"Kuharap aku dapat kembali menatapmu, menembus manikmu yang mencuri perhatianku." ~Marinda Schoff.
.
.
.
Waktu berlalu begitu cepat. Mendarat dengan baik armada Air France yang ditumpangi Bram tempo lalu, mengembalikan posisi lelaki itu di tempat semestinya.
Berpijak kembali di bumi pertiwi, Bram telah melalui peristiwa penting yang sarat akan makna setelah perjalanan keduanya ke Paris. Kini benar-benar kembali, lelaki itu siap untuk membuka lembaran baru kehidupannya, merelakan cintanya yang membuncah di dalam dada.
Waktu akan menyembuhkan, waktu akan menghapuskan.
Setidaknya itulah mantra yang terus dirapal Bram dalam hati, dalam pergolakan batin saat dia menepis rasa rindu yang terkadang hadir tanpa dia inginkan. Lagi-lagi karena kau tidak memilih cinta, tetapi cinta yang memilihmu.
Menenggelamkan diri dalam pekerjaan yang menumpuk, Bram mulai mendapati dirinya kembali hidup. Kini menyandang predikat sebagai duda keren yang sangat berduit, menjadikan di target empuk dari wanita-wanita cantik sosialita bahkan beberapa artis papan atas.
Tidak berniat untuk menggubris mereka, Bram membangun dinding kokoh untuk melindungi hatinya. Meski dia tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, dia berharap kelak dia bisa kembali membuka diri di saat yang tepat.
Sebab cinta tidak pernah salah memilih, meski jalannya mungkin tidak selalu mudah.
***
Satu bulan berlalu.
Seorang gadis tampak berdiri di tepi jendela, memandangi ke arah luar kamarnya yang tepat berhadap-hadapan dengan sebuah taman bunga. Memperhatikan dengan tidak seksama pemandangan bunga warna-warni yang terhampar di depannya, gadis itu tampak sedang bergumul dengan dirinya sendiri. Merasakan angin semilir yang berhembus sore itu melewati celah jendela, gadis itu memegangi sebuah tab dengan layar yang masih menyala. Namun tangannya terkulai, tidak lagi menatap pada layar benda persegi panjang itu.
Baru saja manik kebiruannya membaca informasi yang tertera pada tab itu, membawanya pada kilasan peristiwa beberapa minggu lalu. Peristiwa yang masih terus menari di kepalanya. Tentang kebersamaan, tentang pengorbanan, tentang rasa sakit. Terlebih, tentang cinta.
Pertemuan yang tidak sengaja, siapa sangka bisa berujung pada keterkaitan rasa? Marin tidak pernah menduga dia akan sejauh ini terjebak dengan seorang pria, dengan manik kehitaman yang entah mengapa sukses mencuri perhatiannya.
Marin telah berencana untuk tidak melihat pada pria mana pun lagi, namun dia sungguh tidak mampu memalingkan pandangannya dari seorang lelaki yang dia bantu tanpa pamrih. Lelaki yang hampir saja mengalami kemalangan, jika Marin tidak cepat-cepat melinting tangan pencopet yang sedang beraksi di jalanan Paris yang ramai. Jika dia mengingat kembali kejadian tempo lalu, semuanya terjadi begitu cepat dan tanpa dia rencanakan.
Biasanya Marin tidak begitu tertarik dengan urusan orang lain. Meski kota mereka terkenal dengan tingkat kriminalitas yang cukup tinggi terutama sering kali terjadi pada turis-turis asing, Marin tidak biasanya memperhatikan dengan seksama orang-orang yang berada di sekitarnya. Gadis itu terbiasa cuek, tidak perlu baginya menonjolkan diri atau bahkan memperkenalkan siapa dia sebenarnya pada orang lain, saat dia telah nyaman untuk menjadi bagian dari kalangan minoritas.
Tetapi kali itu berbeda. Pria itu tampak berdiri tegap, memandangi ke arah jalan dengan tatapan kosong meski dia berusaha untuk fokus pada pandangannya. Bertubuh tegap dengan jaket tebal yang menyelimuti tubuh, pria itu sebenarnya tampak tangguh, hanya saja entah bagaimana tidak seperti itu yang ditangkap oleh bola mata Marin.
Pria itu rapuh, dengan hati dingin yang penuh rahasia.
Bram Trahwijaya. Begitu pria itu memperkenalkan dirinya, mengukir sebuah senyuman di wajahnya yang tampan. Meski dengan rahang dan bentuk wajah yang tegas, Marin dapat menangkap semburat kesedihan di sana. Entah perasaan kecewa, atau mungkin perasaan terluka. Laki-laki itu tampak mempesona dengan caranya sendiri, meski Marin tahu dia berusaha menutup dirinya rapat-rapat.
