“Apa kamu sudah memikirkan ini matang-matang?” Tanya Ganis serius, setelah makan malam, Kawa sengaja mengajak Bundanya untuk membicarakan rencananya yang sudah dia pikirkan matang-matang.
“Iya Bun” jawabnya singkat.
Ganis menghela nafas panjang, dia tidak habis pikir anak lelakinya meminta izin untuk bekerja jauh darinya. Karena selama ini Kawa bekerja di salah satu perusahaan keluarga, dan posisinya juga sudah lumayan karena kepiawaiannya.
“Nanti aku bilang Papa” imbuh Kawa meyakinkan Bundanya, bahwa keputusannya sudah bulat.
“Apa gara-gara peristiwa itu?” Ganis masih khawatir dengan keadaan jiwa putranya.
Buru-buru Kawa menggeleng, dia ingin meyakinkan pada Bundanya, pada semua keluarganya bahwa dia baik-baik saja sekarang, dan dia hanya ingin mendapatkan pengalaman baru.
“Biar bisa mandiri Bun” Kawa mencari alasan. Sejujurnya, hal yang mendasarinya adalah memang ingin menepi sejenak dan merefresh hatinya, tak ingin lagi berada di kota ini entah sampai kapan. Mungkin sampai dia benar-benar bisa melupakan peristiwa yang menyakitkan hati itu.
Ganis menghela nafas panjang, “Coba nanti bicara sama Papa”
“Iya Bun”
“Bagaimana dengan Omamu nanti?” Ganis menatap wajah putranya yang tampan itu.
“Kan tidak sampai ke luar negeri Bun, nanti aku bisa sering pulang”
“Bagaimana dengan hidupmu di sana? Kamu sendirian, makan kamu, siapa yang mengurus kamu”
“Kan sudah gede Bun” Kawa merekahkan senyumnya, menenangkan Bundanya, memang selama ini hidupnya terjamin dengan fasilitas. Tapi tidak ada salahnya jika dia harus mandiri, tidak masalah baginya.
“Apa kamu tidak ingin memikirkan ulang rencana kamu ini nak?” Ganis mencoba mempengaruhi keputusan Kawa.
Keputusan Kawa sudah bulat, bahkan dia sudah berhasil bicara dengan Saga, Papanya. Awalnya hal yang sama juga dirasakan oleh Saga, tidak ingin merelealisasikan rencana putranya tersebut. Ada banyak pertimbangan, Kawa begitu cakap berada di salah satu perusahaan, disayangkan jika dia harus bekerja sebagai karyawan biasa di salah satu minimarket binaan perusahaan. Tapi dia sudah sangat hafal dengan sikap keras kepala putranya, yang hampir mirip dengannya. Keputusan Kawa sudah bulat. Akhirnya dia merelakan putranya pergi dengan syarat, yaitu
menyertakan sahabatnya Rendra, Saga sengaja mengutus Rendra sebagai teman di sana, selain sebagai teman, agar Saga tetap mendapatkan informasi mengenai Kawa.
Kawa menerima syarat tersebut meskipun sebenarnya kurang nyaman, daripada tidak sama sekali, akhirnya dia mengiyakan saja.
***
Tak menunggu waktu yang lama, Kawa segera pergi ke kota kecil tersebut, dan Saga mengatur sedemikian rupa agar tidak mencurigakan saat Kawa harus bekerja sebagai karyawan baru di sana. Kawa tetap ingin merahasiakan jati dirinya dari banyak orang, termasuk kepala toko di mana dia bekerja tersebut.
Kota yang tenang dan tidak seheboh kota besar yang selama ini dia tinggali, Kawa sudah melakukan survey sebelumnya. Dan dia jatuh cinta dengan tempat ini, berjarak 3 jam dari rumahnya. Tapi tidak masalah, karena masih bisa dia tempuh untuk pulang saat dia rindu dengan keluarganya.
Rumah sederhana dengan dua kamar tidur akan menjadi tempat tinggalnya, tidak ada fasilitas mewah di sana, tidak ada AC tidak ada fasilitas penghangat air saat mandi, semua serba biasa.
“Bagaimana jika kamu bawa salah satu mobil?” tawar Ganis tempo hari.
Tapi tidak dia lakukan, dia hanya membawa satu motor matic warna hitam sebagai fasilitas mobilitasnya. Sudah lebih dari cukup.
“Kamu yakin nggak sih hidup di tempat seperti ini?” Tanya Rendra yang hari ini sudah harus memulai tugasnya sebagai asisten terselubung Kawa.
“Kenapa? Kalau kamu nggak kerasan, kamu boleh pulang” ancam Kawa. Namun hal itu disambut dengan gelak tawa Rendra.
“Jangan ngusir gitu donk, kan nanti aku nggak digaji sama bokapmu” jawabnya enteng. Tangannya meletakkan koper di kamar yang dipilih Kawa.
