Meow - 3

LAGI-LAGI sakit itu menyerang. Membuatnya kesal dan marah. Semua obat yang diminumnya hanya membuatnya merasa lemas.

Ya. Itu obat penenang. Semua sudah menganggapnya seperti orang gila mengamuk yang harus ditenangkan.

Seperti saat ini. Tubuhnya lemas dan matanya mengantuk. Obatnya mulai bereaksi. Tapi dia tidak dapat terlelap, sejak tadi hatinya gelisah. Ada apa ini?

Akhirnya dia bangkit dari tempat tidur, mengenakan topi wol putih dan sweater berwarna pelangi. Dengan langkah tersendat-sendat ia keluar kamar. Bae-Jung langsung memburunya.

“Nona perlu sesuatu? Katakan saja biar saya bawakan.”

Yeesha menggeleng. “Di mana Oppa?”

“Tuan Shin sedang bersama Tuan Besar di kamar.”

Apa yang Oppa dan Kakek bicarakan?

“Ahjumma, aku ingin duduk di taman. Jika Oppa sudah selesai berbicara dengan Kakek, katakan untuk menyusulku.”

Bae-Jung membungkuk hormat.

Yeesha berjalan menuju taman sebelah utara rumahnya.

Cukup lama ia termenung memandangi langit sore yang mulai gelap. Musim dingin hampir berlalu. Apa ia akan menemui musim dingin di tahun selanjutnya?

Atau ini akan menjadi musim dingin terakhirnya?

Hatinya terus bertanya-tanya, sampai ada tangan menyentuh kedua bahunya. Ia menoleh. Jin-Ha.

“Lama menungguku?” Jin-Ha tersenyum khas, lalu duduk di sebelah kekasihnya.

“Tidak mengajakku mengobrol dengan Kakek?” Yeesha buang muka.

Jin-Ha tersenyum lagi. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan?”

“Ke mana?”

“Kau ingin ke mana?”

Yeesha berpikir sampai alisnya berkerut, lalu mengangkat bahu.

Tangan Jin-Ha memeluk bahu Yeesha. “Mau main ice skating?”

“Ice skating?” Yeesha ragu. “Aku tidak bisa.”

“Maka aku akan mengajarimu,” sahut Jin-Ha hangat. “Ayo bersiaplah, setengah jam lagi kujemput.”



Arena ice skating malam ini ramai oleh pengunjung.

Di salah satu sudut, Jin-Ha dan Yeesha duduk sambil mengenakan sepatu skate.

“Aku kelihatan jelek sekali, Oppa..” Yeesha merapatkan topi wolnya agar rambutnya yang tipis tertutupi.

“Siapa bilang?” Jin-Ha menggenggam tangan Yeesha, lembut. “Kau gadis paling cantik di mataku.”

Yeesha merengut, “Berhentilah merayuku.”

Jin-Ha tertawa pelan lalu merangkul bahu Yeesha. “Ayolah kita meluncur. Aku akan menjagamu.”

Pelan-pelan Yeesha berdiri mengikuti Jin-Ha, dan mulai meluncur dengan hati-hati di arena meluncur. Lagu Everytime mengalun romantis mengiringi malam itu. Suara lembut Britney Spears mengiringi, membuat Yeesha melupakan penderitaannya dan hanya merasakan kebahagiaan.

Yeesha menikmati detik-detik kebersamaannya dengan Jin-Ha. Dia amat bahagia bisa dicintai sedemikian besarnya oleh pria idaman para wanita.

Jin-Ha menjaga Yeesha tanpa peduli tatapan semua mengarah pada mereka. Yeesha merasa risih karena sudah tahu apa yang ada di pikiran orang-orang. Semua menganggap pasangan fenomenal di arena ice skating sebagai Si Tampan dan Buruk Rupa.

Ketika Yeesha sedikit limbung, Jin-Ha menghentikan permainannya. Dia sudah tahu Yeesha tidak akan bertahan lama berada di keramaian.

“Capek?” Jin-Ha menggiring Yeesha duduk di pinggir, lalu berjongkok melepas sepatu skate gadis itu.

Yeesha memijit kepalanya pelan. “Kepalaku pusing. Maafkan aku, tidak bisa lama-lama menemanimu meluncur.”