Tidak pernah menyangka dunia akan sekecil ini, Marin benar-benar terpana saat mengetahui siapa laki-laki itu sebenarnya. Meski bibirnya mengukir senyuman, dia tidak bisa membiarkan bayang lelaki itu berlalu begitu saja. Setelah terlibat dalam beberapa situasi pelik dan menegangkan bersama Bram belakangan ini, Marin tidak tahu kalau ternyata waktu membuatnya terus memikirkan pria itu.
Marin tahu pria itu telah kembali ke tempatnya, kembali ke Indonesia tempat di mana dia seharusnya berada. Meninggalkan Paris tanpa kata selamat tinggal untuknya, Marin memang merasakan sejumput rasa kesedihan yang menelusup masuk ke dalam hati. Mungkin bercampur sedikit kecewa, sebab dia berpikir mereka telah berada di satu hubungan pertemanan setelah melewati beberapa waktu bersama-sama.
Namun, justru karena kesedihan itulah Marin tidak menyadari bahwa semesta telah menangkap rasa sedihnya, kemudian kini sedang berusaha mengatur hal lain untuknya.
Menarik napas panjang, Marin menaikkan kembali tangannya, memandangi pada layar tab-nya sekali lagi.
Sebab kau tidak mengucapkan selamat tinggal, Bram. Dan aku terlalu penasaran akan kehidupanmu yang kelam. Meski kau setegar karang, aku masih ingin tahu tentang hatimu yang kau tutupi rapat-rapat. Apakah mungkin ada celah di sana, atau memang kau telah menggemboknya lalu membuang kunci itu jauh-jauh.
Sayup-sayup terdengar suara sepatu dari derap langkah kaki seseorang yang mendekat, sebelum kemudian suara itu berhenti tepat di belakang tubuh Marin yang masih berdiri tegak.
"Nona, mobil sudah siap." Seorang pria paruh baya membungkukkan sedikit badannya, memberi hormat pada nona muda yang ada di depannya.
Marin mendesah. Dia telah memutuskan. Mungkin ini akan jadi pilihannya yang paling baik, setidaknya dia akan mencoba sekali saja. Berbalik badan, Marin tersenyum kecil.
"Baiklah. Ayo berangkat."
Jika kita benar bertemu lagi Bram, apa kira-kira kata pertama yang akan kau ucapkan padaku pertama kali?
***
Marin menyusuri lorong sebuah kompleks apartemen mewah. Memilih sebuah apartemen dengan maksud tertentu, Marin telah memperkirakan semuanya. Menggeret kopernya, Marin mengerjapkan mata sembari celingukan mencari unit apartemen barunya.
Dengan masih mengenakan sebuah topi santai, Marin terus melangkah pelan. Hingga dia berangsur memelankan langkah begitu mendekati sebuah unit apartemen dengan pintu besar berwarna coklat tua.
Memandangi pintu kokoh itu, membaca dalam hati nomor yang tertulis persis di depannya. Seratus sebelas. Angka yang menarik, angka unik yang mungkin membawa keberuntungan.
Tanpa sadar Marin menyunggingkan senyuman. Bibirnya merah mudanya tampak begitu menggemaskan, dan dia tanpa sadar sudah mengucap sesuatu.
"Halo, Bram. Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan, sungguh tidak menunggu jawaban.
Semesta bersorak-sorai. Semesta menangkap setiap kata yang diucapkan oleh gadis itu, menyimpan kata pertamanya.
Marin tidak tahu semesta begitu bahagia hanya karna dia mengucapkan sebuah sapaan. Sapaan yang dia fikir hanya sebatas kalimat saja, padahal tidak begitu bagi sang semesta.
Gadis itu telah mengucapkan kata 'halo'. Dia tanpa sadar telah memilih. Maka, biar semesta melakukan pekerjaannya dengan baik kali ini.
.
.
.
🗼Bersambung🗼
~Makasih sudah mampir kakak readers, sehat selalu~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
¢ᖱ'D⃤ ̐🕊ᶜᵒᵐᵉˡ🐾
bram ketemu lg sama Marlin ya
2021-12-17
0
ᐤ༺ Ⓡⓘⓢⓨⓐ🏹Hiat༻
JEJAK lg🏃🏃🏃
2021-12-06
0
Ita Widya ᵇᵃˢᵉ
asik diam² Marin mengambil hatinya bram
2021-11-11
0