“Kamarnya juga sempit loh” Rendra mengedarkan pandangan ke seisi kamar yang berukuran sekitar 3 x 3 tersebut.
“Nggak masalah” jawab Kawa.
“Pengen taruhan”
“Apa?” jawab Kawa.
“Sebulan pasti bakalan minta balik” Rendra berkata dengan yakin.
Kawa mengulurkan tangan kanannya, mengajak salaman Rendra, sebuah pertanda dia menyetujui taruhan tersebut.
“Sebutkan taruhannya apa” Kawa balik menantang, kali ini senyumnya mengembang.
“Ehm…terserah nanti kamu maunya apa, begitu juga aku ya” jawab Rendra sambil mengulurkan tangan kanannya menjawab salam dari Kawa.
“Ok deal” jawab Kawa. Meskipun belum sepakat apa taruhannya, tapi mereka sudah sepakat.
Hari sudah sore, dan hujan rintik mulai turun. Rendra menepuk perutnya sekali, setelah menata barang-barangnya di kamar, dia masih urung untuk mandi. Dia memilih duduk di salah satu kursi kayu yang ada di ruang tamu.
“Lapar nih” ujarnya pada Kawa yang juga baru saja keluar dari kamarnya, dia juga baru saja menata barang-barang yang dari kopernya ke lemari kayu.
“Sama”
“Lalu makan apa kita? Ada kan ya pesanan online di sini” Tanya Rendra. Rendra mengambil ponselnya, mencoba memesan makanan online.
“Mau makan apa?” tanyanya pada Kawa.
“Terserah”
“Aku mau nasi goreng” ujarnya.
“Ok, ikut” jawab Kawa.
“Ikut mulu kamu ini”
“Besok-besok masak aja, tuh ada kompor dan teman-temannya di dapur” cetus Kawa, membuat mata Rendra membelalak. Begitulah mereka berdua, yang sudah berteman sejak jaman SD hingga kuliah. Kawa yang sebenarnya sangat datar dan kaku, jika sudah bersama Rendra, maka cairlah suasananya.
“Masak air bisa” jawab Rendra. Kawa terkekeh. Kawa lantas bangkit dari kursi kayu yang dia duduki, dia membuka pintu depan, memperhatikan suasana sekitar, lumayan ramai dengan kendaraan yang lalu lalang, karena memang rumah tersebut terletakdi pinggir jalan. Hujan rintik-rintik terlihat membasahi bumi. Aroma khas tanah basah menyeruak, kawa duduk di kursi teras. Berharap dia kerasan berada di tempat ini.
Rendra menyusul Kawa, dia berdiri bersender di tiang dekat Kawa duduk.
“Lumayan rame sih, nggak sepi-sepi amat” ujar Rendra.
“Iya”
“Biasanya ceweknya cakep-cakep” cetus Rendra. Kawa melirik sahabatnya itu.
“Buat aku Wa” jawab Rendra buru-buru. “Aku sudah lama menjomblo sejak putus sama Johana, kali aja ada gadis yang tertarik pada ketampananku, iya nggak?” Rendra menaik turunkan alisnya sambil melihat Kawa. Kawa melihat sahabatnya tanpa ekspresi. Dia hapal betul dengan Rendra, si playboy cap jempol yang suka mengoleksi banyak gadis.
“Orang baru jangan macam-macam” Kawa mengingatkan. Rendra tertawa.
“Permisi…dengan mas Rendra?” Tanya seorang ojek online sambil membawa bungkusan kresek di tangan kanannya.
“Oh iya mas” jawab Rendra.
“Ini pesanannya” ucap ojek online tersebut ramah.
“Berapa mas?”
“Semua 30 ribu mas”
Rendra merogoh uang yang ada di saku celananya, mengambil selembar uang 50 ribu, lalu memberikannya pada orang tersebut.
“Kembaliannya buat mas saja” ujar Rendra sambil menerima bungkusan kresek putih itu.
“Oh…terima kasih mas”
“Iya sama-sama”
“Mari mas” pamit tukang ojek tersebut.
“Yuk” jawab Rendra, sementara Kawa mengangguk perlahan.
“Makan…makan….” Rendra meletakkan kresek tersebut di meja samping Kawa. “Mau makan di luar atau di dalam?” Tanya Rendra.
“Sini aja”
“Ok, aku ambil piring sama sendok dulu dah di dalam”
Kawa merebahkan diri di sebuah ranjang kayu, memang kasurnya tidak seempuk di rumahnya, tidak ada pendingin ruangan. Yang ada hanya kipas angin yang berputar perlahan, Kawa memandang langit-langit kamar yang bercat putih. Terasa damai, terasa tenang berada di sini. Bukan karena dia bisa jauh dengan keluarganya, hanya saja pengalaman baru ini membuatnya tenang. Tak ada salahnya sejenak menepi, bukan karena lari, hanya saja hati juga perlu rehat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Rina Subiyanti
lanjut
2021-11-16
0