Raut muka datar itu tetap sama, seolah tidak sedang terjadi apa-apa. Kawa membuka pintu mobilnya dan segera memacu kendaraannya. Otaknya masih waras, dan harus tetap waras meskipun menghadapi kenyataan pahit baru saja.
Kawa menghela nafas panjang, menenangkan dirinya sendiri, mencoba berdamai dengan keadaan dirinya. Entah ini bertahan hanya sesaat atau dia masih merasa ini hanya mimpi. Ingatannya kembali pada peristiwa di apartemen tadi, bagaimana bisa Nadin, perempuan yang dia cintai, perempuan yang sudah dia seriusi dan mengajaknya ke jenjang yang lebih serius nantinya.
Kawa melihat jalanan malam, sudah agak larut, namun volume kendaraan masih ramai. Setidaknya membuat laju kendaraannya melambat, ingatannya masih kembali pada peristiwa tadi. Suara-suara setan yang mengusik dan kembali terngiang di telinganya.
Kawa tidak kembali lagi ke villa tempat akan dihelatnya acara pertunangannya. Dia sengaja kembali ke rumahnya, harusnya dia kembali ke villa. Tapi hati kecil dan perasaannya enggan kesana, dia ingin pulang ke rumah dan menepikan diri.
Biru yang memang belum berangkat ke villa sedang menonton televisi di ruang keluarga sambil nyemil keripik singkong. Terdengar langkah kaki, Biru menoleh ke arah sumber suara tersebut. Agak terkejut melihat kedatangan abangnya, harusnya abangnya berada di villa dan menginap di sana seperti halnya Bunda dan Omanya.
“Abang?” Biru menyapa, dia melihat wajah Abangnya yang terlihat seperti biasanya, datar tanpa ekspresi.
Kawa melihat wajah Biru sejenak, lalu memelankan langkahnya. Melihat wajah adik semata wayangnya itu.
“Bang….harusnya abang nggak di rumah kan?” Biru bertanya lebih gamblang.
Kawa kembali berjalan, kali ini tidak menjawab pertanyaan dari adiknya. Kemudian dia masuk ke dalam kamar.
“Bang….!” Biru agak sedikit berteriak. “Kenapa sih Bang Kawa?” gumam Biru, tangan kanannya meletakkan keripik singkong yang kini tak lagi menarik.
Biru segera beranjak dari tempatnya, dan mengekor menuju kamar Kawa. Dia benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. Seperti biasa, kamar Kawa tidak terkunci.
Biru membuka perlahan pintu tersebut, dilihatnya kamar kosong. Terdengar suara gemricik air dari dalam kamar mandi, Biru duduk di atas kasur sambil menunggu abangnya keluar dari kamar mandi. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10 malam.
Biru melihat ke arah pintu kamar mandi, dan tak berapa lama, Kawa keluar dari kamar mandi dengan sudah berganti baju dengan kaos dan celana pendek.
“Bang…kenapa bang? Semua baik-baik saja kan?” Tanya Biru. Dia memang cerewet, meskipun kadang ceroboh tapi hatinya selalu peka dengan keadaan sekitar, terlebih kepada saudaranya.
Kawa menghela nafas panjang, lalu duduk di dekat Biru. Sebenarnya dia tidak ingin berbicara dengan siapapun sekarang, tapi mau tidak mau memang harus dibicarakan.
“Bagaimana jika aku membatalkan semua?” ujar Kawa.
Biru melotot mendengar pertanyaan yang seolah seperti pernyataan itu, tidak percaya dengan apa yang diucapkan Kawa. Biru yakin bahwa Kawa sedang ada masalah sekarang, dan dia tidak baik-baik saja.
“Bang…” Biru berujar lirih.
“Iya, kamu benar, seharusnya aku mendengar apa yang kamu ucapkan, entah apapun alasanmu sebelumnya”
“Bang….” Biru mencoba mencerna, dan mulai tahu arah pembicaraan abangnya.
“Iya, dia bukan gadis yang baik, sebelum jauh, lebih baik tahu sekarang” ucapnya datar.
“Abaaaang….” Biru melihat abangnya dengan tatapan sendu, ingin rasanya dia menangis. Dia sangat mengenal Kawa, seberapapun dia terluka ataupun kecewa, tak akan terlihat di wajahnya secara gamblang. “Semua akan baik-baik saja Bang” Biru memegang pundak Kawa. Kawa terdiam, dia menatap ke arah jendela kamarnya, tidak ada jawaban dari bibirnya.
***
Malam ini juga Ganis dan Oma Rima segera kembali ke rumah, jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi saat mereka tiba di rumahnya, begitu juga Saga yang ternyata menyusul ke villa tadi malam. Biru sengaja meminta Bundanya untuk segera pulang.
