"Kumohon La, kamu kembali ke rumah ya. Sebentar lagi aku sembuh kok. Jangan tinggalin aku ya." Ucap Herman dengan seseorang di seberang sana.
"Kamu mana mungkin bisa sembuh. Daripada aku jadi janda duluan, mending aku cari laki-laki yang sehat dan bisa bahagiain aku. Udah jangan ganggu aku!"
Seketika panggilan terputus. Herman yang emosi pun membanting ponselnya kearah lemari. Nisa bergegas masuk dan menenangkan Herman.
"Om, ada apa? Kenapa Om marah-marah?" tanya Nisa panik.
"Pergi kamu! Jangan ganggu saya!"
"Tapi, Om.. "
"Saya bilang kamu pergi!"
Dengan gemetar Nisa pun menurut dan meninggalkan Herman yang emosi di kamarnya. Baru kali ini ia melihat majikannya semarah ini. Setelah dirasa suasana tenang, Nisa memberanikan diri masuk ke kamar pelan-pelan.
"Om.. " Ucap Nisa khawatir.
Namun Nisa tak menemukan Herman di kamarnya. Perasaan khawatir dan takut mulai menghampirinya, pasalnya sedari tadi Nisa menunggu di depan kamar dan tidak melihat majikannya keluar sama sekali tetapi kenapa kamarnya kosong?
Nisa bergegas mengecek di setiap sudut kamar, kamar mandi dan terakhir balkon kamar. Ia menemukan Herman termenung di balkon kamarnya.
"Syukurlah Om, baik-baik saja." Celetuk Nisa dan berjalan menghampiri Herman.
"Om, mau aku buatin minum?" tanya Nisa seraya terduduk di samping kursi roda Herman.
Tetapi tidak ada jawaban. Suasana Hening.
"Dulu Ayah juga ninggalin Ibu waktu Ibu aku sakit. Lalu dengan sabar Ibu tetap bertahan demi anak-anaknya sampai akhirnya suatu hari Papa menikahi Ibu dan kehidupan kami jadi lebih bahagia." Ucap Nisa seraya memijit perlahan Kaki Herman.
Herman mendengarkan dengan seksama.
"Aku harap Om tetap semangat dan jangan menyerah buat sembuh, karena pasti pelangi akan datang menghampiri Om. Siapa tahu setelah ini ada bidadari cantik yang mendekati, Om. Seperti di serial drakor itu lho, Om." Tambah Nisa.
Sontak Herman pun tertawa mendengar ucapan Nisa.
"Dasar anak kecil! Mana ada hal seperti itu terjadi. Jangan terlalu berhalu, realita dengan serial drakor enggak sama." Celetuk Herman.
"Terserah Om, mau ngomong apa. Tapi aku yakin kalo Bidadari itu ada dan keajaiban itu pasti akan segera datang. Jadi Om harus semangat buat sembuh." Balas Nisa.
Herman hanya menggeleng-geleng kepala mendengar perkataan perawat barunya.
"Kira-kira kalo aku sembuh, apa Lala mau kembali sama aku?" tanya Herman.
Nisa berpikir sejenak.
"Berdoa aja sama Allah, Om. Pasti nanti Allah kasih yang terbaik buat, Om." Jawab Nisa.
"Lala yang terbaik buat aku. Aku enggak mau yang lain!"
Nisa hanya diam dan suasana kembali hening.
**
Sejak saat itu Herman sudah tidak lagi bersikap dingin kepada Nisa. Beberapa bulan berlalu, Nisa sudah terbiasa dengan rutinitas menjadi perawat Herman. Nisa juga mengantar Herman terapi cuci darah seminggu 2x. Kondisi Herman kian membaik dan ia bertekad untuk menemui Lala, istri yang meninggalkannya saat ia sedang sakit.
*
"Apa Dok, jadi Dokter belum menemukan pendonor ginjal untuk saya?" tanya Herman dengan nada tinggi.
"Mohon maaf Bapak Herman, saat ini kami masih mencarikan pendonor yang sesuai untuk Bapak." Jawab Dokter Ridho.
"Sampai kapan saya harus menunggu, Dok? Tolong carikan pendonor itu segera, Dok. Saya tidak ingin istri saya meninggalkan saya." Ucap Herman memohon.
"Kami akan usahakan yang terbaik, kalo kami sudah mendapatkan pendonor segera saya kabari Anda." Ucap Dokter Ridho.
"Baik Dok, Terima kasih. Kalo begitu kami pamit dahulu." Pamit Herman.
