya Nisa kembali mengantar Herman kembali ke ranjangnya. Saat Nisa memasangkan selimut ke Herman, tiba-tiba Herman memegang tangannya.

"Jangan terlalu dekat dengan Dennis." Ucap Herman.

"Kenapa, Om? Om cemburu?" tanya Nisa.

"Untuk apa cemburu dengan anak kecil sepertimu. Saya hanya mengingatkan saja, karena Dennis seorang tentara jadi sebaiknya kamu jangan sampai menyukainya." Jawab Herman.

Seketika rasa sesak kembali menyelimuti hatinya. Nisa paham maksud perkataan Herman.

"Aduhh.. Herman, kamu ngomong apa sih." batin Herman.

"Maaf, maksud saya.. "

"Tidak apa Om, saya paham kok. Ini sudah malam Om, sebaiknya Om segera tidur." Sahut Nisa menghentikan ucapan Herman.

Herman pun mengangguk. Setelah dilihat Herman telah tertidur, Nisa pun beranjak kembali ke kamarnya. Di kamar mandi, Nisa tak dapat menahan air matanya. Gadis itu menangis sejadinya ketika teringat ucapan Herman.

"Udah Nisa, cukup nangisnya. Sekarang kamu harus segera selesaikan pekerjaan kamu lalu resign dari sini, sebelum perasaan ini semakin menjadi." gumam Nisa dalam lirih.

**

Keesokan paginya, Dennis melihat mata Nisa sembab, Pria itu khawatir dengan keadaan Nisa.

"Kamu sakit?" tanya Dennis saat jarak mereka dekat.

"Halo, Mas Dennis! Ahh.. enggak kok, cuma saya kurang tidur saja." Jawab Nisa dan beranjak menuju kamar Herman.

Hari ini jadwal Herman terapi cuci darah dan Nisa juga telah mempersiapkan semua keperluan Herman sebelum berangkat. Selesai sarapan, Nisa pun mendorong kursi roda Herman menuju mobil.

"Biar Dennis aja yang dorong kursi roda, Mas Herman." Suara Dennis membuyarkan lamunan Nisa saat dikejutkan dengan tangan Dennis yang kini berada diatas tangannya.

Sontak Nisa pun menarik tangannya dari kemudi kursi roda.

"Kamu mau ikut antar, Mas?" tanya Herman.

"Iya Mas, nggak apa-apa kan Dennis ikut?" tanya Dennis balik.

"Iya nggak apa-apa." Jawab Herman.

Mereka bertiga pun akhirnya berangkat menuju Rumah Sakit. Sesampainya di rumah sakit, Herman mulai melakukan terapi cuci darah sementara Nisa dan Dennis menunggu di luar kamar. Saat tengah menunggu Herman, tak lama Dokter Ridho lewat dan menyapa Nisa.

"Halo, Mbak Nisa!"

"Halo, Dok! Oiya, maaf Dok apakah boleh saya mengobrol berdua dengan Dokter?"

"Boleh Mbak Nisa, saya tunggu di ruangan saya ya."

Nisa hanya mengangguk dengan senyum.

"Mas Dennis, saya minta tolong jagain Om Herman dulu ya. Saya mau ke ruangan Dokter Ridho." Pamit Nisa.

"Boleh aku ikut?" tanya Dennis.

"Ahh enggak perlu Mas, nanti Om Herman nyariin pas udah selesai. Mas Dennis disini aja ya, aku enggak lama kok." Jawab Nisa dan bergegas menuju ruangan Dokter Ridho.

Sesampainya di ruangan Dokter Ridho, kini hanya Dokter Ridho dan Nisa yang duduk menatap satu sama lain.

"Gimana Dok, apakah Dokter sudah menemukan pendonor untuk Om Herman?" tanya Nisa memulai percakapan.

Dokter Ridho hanya menggeleng.

"Kalo saya ingin menjadi pendonor itu apakah bisa, Dok?" tanya Nisa.

Seketika Dokter Ridho terkejut mendengar pertanyaan Nisa.

"Bisa saja Mbak Nisa, tetapi apakah Mbak Nisa sudah yakin?" tanya Dokter Ridho memastikan.

"Saya yakin, Dok. Mungkin ini jalan yang terbaik buat kesembuhan Om Herman." Jawab Nisa yakin.

"Baik kalo begitu. Tetapi kami harus melakukan beberapa proses pemeriksaan kesehatan kepada Mbak Nisa terlebih dahulu." Tutur Dokter Ridho.