“Kenapa harus minta maaf? Memang sudah waktunya kita berhenti.” Jin-Ha merapikan topi Yeesha, dan tersenyum hangat. “Mau makan? Aku tahu di sekitar sini ada kedai ramen yang terkenal. Kau ingin mencobanya?”

“Terserah kau saja,” sahut Yeesha. Oh sial, dia paling benci lemah ketika berkencan dengan Jin-Ha. Tidak bisakah tubuhnya sedikit bertenaga sehingga bisa berjalan tanpa perlu dipapah?

Kedai ramen itu hanya warung pinggir jalan dengan meja dan kursi kayu. Namun di cuaca dingin begini kedai itu ramai pengunjung. Wangi ramen yang menggoda perut lapar membuat orang-orang berduyun-duyun datang.

Jin-Ha memesan semangkuk ramen porsi jumbo, agar dirinya makan berdua Yeesha. Tak lama kemudian datang pesanan mereka. Wangi yang harum dan mengepul menandakan ramen itu masih panas.

Yeesha melepas sarung tangannya, dan menyentuh gelas cokelat panasnya agar terasa sedikit hangat. “Sepertinya enak,” gumamnya.

“Cobalah.” Jin-Ha memberikan sumpit dan memperhatikan kekasihnya mengaduk-aduk isi mangkuk dengan sangat hati-hati.

Sadar diperhatikan, Yeesha menoleh. “Kenapa melihatku seperti itu? Kau tidak mau makan?”

Jin-Ha tersenyum. “Melihatmu makan membuatku kenyang.”

Yeesha cemberut. “Maksudmu aku rakus?”

“Apa? Tidak,, siapa yang bilang begitu?” Jin-Ha tergelak pelan lalu mengambil garpu. “Mau kutunjukkan cara enak makan ramen?”

“Boleh.”

“Begini,,” Jin-Ha menusuk kuning telur dan lelehan kuning telurnya bercampur dengan kuah ramen.

Mata Yeesha melebar. “Wahh kelihatannya lezat.”

“Cobalah. Kuah ramen bercampur kuning telur sebenarnya lezat dan unik. Hanya saja jarang orang suka. Terutama wanita.”

“Kenapa?”

Jin-Ha angkat bahu. “Kebanyakan merasa jijik melihat lelehan kuning telur.”

Yeesha mengerucutkan bibirnya, dan angkat bahu. “Tapi aku tidak. Melihat kuning telur meleleh membangkitkan selera makanku.”

“Kalau begitu makan yang banyak.”

Tanpa banyak cakap, Yeesha makan dengan lahap.

Jin-Ha memandanginya. “Habis ini, kau mau kalau kuajak ke suatu tempat?”

Yeesha berhenti mengunyah dan menatap Jin-Ha. “Ini kan sudah malam. Bagaimana kalau Kakek mencari kita?”

Jin-Ha tersenyum kecil sambil meminum teh yang sudah mendingin.

“Kenapa hari ini kau aneh sekali?” tanya Yeesha curiga.

Jin-Ha tidak menjawab, matanya melihat-lihat ke arah lain. Namun raut wajah gundahnya tidak bisa ditutupi dari Yeesha.

Yeesha tidak banyak berkomentar, dan melanjutkan makannya. Mungkin Jin-Ha memang tidak ingin bicara.



Malam kian larut. Angin berhembus menambah dinginnya malam itu.

Jin-Ha menghentikan mobil di kawasan bukit yang sepi.

“Di luar sedang dingin sekali. Kau perlu pakaian lebih agar merasa hangat.” Jin-Ha mengangsurkan kantong kertas berisi sweater tebal.

Tanpa banyak bicara, Yeesha mengenakan sweater. Kini tubuhnya terlihat gemuk, karena memakai kaos panjang, sweater tebal, dan jaket panjang, ditambah syal putih melingkar di lehernya.

“Tanganmu bisa kedinginan kalau telanjang seperti itu,” kata Jin-Ha sambil memakaikan sarung tangan wol pada gadis itu. “Rapikan topimu, dan pakai penghangat telinga.”

“Oppa kau makin aneh.” Yeesha keheranan. “Hari ini kau mengajakku kencan, padahal kau tidak pernah mengajakku keluar malam. Sikapmu begitu lembut, kau juga tidak banyak bicara, dan teraneh hari ini kau cerewet sekali. Ada apa denganmu? Apa yang mengganggumu sekarang?”

