Setengah tergesa aku menata serbet warna biru itu di samping setiap piring yang disediakan di meja makan yang besar itu. Biasanya aku hanya menata enam piring di meja itu. Untuk tuan besar Darmawan di kepala meja. Nyonya super besar (He he he itu julukan kami kaum pelayan, untuk ibu dari tuan Darmawan) di ujung meja yang lain.
Dua piring untuk dua nyonya besar kami (istri tuan Darmawan) di samping kiri dan kanan tuan Darmawan. Dan dua piring lagi untuk anak-anak tuan Darmawan yang masih tinggal di rumah ini. Nona Sabrina dan tuan muda Danu. Tapi untuk yang dua ini biasanya kalau acara makan siang jarang ada di tempat. Hanya untuk makan pagi dan makan malam saja yang pasti (harus) ada.
Tuan muda Danu putra dari istri pertama tuan Darmawan yang bernama Santi, usianya sekitar dua puluhan. Masih kuliah entah jurusan apa. Tampan? Jangan ditanya... Dia adalah salah satu tokoh fantasi kami para pelayan untuk berkhayal. Ya, cukup berfantasi saja, kami para pelayan tau diri lah dengan status kami, tapi enggak ada larangan untuk berkhayal kan?
Nona Sabrina ini masih sekolah kelas 12. Sedang kakak-kakaknya yang empat itu sudah bekerja. Melanjutkan dan mengembangkan usaha keluarga yang sudah dirintis oleh ayahnya tuan Darmawan. Dua diantaranya katanya sudah menikah, sedang yang dua lagi belum. Tapi aku enggak tahu yang mana yang sudah menikah dan yang mana yang belum.
Hari ini, dua dari anak tuan Darmawan akan datang, karena itu, aku harus menambah tatanan piring untuk acara makan siang ini menjadi sembilan.
"Anaknya yang mana ya, yang mau datang hari ini...?" Tanyaku dalam hati. Mengingat itu, aku langsung menoleh ke arah foto keluarga besar yang terpajang di ruang makan itu.
Difoto itu, semua anggota keluarga tuan Darmawan berjajar rapih, mengapit sepasang manula yang masih memiliki kharisma yang tinggi. Siapa lagi kalau bukan nyonya super besar bersama suaminya.
Aku tahu, foto itu cetakan lama, karena dalam foto itu masih ada tuan super besar, padahal katanya tuan super besar sudah meninggal lebih dari lima tahun yang lalu. Di foto itu juga nampak nona Sabrina masih kecil. terlihat manis dengan dua buntut kuda berpita pink di kepalanya.
"Ehem... " Suara deheman dari arah pintu mengejutkan ku. Serentak aku menoleh.
"Nyonya... " Sapaku sambil menunduk hormat saat kulihat nyonya Yulia melangkah masuk. Aku berjalan mundur menepi.
"Sudah siap semuanya?" Tanya nyonya sambil memperhatikan tatanan meja di depannya.
"Sudah nyonya... " Jawabku masih sambil menunduk.
Ya, begitulah peraturan dirumah ini. Para pelayan tidak diperkenankan mendongak jika tidak diperintahkan.
"Baiklah.... Em, kamu Nurul kan?" Tanya nyonya. Sepertinya saking banyaknya pelayan dirumah ini, membuatnya sulit mengingat nama masing-masing pelayan.
"Iya nyonya. " Jawabku masih sambil menunduk.
"Coba kamu pergi ke kamar tuan Bagas, kasih tahu kalau sekarang sudah waktunya makan. Sekalian bantu dia kemari... " Perintah nyonya.
"Eng... Kamar tuan Bagas itu yang sebelah mana ya nyonya... " Aku memberanikan diri bertanya sambil mengangkat wajah sebentar menatap wajah nyonya. Ya habis, rumah sebesar ini kamarnya juga banyak. Aku mana tahu kamar siapa dimana...
"Oh iya, kamu belum tahu ya... itu, kamarnya ada di ujung kiri dekat kolam..." Nyonya Yulia memberi tahu.
"Baik nyonya, permisi... " Aku lalu melangkah menuju kamar yang ditunjukkan.
Beneran, rumah ini memang besar sekali. Mungkin karena memang anggota keluarganya juga banyak. Setiap anak mempunyai kamar masing-masing, walaupun nyatanya, empat kamar yang ada jarang dihuni karena pemiliknya memilih tinggal di rumah atau apartemen mereka sendiri.
tok tok tok
"Tuan, tuan diminta ke ruang makan..." Kataku setelah mengetuk pintu.
