Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu pada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat di sampaikan awan pada hujan yang menjadikannya tiada
Phia
Ur secret admire
"Buset dah Embun kenapa jd melow gini sih?" kata fitri dibelakang telingaku.
"Bukannya tugas lu kerjain malah ngetik ngetik puisi ga jelas kaya gitu," lanjutnya sambil tersenyum miring.
"Kan udah gue kasih bahannya. Tinggal lo ketik di PC sebelah. Gue udah ngerjain sendiri semaleman loh, Ngapain lo malah kepoin gue? Tugas gue kan udah selesai," protesku membela diri sendiri.
Kita sedang dalam warnet dekat sekolah. Mengerjakan tugas kelompok. Guru bahasa Indonesia menugaskan kami membuat percakapan drama. Memikirkan dan menuliskan cerita dengan tema kebersihan. Jadi kini tugas Fitri dan dua orang temanku lainnya mengetik di warnet. Bergantian.
"Bang, PC 4 di print yah," kataku ke abang penjaga warnet.
"Ihh di print segala.. buat apaan si? Ko namanya Phia?" Tanya fitri lagi.
Aku tak memperdulikannya.
"Ciye ciyeeee... mau lo kasih siapa ciyeeee.... pake lo namain segala. Padahalkan tuh puisi dapet nyontek."
"Iya ini puisinya gue suka banget. Karya eyang Sapardi Djoko Damono," jawabku.
"Iya itu dia, baru gue mau kasih tau," lanjut Fitri.
"Yah gaya lo ngasih tau gue. Yang ada juga lo tau dari gue," timpalku. Lalu aku beranjak ke Abang penjaga warnet. Mengambil hasil print out. Ku baca berulang-ulang. Sampai aku hapal betul kata demi katanya.
"Fit, tugas udah semua diketik?"
"Udah tuh, udah lagi di print juga."
"Yaudah gue balik duluan yah. Laper gue. Kangen masakan nyokap gue."
"Halah lo bilang aja keabisan duit buat beli."
"Lo, kalo ngomong suka bener," balasku.
"Iya gue juga balik ahh," kata Badrus dan Feri teman sekelompokku. Lalu mereka pulang.
"Makan di rumah gue yuk!" ajak fitri.
"Hah apah?"
"Yuk, gratiiissss!" Ia menarik badanku.
"Kalo nolak rezeki dosa kan yah? Itu Feri ga diajak juga fit?" tanyaku basa basi.
"Udah balik." jawabnya.
Mataku menyapu seluruh ruangan sesampainya di kamar Fitri. Tidak ada yang aneh dan penting menurutku. Fitri remaja yang polos. Sepertinya ia tak punya hobi ataupun idola. Flat, seperti sendal jepit.
Selang kemudian Fitri masuk dengan nampan ditangannya. Semangkok sayur asem, dua potong paha ayam goreng, dan semangkok kecil sambel pete.
"Kita makan dikamar aja ya. Diluar lagi rame." Katanya sambil menaruh nampan di atas meja kecil dalam kamarnya.
"Kita langsung aja nih?" tanyaku. Melihat ke arah makanan yang fitri bawa. Fitri mengangguk. "Ah jadi enak."
"Gue ambil nasi ama minum dulu deh."
"Ok."
Setelah makan siang, aku dan Fitri bercerita panjang lebar. Tak terasa suara adzan ashar dari masjid dekat rumah Fitri berkumandang. Aku bergegas sholat dan pamit pulang.
*****
Selepas magrib aku duduk-duduk di teras rumah. Sambil membaca buku yang aku pinjam beberapa hari yang lalu dari perpustakaan sekolah. Baru saja dua halaman aku baca aku melihat Listy berjalan melewati rumahku.
"Listy!" kataku memanggil Listy dengan suara agak keras. "Mau kemana?" Tanyaku.
Listy berhenti dan mendekati pagar rumahku.
"Mau kedepan, nyokap gue minta cariin nasi goreng. Lo lagi apa? Nanti gue balik lagi kesini ya. Lo jangan masuk dulu," pinta Listy dan melanjutkan langkahnya.
"Hati hati Lis..!!" teriakku.