Menu sarapan pagi sudah memenuhi meja makan, semua sudah berkumpul di tempat tersebut untuk memulai sarapan. Tidak ada percakapan penting yang terdengar, semua masih sepi. Meskipun dari hati masing-masing timbul berbagai pertanyaan berkecamuk. Terlebih Ganis, sesekali dia melirik ke arah Kawa, nampak datar.
Saga sudah rapi dengan setelan jasnya dan bersiap ke kantor seperti biasanya, hanya saja dia akan sengaja berangkat agak siang hari ini sesuai perkataan Ganis malam tadi, guna menyelesaikan masalah putranya.
Seusai sarapan, Saga meminta semua untuk berada di ruang keluarga. Di mana Biru dan Kawa duduk bersebelahan, Oma Rima dan Ganis juga duduk bersebelahan. Saga berada di depan Kawa dan Biru dengan adanya penghalang meja.
“Maafkan aku Pa, Bunda…dan Oma...sudah membuat kalian semua cemas, dan maaf sudah membuat keluarga malu dengan batalnya acara ini” Kawa membuka pembicaraan. Oma Rima tersentak mendengar ucapan cucu laki-lakinya, Ganis segera menenangkan mertuanya dengan mengelus punggung wanita itu.
“Papa tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi” ucap Saga dengan nada sedikit kecewa.
“Aku tidak tahu mengapa seolah hal buruk ini terulang” Oma Rima meremas kedua tangannya, ingatannya kembali pada peristiwa Saga dan Ganis dulu.
“Mama…” ucap Ganis lirih. “Semua akan baik-baik saja” ucap Ganis kembali menenangkan.
***
Belum sempat Saga berangkat ke kantor, orang tua Nadin beserta Nadin datang ke rumah. Oma Rima memilih untuk menyerahkan masalah ini kepada Saga dan Ganis. Dia memilih untuk menenangkan diri ke kamar.
Setelah dipersilahkan duduk di ruang tamu, Saga dan Ganis mencoba menahan perasaannya, menahan rasa kecewa dan marahnya setelah mendapat penuturan dari putranya.
Nadin nampak tersenyum menyapa kedua orang tua Kawa, dia duduk di samping Ibunya. Terlihat mencoba menenangkan dirinya.
“Pada mulanya kami berharap kita bisa menjadi satu keluarga, tapi ternyata tidak berjalan dengan baik” Saga membuka pembicaraan.
“Ehm…begini Tuan Saga” ujar Ayah dari Nadin, kemudian diikuti dengan berdehem.
“Semua sudah jelas, jadi memang kita tidak bisa menjadi keluarga” Saga menegaskan sekali lagi.
Kawa meninggalkan pembicaraan kedua orang tuanya dengan kedua orang tua Nadin. Dia memilih untuk keluar dari ruang tamu, Nadin yang sudah hafal dengan kebiasaan Kawa segera menyusul ke luar, di mana Kawa memilih berada di samping rumah.
Kawa duduk di taman sambil melihat matahari yang nampak ragu untuk muncul hari ini, Nadin memilih untuk berdiri di dekat Kawa.
“Maafkan aku” ucapnya datar. Kawa hanya terdiam mendengar ucapan maaf itu, entah itu tulus atau sekedar pemanis saja. Hatinya sudah merasa agak membaik daripada semalam, tapi dia tidak akan bisa melupakan kejadian semalam. Kawa tersenyum kecut pada akhirnya, Nadin melihat senyum itu dengan jelas.
“Masih adakah kesempatan buatku?” Tanya Nadin mengiba.
“Mungkin buat orang lain, tapi tidak buatku” jawab Kawa, tentu saja ini membuat Nadin patah hati.
“Maafkan aku” ucap Nadin kembali, kali ini disertai dengan air mata.
“Lupakan aku, dan anggap saja kita tidak pernah kenal”
“Kawaaa…..” lirihnya, kini air matanya semakin deras.
Saat tangan kita sudah tak lagi bertaut, bukan berarti aku ingin melenyapkanmu dalam sekejab, namun luka ini terlalu dalam, bahkan aku tidak sanggup mengatakannya dengan menatap matamu. Lupakan aku, kita ditakdirkan bertemu bukan untuk bersatu. Lupakan aku, dan mari kita hidup dengan jalan masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Arita Anggrahini
Lanjut thor… kerennnn… as always, you are the best
2021-11-15
0
𝐀⃝🥀👙𝐄𝐥𝐥𝖘𝖍𝖆𝖓 E𝆯⃟🚀
Dih ga taw malu bgt si nadin,, masih brani nampakin muka nya di depan Klrg kawa,, 😒
2021-11-15
0
Aida Arifin
yg sabar ya kawa....
2021-11-15
0