"Baik Dok, saya siap. Hmm.. Saya mau minta tolong 1 hal lagi boleh, Dok?" tanya Nisa.

"Apa itu, Mbak Nisa?" tanya Dokter Ridho balik.

"Saya minta tolong untuk dirahasiakan identitas saya sebagai pendonor. Saya tidak mau ada yang tahu terutama Om Herman." Jawab Nisa.

Dokter Ridho diam dan berpikir sejenak.

"Baik kalo begitu, saya akan rahasiakan identitas Mbak Nisa." Ucap Dokter Ridho.

Setelah banyak mengobrol dengan Dokter Ridho, Nisa pun pamit dan beranjak meninggalkan ruangan Dokter Ridho. Tetapi di depan pintu ruang Dokter Ridho, Tiba-tiba seseorang memegang lengan Nisa dan menarik paksa Nisa ke sudut ruangan. Setelah dirasa suasana sepi, orang tersebut menghentikan langkahnya.

"Kamu ini apa-apaan sih, Nis?" tanya Dennis dengan nada tinggi.

"Memangnya aku kenapa, Mas?"

"Kenapa kamu mau donorin ginjal kamu buat Mas Herman?"

"Ya itu jalan terbaik, Mas. Tolong hargai keputusanku."

"Apa Mas Herman yang maksa kamu?"

"Enggak Mas, ini bukan paksaan dari siapapun. Ini kemauanku sendiri."

"Apa kamu sudah memikirkan konsekuensinya?"

Nisa hanya mengangguk.

"Coba kamu pikirkan sekali lagi, Nis."

"Aku sudah memikirkan dengan matang, Mas. Oiya aku minta tolong Mas Dennis rahasiakan ini ya. Tolong jangan beritahu siapapun termasuk Om Herman dan Mamanya Mas Dennis kalo saya melakukan ini."

Nisa pun beranjak meninggalkan Dennis dan kembali menemui Herman. Nisa terkejut saat melihat Herman sudah berada di dekat kursi ruang tunggu.

"Eh Om, sudah selesai. Apa sudah lama menunggu disini, Om?" tanya Nisa.

"Darimana saja kalian? Sudah hampir 1 jam aku menunggu disini." Celoteh Herman.

"Kalian? Apa.. " Seketika Nisa menoleh ke belakang dan ternyata Dennis ada disana.

"Maaf ya Mas, tadi kita berdua cari makan sebentar. Ini aku bawakan Roti buat Mas juga." Jawab Dennis seraya mengarahkan sekantong plastik berisi roti.

"Kamu bawa saja, aku tidak selera." Balas Herman.

"Ayo kita pulang." tambah Herman.

Dennis kembali menyimpan sekantong rotinya, sementara Nisa mulai mendorong kursi roda Herman.

**

Malam pun tiba, sesaat ketika Nisa mulai memejamkan matanya tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Tanpa melihat nama si penelepon Nisa langsung mengangkat panggilan itu.

"Halo!" Sapa Nisa pada seseorang di seberang sana.

"Halo Mbak Nisa, mohon maaf mengganggu malam-malam. Ini saya Dokter Ridho, saya mau mengonfirmasikan apakah besok Mbak Nisa bisa datang ke Rumah Sakit untuk melakukan proses pemeriksaan sebelum donor ginjal dilakukan?" tanya Dokter Ridho di seberang sana.

"Bisa Dok, jam berapa saya harus kesana Dok? " tanya Nisa.

"Pukul 10 pagi Mbak Nisa bisa menemui saya di ruangan saya ya. Kebetulan besok saya ada jadwal praktek pagi." Jawab Dokter Ridho.

"Baik Dok, Terima kasih atas bantuannya. Selamat malam." Balas Nisa dan memutus panggilan teleponnya.

"Akhirnya, sebentar lagi Om Herman bisa sembuh." Ucap Nisa lirih.

Tak lama ponsel Nisa kembali berdering. Kali ini tertera nama Dennis di layar ponselnya.

"Halo iya, Mas Dennis. Apa? Kok bisa, Mas? Oke-oke aku segera kesana."

Setelah menerima panggilan dari Dennis, Nisa pun bergegas menghampiri Dennis.

**

Terima kasih atas dukungannya ❤

Jangan lupa klik favorit ya agar dapat notifikasi update episode terbaru 😊

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!