Saat-saat remajaku. Banyak ku habiskan waktu hanya di kamar atau hanya di teras rumah. Mendengarkan musik, membaca buku, menulis. Aku tidak begitu suka kumpul-kumpul dengan banyak teman. Tepatnya aku tidak begitu suka dengan keramaian. Kadang aku hanya suka menghabiskan waktu hanya di kamar terlentang di atas kasur dan menatap bintang-bintang yang ku buat sendiri. Rasanya damai.
Kulanjutkan kegiatanku membaca buku. Tidak kembali kubaca. Karna Aku terhenti pada lipatan kertas yang ku selipkan di dalam halaman buku. Kertas berisikan puisi yang aku ketik tadi siang. Kubaca ulang lagi dan lagi. Menyelami makna dari puisi tersebut.
Muhammad Khafa Hamizan. Nama itu terus berputar dikepalaku. Nama pemilik mata teduh itu. Rasa keingintahuanku tentang dirinya mengalahkan kesadaranku untuk menyembunyikan perasaan yang seharusnya tak ada orang yang tahu. Tanpa kusadari beberapa hari ini aku terus menanyakan kabarnya pada Listy.
Sebuah coretan ku buat.
Hai kamu, sekarang aku tahu namamu
Nama yang begitu mudah aku ingat
Aku tidak menyangka pertemuan yang kebetulan itu
Membuatku susah lupa
Beberapa kali aku melihatmu disana pada senja sore hari
Rasa itu semakin membiru
Semakin tak bisa ku pendam
Semakin membuatku ingin tahu
Siapa dirimu
Kau tak perlu tau aku
Aku tak berani
Aku tak pantas untukmu
Biarlah aku disini
Mengagumimu dari kejauhan
"Baca bukunya modus lu mah!" Tiba tiba Listy muncul kembali di depan pagar rumahku. Tentu saja aku kaget. "Biar dikata orang pinter. Padahal tu buku dipegang doang. Lo nya ngelamun," lanjutnya lagi. Dia memang selalu benar.
"Udah dapet nasi gorengnya?" tanyaku.
"Udah. Udah gue kasihin ke nyokap," jawab Listy.
"Yaudah sini masuk!"
Listy menurut, lalu Ia masuk dan duduk bersamaku.
"Tadi gue ketemu Khafa," tutur Listy. Seolah ia tahu isi kepalaku.
"Ngapain dia?" tanyaku dengan antusias.
"Huuuuu... mau tau banget," ejeknya.
Aku mengerucutkan bibir.
"Gantiin ustadz yang izin."
"Koq bisa? kan dia siswa." Aku mengernyitkan dahi.
"Cuma nyampein catetan Fiqih aja sih. Gak sampe sepuluh menit dia keluar. Temen-temen gue pada berisik kalo dia masuk. Maklum, idola pondok yang diliat."
"Gue mau jadi lo Lis," kataku.
Listy menatapku bingung.
"Mau bisa liat dia terus. Haaaaaaa!" lanjutku sambil berteriak.
"Embun berisikkk!" omel Listy sambil membulatkan matanya.
"Lis nginep yuk di rumah gue," ajakku.
"Gue bilang dulu ke nyokap. Lo kaya ga tau nyokap gue."
Aku mengangguk. Lantas Listy pergi. Meminta izin kepada ibunya. Ibu tiri. Listy sudah lama dititipkan oleh ibu kandungnya sendiri. Dititipkan pada ibu tirinya. Istri muda ayahnya yang seorang sesepuh disini. Seperti pada cerita cerita ibu tiri lainnya. Ibu tiri Listy tak kalah mengerikan. Ia tak segan menyiksa Listy dengan kejam ketika Listy tak sengaja berbuat salah. Ia sudah biasa menerima pukulan, cubitan bahkan dijambak sekalipun.
Tapi Listy tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Tak mudah menangis. Tidak seperti aku. Yang kehilangan sebotol tip ex di kelas saja bisa meneteskan air mata.
Ihh! lebaynya..
Aku berjalan mendekati pagar. Melihat kanan kiri jalanan yang mulai sepi. Kulihat ada Dani seorang diri berjalan melewati halaman rumahku.
"Dani!" Aku memberanikan diri.
"Eh Embun," jawab dani dengan sopan.
Aku memang sedikit berbeda dengan yang lain. Aku jarang bergaul. Temanku hanya Listy. Jadi dani terlihat sangat canggung ketika aku memanggilnya.