"Masuk! "
Terdengar suara sahutan dari dalam. Dengan kening sedikit berkerut aku mendorong pintu kamar itu.
"Tadi perintahnya suruh masuk kan?" Batinku sedikit ragu.
Perlahan aku melangkah masuk sambil celingukan mencari orang yang tadi menyuruhku masuk.
Eh, itu dia orangnya sedang duduk di atas ... eh, kursi roda? Kenapa dia? Apakah dia sedang sakit?
"Masuklah, tolong kamu bereskan ini... " Katanya sambil mendorong kursinya mundur dan menunjuk meja di depannya yang agak berantakan dengan beberapa kertas.
"Baik Tuan... " Sahutku sambil berjalan mendekat.
"Apakah semua kertas ini boleh ditumpuk menjadi satu, tuan?" Tanyaku memastikan, karena dari posisinya, sepertinya kertas-kertas ini habis dipilah.
"Itu, kertas yang sebelah sana, kamu tumpuk jadi satu di sini. Lalu yang sebelah sana kamu tumpuk sendiri di sebelahnya.... " Jawab tuan Bagas memberi petunjuk.
Aku lalu melakukan sesuai permintaannya.
"Begini tuan...?" Tanyaku setelah selesai.
"Ah, iya... Terima kasih...." Ucap tuan Bagas setelah melihat hasil pekerjaanku.
"Sama-sama tuan. Maaf tuan, tapi sekarang tuan ditunggu di ruang makan oleh keluarga tuan... " Ucapku mengingatkan.
"Oh iya... ayo." Katanya.
Eh?! kok ayo? Maksudnya dia ngajak aku gitu? Mau ngapain? Aku bukan pelayan yang akan melayani di acara makan siang ini...
"Loh? kok malah bengong?" Tegur tuan Bagas sedikit mengejutkan ku. Setelah mengatakan itu, dia lalu memutar roda kursinya menuju pintu.
"Dasar bodoh." Makiku pada diri sendiri. Dalam hati tentu saja. Maksud tuan Bagas tadi pasti aku disuruh mendorong kursi rodanya, habis mau apalagi? Masa mau mengajakku makan bersama? Enggak mungkin banget...
he he he
Tanpa sadar aku mentertawakan diri sendiri yang sudah ngelantur enggak jelas.
Aku bergegas mendekati tuan Bagas, membuka lebar pintu kamarnya dan meraih handel kursi rodanya.
"Mari tuan, biarkan saya membantu." Kataku.
"Terima kasih." Katanya.
Ah, senangnya mendengar kata itu. Terima kasih. Seuntai kata sederhana yang penuh makna, yang jarang sekali kami dengar. Ya, mungkin karena kami memang pelayan, sudah kewajiban kami untuk melayani. Tapi kalau dari hasil kerja kami mendapatkan ucapan terima kasih, kami sama sekali enggak menolak kok.
Kami sampai di ruang makan. Semua kursi yang disediakan sudah penuh, tinggal kursi untuk tuan Bagas yang kosong. Seorang tuan lain yang aku enggak tahu namanya segera bangkit. Dia memindahkan kursi makan yang ada dan memberi tempat untuk kursi roda tuan Bagas.
"Silahkan, mas." Katanya.
Aku lalu mengarahkan kursi roda tuan Bagas ke sana.
"Terima kasih dek." Kata tuan Bagas.
Selesai menempatkan tuan Bagas di meja makan, aku lalu berpamitan untuk undur diri.
"Permisi tuan, nyonya... " Kataku sambil menunduk dan berjalan mundur ke arah pintu belakang.
Tidak ada sahutan. Ya... apalah aku ini, ada atau tidak adanya diriku bukan sesuatu yang penting kan? Sejenak aku mendongak melihat kearah meja. Ingin mencuri lihat, seperti apa wajah-wajah baru yang duduk mengitari meja itu.
Ada tuan yang tadi membantu memindahkan kursi. Mungkin itu adiknya tuan Bagas. Lalu ada seorang wanita lain duduk di sampingnya, mungkin itu istrinya tuan tadi. Lalu terakhir aku menatap wajah tuan Bagas. Aku terkesiap. Wajahku langsung aku tundukkan lagi. Tuan Bagas sedang menatapku penuh perhatian. Dan tatapannya itu seketika membuat darahku berdesir dan memacu detak jantungku untuk bekerja lebih cepat.
Aduh emak! Aku terkena serangan jantung dadakan... ? 🥴
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sukses
2023-04-05
0
Wida
mampir
2022-07-26
0
🎤K_Fris🎧
lanjut kk
2022-03-11
0