Jin-Ha tidak menjawab, hanya tersenyum kecil, lalu keluar mobil tanpa bicara.

Yeesha mengerutkan alis, heran. Lalu keluar dan menghampiri Jin-Ha yang berdiri di belakang pagar pembatas, memandangi pemandangan kota Seoul dari ketinggian.

“Terima kasih sudah mengajakku keluar.” Yeesha menyandarkan kepala di bahu Jin-Ha.

Tangan Jin-Ha melingkari bahu Yeesha.

“Pemandangannya indah sekali,” kata Yeesha pelan. “Terima kasih sudah membuatku bahagia, Oppa. Maaf jika aku sudah banyak merepotkanmu.”

Jin-Ha tersenyum miris. “Apa yang kau katakan? Aku kekasihmu. Sudah sepantasnya aku membahagiakanmu.”

Yeesha tersenyum perih. “Mungkin ini akan menjadi musim dingin terakhirku. Sungguh beruntung bisa kulewati denganmu.”

Pegangan tangan Jin-Ha melonggar.

Namun Yeesha makin erat memeluk pria itu.

“Itu tidak akan terjadi,” sahut Jin-Ha. “Kau akan melewati musim dingin tahun depan, dan tahun-tahun selanjutnya.”

“Aku tahu kau akan mengatakan itu.” Yeesha berbisik pelan. “Untuk menghiburku kan?”

Jin-Ha tidak menjawab.

“Kau selalu baik padaku. Kau tampan, pintar, dan sukses, banyak wanita mengidamkanmu. Tapi kau merelakan waktumu habis untuk menemaniku. Sungguh pengorbanan yang tidak bisa kubalas hanya dengan cintaku saja.” Yeesha terus berceloteh, setiap detik menjadi amat berharga.

Melihat Jin-Ha tidak bereaksi, Yeesha melanjutkan ocehannya. “Melewati musim dingin bersamamu, kebahagiaan tidak ternilai untukku. Jika aku meninggal nanti, kau harus melewati musim dingin setiap tahun dengan kebahagiaan. Aku harap kau bisa merasakan kebahagiaan lain yang menunggumu, Oppa.”

“Kau tidak akan meninggal…” sela Jin-Ha cepat.

Yeesha terdiam, tiba-tiba saja dia takut kehilangan Jin-Ha.

Jin-Ha melepas pelukannya dan menatap Yeesha serius. “Kau harus operasi, Yeesha.”

Ekspresi wajah Yeesha berubah, wajahnya memerah. “Operasi? Apa maksudmu?”

“Yeesha…” Jin-Ha memegang kedua bahunya. “Dengarkan aku. Operasi ini adalah satu-satunya harapan kau bisa sembuh. Walau kemungkinannya kecil, tapi tetap kemungkinan yang menjadi harapan.”

Air mata jatuh di pipi Yeesha. Ia menatap Jin-Ha tidak berkedip. “Bagaimana jika tidak berhasil? Bagaimana jika itu hanya mempercepat kematianku saja?”

Jin-Ha terdiam.

“Sudahlah Oppa… tidak akan ada harapan lagi. Kakek sudah mengatakan padaku, jika operasi berhasil aku tidak akan ingat apapun. Bahkan aku tidak akan ingat diriku sendiri. Aku akan melupakanmu, Kakek, dan melupakan semua kenangan indah kita di musim dingin tahun ini. Dan aku tidak ingin melupakan itu semua.” Yeesha mengusap pipinya sambil sesunggukan.

“Walau kau melupakanku, tapi aku selalu mengingatmu, Yeesha. Apa yang kau takutkan?” Jin-Ha berusaha membujuk.

Yeesha menggeleng. “Aku tidak mau dioperasi.”

“Kau harus operasi,” tegas Jin-Ha. “Ini satu-satunya harapanmu.”

“Apa Kakek yang memaksamu membujukku untuk operasi?” tembak Yeesha.

Sesaat Jin-Ha terdiam, lalu membujuknya. “Kumohon Yeesha, demi aku, demi Kakek, dan demi segala impianmu. Jalanilah operasi.”

Yeesha berhenti menangis, matanya tajam menatap kekasihnya. Kakinya gemetar, jantungnya berdebar kencang, tubuhnya mendadak lemas. Lagi-lagi kepalanya serasa dihantam benda keras. Lalu tiba-tiba semuanya menjadi gelap.



Tangan siapa ini?

Begitu hangat.

Mata Yeesha terbuka perlahan. Setidaknya kepalanya tidak seberat tadi. Dilihatnya langit-langit biru.

Ini di mana?

Yeesha menoleh ke samping. Oppa?

Jin-Ha tertidur di pinggir tempat tidur, dengan posisi duduk, kepala menelungkup, tangannya terus menggenggam tangan Yeesha.

Jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi.

Cuaca di luar nampaknya sedang dingin.

Hati-hati Yeesha melepaskan tangan Jin-Ha, dan turun dari tempat tidur perlahan agar Jin-Ha tidak terbangun.

Ia masuk kamar mandi untuk mencuci muka. Lalu keluar sambil merapikan rambutnya. Sejenak ia memandangi apartemen tempat tinggal Jin-Ha. Baru kali ini ia menginjakkan kaki di apartemen Jin-Ha. Pria itu tinggal sendirian.

Jin-Ha pernah bercerita perihal perceraian orangtuanya ketika dirinya berumur 5 tahun. Ia ikut ibunya, sedangkan kakaknya dibawa oleh ayahnya. Delapan tahun yang lalu ibunya meninggal karena sakit. Sejak itu Jin-Ha berjuang sendiri untuk hidupnya. Berkat usahanya, ia lulus kuliah dan membuka toko Choco Pastry.

Di meja ruang tengah ada foto dalam figura yang dipajang. Yeesha memperhatikan satu per satu, ada foto dirinya berdua Jin-Ha berada di taman dekat toko, foto Jin-Ha bersama ibunya. Ibunya Jin-Ha begitu cantik.

Ada album.

Yeesha penasaran, dan membuka album itu. Foto-foto Jin-Ha semasa kecil. Ada foto kedua orang tua Jin-Ha, dan foto…

Mata Yeesha menyipit menatap sebuah foto.

“Kau sudah bangun?”

Suara Jin-Ha yang berat mengagetkan Yeesha dan albumnya terjatuh.

“Kenapa?” Jin-Ha buru-buru mengambil album. Sekilas tampak terkejut ketika melihat foto yang barusan Yeesha perhatikan.

“Oppa?”

“Ngg..kau lapar? Aku ada strawberry muffin. Aku membuatnya tadi malam. Cobalah…” Jin-Ha menggiring Yeesha duduk di meja makan. Lalu menyeduh secangkir teh dan diletakkan di depan Yeesha.

“Kenapa aku ada di sini? Apa semalam penyakitku kumat lagi?” tanya Yeesha sambil menyesap tehnya.

Jin-Ha menyeduh secangkir kopi dan duduk di depan Yeesha, “Tidak perlu kau pikirkan. Aku hanya tidak ingin membuat Kakek khawatir jika tahu kau pingsan. Tapi kau tidak usah khawatir, aku sudah memberitahu Kakek kau bersamaku.”

Yeesha meraih satu muffin dan mencicipinya. “Ini enak. Kau pandai sekali membuat makanan yang kusuka.”

“Yeesha…” Jin-Ha menatap lurus gadis itu.

“Hmm..?” Yeesha masih asyik makan.

“Kau harus operasi.”

Yeesha menghentikan kunyahannya dan menatap Jin-Ha tajam.

“Kumohon.” Jin-Ha menatap Yeesha penuh harap. “Aku berjanji, jika kau operasi, meski kau melupakanku, tapi aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan berada di dekatmu, dan mengembalikan ingatanmu. Kalau kau tidak bisa mengingatku, biar aku hadir untuk memberikan ingatan baru untukmu. Tidak ada yang perlu kau takutkan.”

Yeesha memalingkan wajah. “Bagaimana jika operasinya tidak berhasil?”

Jin-Ha menggenggam tangan Yeesha. “Pasti berhasil. Kau jangan takut.”

Yeesha sungguh berat harus meninggalkan Jin-Ha.

“Aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk menunggumu kembali, Yeesha.”

Kata-kata Jin-Ha menusuk telak hatinya. Meski berat meninggalkan pria itu, namun, mungkin ini satu-satunya harapan yang tersisa.

Jin-Ha menarik Yeesha menangis di pelukannya.



Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!