"Biasa aja Dan, gue juga kaya kalian kok. Makan nasi."
Dani tersenyum.
"Ngapain lo disitu?" Tanyaku menyelidik.
"Gu-gu-gueee.. nunggu Indah...i-iya Indah," jawab Dani terbata.
Aku membulatkan bibirku menyerupai huruf O.
"Yaudah, gue masuk dulu," kataku sambil membalikkan badan hendak masuk ke rumah. Ku lihat Listy juga belum kembali. Mungkin ia tak mendapat izin fikirku.
"Embun!" Dani tiba tiba memanggilku. Aku refleks menoleh. Tiba tiba ia ada tepat di depan pagar rumahku. "Ada salam," kata Dani.
"Daaaarrriii?" Tanyaku ragu.
"Dari...." dani menggaruk lehernya yang sepertinya tidak gatal. Wajahnya berubah aneh. "Dari temen... temen.. iya temen," lanjut Dani sekenanya.
"Dari temen temen? Temen temen siapa?" tanyaku semakin bingung dan sedikit tertawa. Lucu melihat ekspresi Dani.
Dani semakin aneh. Ia tak menggubris pertanyaanku. "Eh tu indah. Gue kesana dulu ya," pamit Dani, lalu pergi.
Aku menggelengkan kepala bingung dengan sikap Dani yang aneh.
Aku kembali berbalik berjalan masuk ke rumahku.
"Embun!"
Aku menoleh lagi dan kali ini ada Listy disana. Senyum bahagia.
"Boleh?" tanyaku.
"Boleeehh.." jawab Listy bahagia.
Karna hari sudah semakin malam aku dan Listy langsung masuk kamarku. Kamar yang hanya berukuran 3x4. Kamar tempat teristimewa bagiku. Disini semuanya aku tuangkan. Sedih, senang, bingung dan semua yang kurasakan. Didinding kiri aku tempel poto-poto bersama teman-temanku di sekolah. Dibagian atas kamarku aku tempel bintang-bintang kecil yang aku buat sendiri dari kertas origami. Jadi, jika tengah malam aku ingin melihat bintang aku tidak perlu pergi keluar.
Bukannya tidur aku malah ngobrol panjang lagi bersama Listy.
Tapi aku banyak menjadi pendengar setia Listy. Mendengarkan unek-unek Listy. Tentang keluarganya. Tentang dirinya. Juga tentang sekolahnya.
Sebenarnya ada yang selalu ku tunggu dari setiap cerita Listy di sekolah. Khafa. Ya klo bukan dia siapa lagi. Tapi sayang, Listy tak banyak tahu tentangnya. Karena mereka beda tingkatan. Beda gedung kelas. Beda juga ustadz atau ustadzah pembimbingnya.
"Lis, tadi ada si Dani," kataku memulai. Aku masih terlentang memandang langit langit kamarku.
"Terus?" Listy membalikan badannya ke arahku.
"Terus dia bilang ada salam dari temennya. Tapi kaya ragu ngomongnya," jawabku masih diposisi yang sama menatap Listy.
Ia hanya senyum-senyum mencurigakan. "Kenapa sih lo malah senyum senyum gtu?" selidikku.
"Ngga. Terus terus? Temennya yang mana? Lo nanya gak?" tanya Listy.
Aku menggeleng.
"Ga jelas gitu si dani. Mabok si Indah kali," pungkasku. "Udah lah tidur yuk.!" Aku mengambil guling kesayanganku lalu memejamkan mata.
"Eh gue liat liat buku lo ya.. belum ngantuk nih."
"Hemmmn," jawabku tanpa membuka mata lagi.
Listy bangun dan duduk di depan meja belajarku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
dapet salam dari khafa deh kayaknya.
2022-04-05
0
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
namanya bagus, belum lihat orangnya aja udah kepincut 😍😅
2022-04-05
0
Radin Zakiyah Musbich
Ceritanya seru kak 👍👍👍
ijin promo ya 🐞🐞🐞
jgn lupa baca novel dg judul "HITAM"
kisah tentang pernikahan yg tak diinginkan,
jangan lupa tinggalkan like and comment 🐞🐞🐞🙏
2021-01-04
0