Nisa juga ikut pamit dan mendorong kursi roda Herman. Sepanjang perjalanan menuju mobil, suasana hening. Herman dan Nisa sibuk dengan pikiran masing-masing. Gadis itu ikut sedih dengan keadaaan majikannya saat ini.
Sesampainya di mobil, Pak Nanang dengan sigap membantu memapah Herman masuk ke mobil. Setelahnya mobil melaju melewati jalanan yang ramai sore itu.
**
Malam ini Herman dan Nisa menikmati makan malam hanya berdua. Sejak Nisa bekerja di rumah Herman, Yuyun kembali ke rumah nya tetapi sesekali mampir untuk menengok anaknya.
"Om, mau tambah?" tanya Nisa.
Herman hanya menggeleng.
"Om, masih kepikiran soal pendonor itu ya?"
"Tidak. Aku cuma kepikiran Lala."
"Kalo boleh tahu kenapa Om masih mengharapkan istri, Om? Bukankah dia sekarang meninggalkan, Om?"
"Dia istri yang sempurna. Dia yang nemenin aku sejak kuliah. Dia selalu ada dalam suka dan duka. Dia enggak ninggalin aku, dia cuma takut lihat aku meninggal di depannya."
Mendengar jawaban Herman, entah mengapa hati Nisa sesak. Gadis itu tidak tahu sejak kapan mulai menyukai majikannya.
"Kalo begitu Om harus semangat buat sembuh. Jangan putus asa." Ucap Nisa mencoba menahan sesak di dadanya.
"Tentu. Terima kasih untuk kerja kerasnya sudah merawatku."
"Itu sudah menjadi pekerjaan aku, Om."
"Oiya, kalo Om sudah sembuh berarti Om sudah tidak membutuhkan aku lagi dong?"
Herman mencoba mencerna pertanyaan Nisa.
"Kamu tetap bisa kerja disini, bisa bantu Dina." Jawab Herman.
"Hmm.. sepertinya aku akan resign saja, Om."
"Lalu setelah resign apa yang akan kamu lakukan?"
"Mungkin aku akan melanjutkan kuliah, lalu membawa pria yang kucintai ke rumah untuk mengenalkan kepada kedua orang tuaku dan kami menikah."
"Itu simpel. Tetapi pernikahan tidak sesimpel itu." Sahut Herman.
"Aku tahu kok, Om. Tetapi berkhayal dulu tidak apa kan, Om." Celetuk Nisa.
"Sudah pukul 8 malam, sekarang waktunya Om Herman tidur. Ayok kuantar ke kamar." Tambah Nisa dan mulai mendorong kursi roda Herman menuju kamar.
Sesampainya di kamar, Nisa menyiapkan obat dan air putih untuk Herman. Pria yang akrab disapa Om itu harus rutin meminum obat sebelum tidur. Setelah minum obat, Nisa memapah Herman untuk berpindah ke ranjang empuknya.
Diam-diam Nisa mencuri pandang menatap dari jarak dekat wajah tampan Herman. Ketika Herman mengalihkan pandangannya ke Nisa, sontak gadis itu jadi salah tingkah hingga ia tersandung kakinya sendiri dan mendorong Herman jatuh ke ranjang disusul dengan Nisa yang terjatuh diatas tubuh Herman.
Keduanya saling menatap satu sama lain tak berkedip. Jantung Nisa pun hampir copot karena getaran yang kencang.
"Aduhhh.. kenapa kamu sampai jatuh sih, Nisa. Gimana kalo Om Herman tahu kalo kamu.. " batin Nisa.
"Ternyata Nisa kalo dilihat dari cantik dan manis. Astaga Herman, sadar.. sadar.. Kamu sudah beristri." Batin Herman.
Saat keduanya masih saling menatap dan larut dalam pikiran masing-masing, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Sontak Nisa pun bangkit dan merapikan pakaiannya yang kusut. Nisa juga membantu Herman untuk duduk di tepi ranjang.
"Maafkan Nisa, Om. Tadi Nisa kesandung."
"Yaudah sekarang kamu buka pintu dulu."
Nisa hanya mengangguk dan berjalan kearah pintu. Saat pintu dibuka, tampak seorang pria berwajah tampan, bertubuh tinggi dan berkulit kuning langsat berdiri di depan kamar Herman. Wajahnya mirip dengan Herman.
"Siapa ya?" tanya Nisa bingung.
**
Terima kasih atas dukungannya ❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments