Hati Nurani

"Apa kalian nggak kasihan, dia masih sangat kecil!" kataku.

Pandangan jijik mereka beralih ke arahku, disudutkan dan disalahkan saat kita tak melakukan kejahatan. Ternyata sesakit ini ya.

"Anak haram, hanya akan bawa sial. Jika kita mengasuhnya, kita juga akan ikut sial!" kata tante Violet.

"Kalau begitu biar aku saja yang merawatnya!" kataku.

"Kamu sudah gila ya, Lan?" bentak ibuku.

Mode kuntilanak yang sudah hampir 10 tahun tak kulihat itu, kini dapat kulihat lagi. Tampak lebih seram dari pada dulu memang, tapi aku harus mulai mendengar ocehan dengan nada tingginya sekarang.

"Kau pikir mengasuh seorang anak itu mudah?" tanya Ibuku.

Aku tak berani melihat ke arah wajahnya, karena wajah cantik blasteranya. Pasti sudah lebih seram dari--pada mantan yang ngajak balikan.

"Nggak, bawa saja anak ini kepanti asuhan!" ujar Ibuku.

Sudah lama sekali aku tak melihat ibuku semarah ini. Karena dia telah meninggalkanku, di rumah ayahku 10 tahun yang lalu.

"Aku tetap akan membawanya ke rumahku!" kataku tegas.

"Irland! Pikirkan baik-baik, apa kata keluarga ayahmu. Jika kau membawa anak kecil ke dalam rumahmu?

"Mereka akan mengira kalau dia adalah putrimu!" kata Ibuku.

"Aku sudah memutuskan hubungan dengan ayah!

"Jadi mereka tidak akan ikut campur dengan hidupku lagi!" kataku.

"Kau ini putra pertama di keluarga Hartono! Jangan main-main dengan ayahmu!" nasehat Ibuku.

Aku masih menatap ke depan, dan tidak melihat ke arah ibuku yang duduk di sampingnya kananku.

Tiba-tiba saja aku merasakan rasa sakit yang selama ini kupendam. Merasa sakitnya diabaikan oleh kedua orang tuaku, yang sudah sibuk dengan keluarga mereka masing-masing. Aku merasa kelahiran diriku seperti sebuah kesalahan, yang harusnya tidak dilakukan oleh kedua orang tuaku.

"Ibuku bahkan membuangku, mana mungkin ayah mau memungutku?" tanyaku.

Semua orang di dalam ruangan itu terdiam, mereka pasti tahu sepak terjang yang sudah kulalui. Selain ibuku tentunya, yang sepertinya tidak peduli padaku.

"Terserah kau saja!" kata Ibuku.

Itulah akhir dari perdebatan sengit kami, aku merasa nasib Yomi mirip denganku. Jadi aku merasa kasihan padanya, tanpa memikirkan akibat yang akan kulalui nantinya.

.

.

Malam itu aku langsung pergi untuk pulang ke ibu kota, karena besok pagi aku harus kerja. Aku menyetir sambil memikirkan banyak hal, pekerjaanku, hidupku, dan juga hidup Yomi. Seketika aku langsung punya beban dalam waktu beberapa detik.

Moto hidupku adalah aku tidak menginginkan apapun, aku tidak memiliki apapun, aku bebas. Tapi sepertinya aku harus mengganti moto hidupku mulai sekarang, yaitu aku hidup untuk Yomi tanteku.

Gadis berusia sembilan tahun itu tertidur pulas di sampingku, wajah imutnya terpejam namun tersirat senyuman kebahagiaan.

"Tega sekali mereka mencampakkan anak semanis ini!" kataku dalam hati.

Saat melihat wajah polos Yomi, aku kembali mengingat cerita yang diceritakan oleh pengasuh Yomi sebelumnya. Ibu Yomi meninggalkan putrinya dan kakekku, setelah menikah dengan kakekku selama satu tahun. Tak ada yang tahu pasti tentang identitas ibunda Yomi. Pengasuh itu hanya bilang, bahwa ibu kandung Yomi masih sangat muda saat menikah dengan kakekku.

Gadis ini lebih malang dariku, ibuku meninggalkanku saat usiaku 14 tahun. Namun Yomi ditinggalkan ibunya, tepat setelah dia dilahirkan.

Aku tahu jalan ke depannya pasti akan sangat berat, namun keputusan ini tak akan kusesali.

.

.

Di Jakarta aku tinggal di sebuah perumahan kecil, dengan seorang pembantu bernama Mbok Sri. Mbok Sri adalah salah satu pembantu di rumah ayahku, namun dia pindah kerumahku karena sangat menyayangiku. Wanita yang mungkin seusia dengan ibuku itu, sudah menganggapku seperti anak kandungnya sendiri.

Meski dia seorang pembantu, namun aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri. Karena hanya Mbok Sri--lah yang selalu ada di setiap aku ingin memeluknya. Wanita yang dulunya adalah membantu favorite ibuku itu, selalu berusaha membelaku di depan ayahku.

Aku memang sering membuat kesalahan, saat aku tinggal di rumah mewah nan megah ayahku. Aku sering mengerjai adik tiriku, yang tidak tahu diri dan ibu tiriku yang sok paling berkuasa. Meski hukuman yang diberikan ayahku cukup berat, namun aku melakukan kesalahan itu berulang-ulang. Seperti itulah hidupku dahulu.

Memang baru setahun ini, aku benar-benar melepas diriku dari belenggu ayahku. Aku tak ingin hidup dibawah tekanan ayahku dan ibu tiriku. Meski aku harus bekerja keras dan membiayai hidupku sendiri, namun aku termasuk orang yang mempunyai tekat yang kuat.

.

.

Aku sampai di rumah pukul 09.00 malam, karena Mbok Sri sedang pulang kampung. Jadi suasana rumahku sangat kelam, tak ada satu lampu pun yang dinyalakan. Karena memang tidak ada manusia yang menyalakan.

Aku keluar dari mobilku, lalu membuka gerbang. Kulanjutkan langkahku masuk ke dalam rumah untuk menyalakan lampu. Setelah semua terang aku kembali keluar, kuraih  tubuh mungil Yomi yang masih berada di dalam mobil.

Kubopong gadis kecil itu menuju kamarku, kutidurkan dia di atas kasurku. Sejenak aku duduk di sampingnya, kurapikan rambut panjang coklatnya yang berantakan mengenai wajahnya.

Entah kenapa aku merasa sangat lega karena membawanya kemari.

Apa seperti ini saat seorang ayah melihat putrinya?

Perasaan yang tidak dapat kugambarkan dengan kata-kata. Rasa senang bahagia dan kebanggaan ada di dalam hatiku saat ini. Perasaan yang sangat aneh.

Aku pernah memenangkan tender yang cukup besar untuk peusahaan dimana aku bekerja, namun saat itu aku tidak merasakan perasaan yang unik seperti ini.

Apakah Yomi adalah sebuah tender yang lebih besar, dari tender yang pernah kumenangkan. Entahlah, aku hanya senang karena gadis kecil ini mau ikut denganku tanpa perlawanan.

Aku kembali ke dalam mobil dan mengambil beberapa tas yang berisi pakaian Yomi, serta beberapa barang milik gadis kecil itu.

Namun sekarang aku bingung, karena aku tidak tahu harus tidur di mana. Aku hanya punya satu kamar dan kamar itu sudah digunakan oleh Yomi.

"Aku harus mandi dulu! Siapa tau jika aku sudah mandi, aku bisa berpikir dengan jernih!" ujarku pada diriku sendiri.

Segera kulakukan rencanaku itu, karena tubuhku juga sudah terasa gerah. Aku  akhirnya bisa merasa rasanya, disiram dengan air hangat dari ujung kepala hingga ujung kaki hari ini.

Rasanya semua ototku yang menegang akhirnya melemas kembali. Aku lanjutkan menyabuni seluruh area tubuhku, namun mataku langsung terbelalak ingin keluar.

Segera kudekap erat belalai panjang kebangaanku, lalu menyapukan pandangannku ke sekitarku. Aku mencari handuk mandiku, yang ternyata berada di luar ruang kaca yang menjadi penyekat ruang mandi.

"Kenapa kau tak mengetuk pintu dulu jika ingin masuk?" tanyaku.

Kepala bervolume kecil itu, berputar pelan ke arahku yang berada di dalam ruang kaca yang buram.

"Sudah kuketok tadi, kamu aja yang enggak dengar!" kata gadis kecil yang baru saja kubawa kerumahku.

Aku segera berjongkok, aku masih punya hati nurani. Tak mungkin kubiarkan mata bulat kecil yang masih suci itu, ternodai oleh pemandangan tak senonoh ini.

"Kamu???

"Kau memanggilku, Kamu?!" tanyaku dengan nada tak percaya.

"Bukankah mereka bilang kau keponakanku, artinya aku lebih tua dari kamu--kan?" gadis kecil itu menaikkan celananya. Dia baru saja pipis di toilet, dan anehnya aku memejamkan mataku saat tau Yomi akan menaikkan celananya.

Kini aku tau. Perkataan seorang ibu kepada anaknya memang selalu kejam, Tapi harus didengar dan dituruti.

___________BERSAMBUNG_____________

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN LIKE ❤❤❤

Terpopuler

Comments

Fa Rel

Fa Rel

ngakak pas bca ini 😂😂

2022-01-22

1

Emak Femes

Emak Femes

kok nyesek yaaakk😖😖

2022-01-01

0

Emak Femes

Emak Femes

emaknya dikata kuntilanak 😨😨

2022-01-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!