RUANGAN itu bercat putih, lengang, dingin, dan bau obat-obatan.
Han Hye-Sung, pria berumur lebih dari 60 itu menatap dokter di depannya. “Apa tidak ada jalan lain?”
Dokter bernama Park Yong-Mun yang sudah tua pula menatap rekanan medis Yeesha dan menggeleng. “Aku sudah mengingatkanmu tentang kondisi Yeesha. Dia tidak akan bisa bertahan lama. Penyakitnya sudah semakin parah. Bahkan kemotherapy tidak bisa membantu banyak. Sel kanker dalam otaknya sudah mengganas.”
“Tidak!” Han Hye-Sung marah. “Aku tidak ingin kehilangan cucuku. Dia satu-satunya yang kumiliki. Dia hidupku. Kumohon, Yong-Mun, selamatkanlah Yeesha. Lakukanlah apa pun semampumu. Selamatkan hidup cucuku!”
Park Yong-Mun menatap kawan lamanya dan menghela nafas berat. “Baiklah, aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengobati Yeesha. Tapi aku harap, kau siap menerima segala resikonya.”
Han Hye-Sung menegang. “Apa maksudmu?”
“Sebenarnya ada satu solusi, yang bisa menyelamatkan Yeesha. Walau resikonya amat besar.”
“Apa itu, Yong-Mun? Katakan padaku.”
“Dengan jalan operasi. Operasi pengangkatan sel kanker otak pada Yeesha. Tapi kemungkinan keberhasilan operasi ini hanya 10%. Yeesha bisa meninggal. Kalau pun operasi berhasil dan dia selamat, dia tidak akan ingat apa pun. Ingatannya akan hilang sepenuhnya. Dia bahkan tidak dapat mengingat dirinya sendiri. Ingatannya akan muncul seperti bayi yang baru lahir dan tidak bisa apa-apa.”
Tubuh Han Hye-Sung terhempas lemas ke kursi, tenggorokannya terasa dicekik. Membayangkan nasib cucunya hanya 10%, membuatnya kehilangan separuh jiwa.
Tidak!
Yeesha adalah mutiara berharga hidupnya.
Yeesha adalah miliknya yang paling berarti.
Yeesha adalah segalanya.
Tidak akan ia biarkan hidup Yeesha berakhir tragis seperti ini. Walau harus mengambil resiko terpahit, Yeesha harus selamat! Dia harus sembuh!
“Aku hanya memberi saran. Kau bisa membicarakannya dengan Yeesha. Pikirkan baik-baik.” Park Yong-Mun menuangkan secangkir teh. “Minumlah agar kau lebih tenang. Setelah itu kau bisa berpikir lebih jernih.”
“Aku tidak mau operasi, Kakek!” seru Yeesha membanting sendok makannya.
“Tapi Yeesha, ini satu-satunya jalan agar kau bisa selamat,” Han Hye-Sung berusaha membujuk cucunya.
Suasana makan malam terasa menegangkan. Di meja makan hanya ada Kakek dan Yeesha, para pelayan berdiri mengelilingi meja makan siap siaga memenuhi keperluan sang putri.
Namun belum Kakek berbicara lebih jauh, Yeesha sudah menolak mentah-mentah rencana operasi.
“Sudahlah Kakek, aku sudah capek. Selama ini Kakek mengusahakan segala pengobatan untukku, tapi apa hasilnya? Yang kurasakan hanya sakit, penderitaan yang tak kunjung habis. Aku tidak bisa sembuh. Dan Kakek lihat kondisiku sekarang? Kalau Kakek mengatakan aku seperti mayat hidup, ya memang benar! Aku memang tidak pantas hidup lagi.”
“Yeesha! Cukup!” Kakek marah. Rahangnya mengeras, membuat Yeesha terdiam. “Sekarang tidak ada yang Kakek pikirkan selain kesembuhanmu. Tapi jika kau putus asa, apa yang dapat Kakek lakukan? Kau ingin semua usaha Kakek sia-sia? Apa kau tidak menyayangi Kakekmu ini?”
Yeesha tercekat. “Bukan begitu maksudku, Kakek!”
“Lebih baik Kakek pergi jika itu yang kau inginkan!” Kakek beranjak ke kamar diikuti beberapa pengawal.
“Kakek…” Yeesha berusaha mencegah namun Kakeknya tidak mau dengar.
“Nona, mau tambah supnya?”
Yeesha mendengus dan meneguk air putih. “Aku sudah selesai makan…” ia menuju kamarnya. “Dan jangan ikuti aku! Aku ingin sendirian.”
Ia membanting pintu kamarnya.
Pintu kamar Yeesha terbuka.
“Kenapa kau bersikap begitu pada Kakek?” Jin-Ha menutup pintu sambil menatap Yeesha serius.
Yeesha mendengus, sinis. “Jadi Kakek sudah mengatakannya padamu?”
Jin-Ha menghela nafas. “Kakek tidak berbicara apa pun padaku. Aku hanya mendengar kejadian semalam. Seharusnya kau tidak sekasar itu pada Kakek. Kakek pasti sedih.”
“Sedih? Sedih kau bilang?” Yeesha tertawa perih. “Siapa yang paling sedih sekarang? Aku! Jelas-jelas vonis sudah menetapkan umurku hanya tinggal 2 bulan lagi. Lalu apa yang perlu aku perjuangkan? Untuk apa aku operasi? Mungkin hanya mempercepat kematianku saja.”
“Yeesha…” Jin-Ha berusaha menenangkan gadis itu. Sejak Yeesha sakit emosinya begitu labil. “Kakek hanya ingin melakukan yang terbaik untukmu. Kau pasti tahu seberapa besar Kakek menyayangimu. Kakek menyayangimu lebih dari segalanya.”
Hati Yeesha terpukul, wajah Kakek terus tampak di matanya. Benar yang Jin-Ha bilang, Kakek amat menyayanginya. Tapi ia setengah hati ingin menjalankan operasi kanker. Ia takut. Ia takut operasi itu malah menjadi akhir dari hidupnya. Jika hidupnya harus berakhir cepat, ia ingin mengakhiri dengan tenang, bukan berakhir di meja operasi.
Jin-Ha terdiam beberapa saat. Melihat kekasihnya begitu tertekan membuat hatinya sakit seperti ditusuk benda tajam.
“Kenapa kau masih di sini, Oppa?” sentak Yeesha frustasi. “Tinggalkan aku sendiri!”
“Tidak!” tegas Jin-Ha. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
“Apa yang kau harapkan dariku?” Yeesha menangis menatap pantulan dirinya di cermin. “Aku begitu jelek. Sebentar lagi rambutku akan habis. Apa yang kau harapkan dari gadis berkepala botak?”
Gadis itu amat terpukul. Melihat tubuh yang begitu kurus, wajah pucat, rambut yang tinggal beberapa puluh helai saja. Namun rasa cinta Jin-Ha pada gadis itu mengalahkan segalanya. Dia amat menyayangi Yeesha. Seperti apa pun kondisi Yeesha, tidak akan melunturkan rasa cintanya pada gadis itu.
“Aku mencintaimu, Yeesha.” Bibir Jin-Ha bergetar ketika mengucapkannya. “Dan aku ingin kau sembuh.”
Tangis Yeesha meledak, ia pun menumpahkan tangisnya dalam pelukan Shin Jin-Ha.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments