"Sebab aku tidak tahu kau akan muncul kembali, namun aku senang kau di sini." ~Bram Trahwijaya.
.
.
.
Sebuah mobil berwarna gelap tampak berbelok untuk memasuki sebuah kompleks apartemen. Memelankan laju kendaraannya, Bram mencari-cari slot parkiran kosong, memilih yang terdekat dengan lift. Mematikan mesin mobilnya, lelaki itu menyambar sebuah tas yang berisi laptop di dalamnya, berencana untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda hari ini di dalam kamarnya.
Mungkin segelas wine atau beberapa botol bir akan membantunya untuk terjaga, saat Meta--sekretarisnya, telah menyelesaikan beberapa laporan penting hari ini yang sudah dikirimkannya ke surel milik Bram. Lelaki itu harus melakukan peninjauan, kemudian melakukan tanda tangan persetujuan di berbagai dokumen elektronik. Malam ini mungkin akan menyita waktunya.
Tidak lagi pulang ke rumah yang dulu dia tempati bersama Diandra, Bram memilih untuk membeli sebuah unit apartemen mewah di salah satu kawasan elit di kota mereka. Seorang pria kaya raya bernama Xavier Forzano menawarkan unit apartemen itu pada sebuah perusahaan jual beli properti, dan Bram benar-benar tertarik dengan interior yang ada di dalam sana.
Pria itu sudah menjual rumahnya sepulangnya dia dari Paris sebulan yang lalu, berharap dengan seperti itu akan lebih mudah baginya untuk mengenyahkan bayang-bayang Diandra yang masih kadang hadir tanpa dia minta.
Berjalan menuju arah lift, lelaki itu tampak sedang berada dalam sebuah panggilan telepon.
"Tidak, Al. Aku tidak berencana untuk keluar malam ini." Suaranya terdengar khas, memegangi ponselnya dan menempelkan benda itu di telinga kanan.
Terdengar suara Alberto di sebrang sana, mengatakan sesuatu.
"Tidak. Aku hanya ingin berenang dan tidur lebih awal hari ini." Pintu lift telah terbuka setelah terdengar suara dentingan, sebelum pria itu melangkah masuk. Menekan sebuah tombol, pintu itu kembali tertutup.
"Oke. Sampai jumpa!" Entah apa yang diucapkan Alberto di ujung teleponnya, namun Bram telah memilih untuk menyudahi panggilan. Benar-benar tidak berniat untuk meninggalkan apartemen, lelaki itu ingin menikmati waktunya dalam keheningan saja. Bahkan tawaran Alberto untuk pergi ke sebuah club borjuis sama sekali tidak menarik perhatiannya malam ini.
Memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, Bram kembali menegakkan kepala. Ikut terbawa lift yang terus bergerak naik, lelaki itu hanya berharap agar cuaca malam ini akan cerah, jangan sampai hujan turun mengguyur kotanya. Sebab dia berencana untuk berenang malam ini, melemaskan otot-ototnya yang tegang setelah pekerjaan kantor yang menumpuk, berharap dia akan sedikit rileks sebelum dia berkutat kembali dengan berbagai jenis laporan.
Fyuuh, sungguh hidup yang membosankan, Bram.
Pintu lift itu terbuka beberapa saat kemudian, dan lelaki itu bergegas keluar dari sana. Melangkah dengan langkah kaki besar-besar, Bram menuju sebuah unit apartemen yang kini jadi tempatnya berpulang. Apartemen itu mewah dan strategis, dan Bram entah mengapa telah menyukai unit itu sejak dia pertama kali melihatnya.
Telah berdiri tepat di depan pintunya, lelaki itu memasukkan kombinasi enam angka yang telah dia pilih sebagai kata sandi. Terdengar bunyi klik, menandakan apartemen itu telah terbuka. Mendorongnya dengan tenaga sedang, Bram sudah melangkah masuk.
***
Baru saja mengganti kemejanya dengan sebuah kaus berwarna hijau muda, Bram tersentak kecil saat tiba-tiba terdengar suara bel apartemennya berbunyi. Sejenak lelaki itu berpikir dalam hati, menerka-nerka siapa yang mungkin datang mengunjunginya sore itu. Seingatnya dia tidak punya janji dengan siapapun, dan tidak ada yang tahu alamat apartemennya selain Alberto dan Meta. Apakah tamunya adalah salah satu dari keduanya?
Lelaki itu memperbaiki kaus yang menutupi bagian atas tubuhnya, melangkah mendekati pintu dan mengintip melalui celah kecil di sana. Namun tidak terlihat satu orang pun di depan pintunya, membuatnya memicingkan mata sekaligus mengernyitkan dahi. Jelas-jelas dia mendengar belnya berbunyi, namun mengapa tidak seorang pun muncul di sana?
Siapa gerangan seseorang yang menekan bel apartemenku? Apakah orang iseng?
Hampir saja Bram berbalik badan untuk tidak menggubris dentingan bel itu, namun entah mengapa dia telah terlanjur penasaran. Lelaki itu akhirnya memutuskan untuk membuka pintu apartemennya, memajukan tubuh dua langkah guna celingukan melihat ke kanan dan ke kiri. Tidak tampak seorang pun di sana, namun tiba-tiba manik kehitamannya tanpa sengaja tertuju pada sebuah paper bag yang bergantung di ujung handle pintunya, bergoyang pelan.
Bram meraih bungkusan itu, mengintip ke dalamnya. Terdapat sebuah botol berisi susu segar, dengan beberapa bungkus cokelat dan kue berada di dalam. Bram kembali mengernyitkan dahi, sembari mengitari sekeliling lorong tetapi nihil, sebab tidak satu orang pun terlihat di sana. Mendapati sepotong kertas berwarna merah hati juga berada di dalam paper bag itu, Bram menarik kertas itu dengan ragu-ragu.
Siapa yang mengirimiku ini? Apakah ini racun?!
Matanya menatap pada huruf-huruf yang ditulis dengan tulisan tangan, yang memang tampak indah sekali.
Hai. Aku tetangga baru. Di unit nomor 112. Ini hadiah perkenalan dariku. Kembalikan paper bag nya jika kau telah mengambil isinya.
Begitu tertulis di kertas itu, membuat Bram menaikkan kepala. Melirik sekilas pada unit apartemen 112, yang tepat berhadap-hadapan dengan unitnya, 111. Tidak merasa dia mengenal pemilik apartemen itu, Bram memang tidak pernah mengharapkan untuk memiliki hubungan baik dengan para tetangga. Bukankah memang seperti itu hidup di zaman milenial seperti sekarang ini? Bahkan setelah satu bulan menempati unitnya, dia tidak mengenal seorang pun di lorong yang sama, kecuali dua orang petugas apartemen yang bertugas sebagai cleaning service lantai apartemen mereka.
Bram masih punya beberapa pertanyaan di dalam benaknya. Sempat tidak ingin menggubris paper bag itu, namun hatinya mengatakan bahwa dia setidaknya harus menyapa. Sebab sang tetangga sudah menyapa lebih dulu, mungkin saja satu pertemuan akan cukup untuk mereka.
Dia tadinya berencana untuk membawa paper bag itu masuk ke dalam, namun tiba-tiba dia berpikir sebaiknya dia mengembalikan paper bag itu secepatnya, kemudian undur diri. Lagi pula dia tidak memerlukan tetangga. Menyelesaikan urusan pengembalian paper bag itu sebaiknya dilakukan dengan cepat saja.
Kaki lelaki itu melangkah pelan untuk mendekati pintu unit 112, menggerakkan telunjuknya guna menekan bel. Dia menunggu beberapa saat, ketika kemudian terdengar suara pintu terbuka dan seseorang menyembulkan kepala muncul dari dalam sana.
Takdir. Lagi-lagi takdir yang memilih.
Bram terbelalak, tertegun untuk beberapa saat. Begitu juga dengan penghuni unit 112, yang kini berhadapan dengan tetangga barunya.
Aku menemukanmu, Bram.
"Marin?!" Bram berseru tidak percaya, memutar matanya untuk meyakinkan diri. Tidak mungkin dia bertemu lagi dengan gadis itu, tapi dia yakin dia sedang tidak salah lihat.
Marin berdiri di sana, dengan senyuman yang masih sama, dengan visual yang masih sama. Yang Bram tidak sadari adalah, pancaran mata gadis itu kali ini tampak berbeda.
"Ini kau, Bram?!" Marin berusaha sebaik mungkin memekik, agar reaksi yang dihasilkannya tampak begitu natural.
Bram sempat menggeleng kecil, masih berusaha mencerna keadaan yang terjadi tepat di depan matanya. Begitu pula dengan Marin yang menatap pria itu dengan bola mata melebar, menyelami ke dalam pancaran mata seorang Bram Trahwijaya.
Kita bertemu lagi, Bram. Apakah takdir memang membawamu padaku?
.
.
.
🗼Bersambung🗼
~Maafkan karena ada pengulangan adegan ya, biar ceritanya nyambung juga untuk pembaca baru, hehe. Selamat membaca 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
¢ᖱ'D⃤ ̐🕊ᶜᵒᵐᵉˡ🐾
g suka sama Marin
2021-12-17
1
Ita Widya ᵇᵃˢᵉ
semoga bisa melupakan diandra bram
2021-11-11
0
Hertin Liberti
gk suka sama Marin..
2021-11-04
0