Biarkanku melihatmu dari kejauhan.
Agar aku tak pernah tau rasa apa yang kau balaskan untukku.
.
.
.
.
.
🌸🌸🌸
Sore itu seperti biasa. Aku masih menyelesaikan tugasku membantu ibu. Menyapu rumah, merapikan kamarku dan tugas-tugas kecil lainnya. Aku selalu melakukannya hampir setiap hari. Bukan karna rajin. Tapi aku hanya menjalankan perintah.
Sesekali aku keluar rumah. Menengadah melihat langit. Memastikan sore ini langit cerah. Dan aku bisa pergi ke lapangan tempat aku biasa berolah raga sore atau sekedar melihat teman-teman sekampungku berolah raga.
"Embun.. hayuuu!! " teriakan Listy tepat di depan rumahku.
"Ihh kapan datang lo? Tau tau nongol depan situ."
Listy memang selalu menjemputku untuk pergi ke lapangan. Hampir setiap sore pada sabtu dan minggu kami habiskan disana.
"Udah hayuuu!!"
"Samangat amat lo mau liat Arif," jawabku mengejek. Arif teman sekelas Listy.
"Ihhh apaan sih lo. Bukannya elo ya? " Listy mendorong pundakku.
Aku memang selalu semangat saat sore datang. Semangat olah raga? Bukan. Ada yang selalu aku ingin lihat disana akhir akhir ini.
Lapangan tujuan kami saat itu adalah lapangan milik yayasan pesantren tempat Listy bersekolah. Namun di hari-hari tertentu siapa saja boleh memakainya untuk keperluan positif dan berpakaian sopan tentunya.
Meski sekolah dilingkungan pesantren, Listy sendiri belum menutup auratnya secara menyeluruh. Padahal ia sering kali di tegur ustadz atau ustadzah pembimbingnya.
Aku dan Listy sendiri adalah penduduk asli kampung sebelah pesantren. Aku satu tingkat dengan Listy. Kelas 9. Bedanya, aku sekolah di sekolah Negri.
Lingkungan pesantren selalu membuatku nyaman. Deretan pohon Pinus masih tertata rapi disisi kanan kiri jalanan. Sejuk dan tenang. Jarang sekali terdengar suara suara deruman kendaraan bermotor.
Aku sempat beberapa saat menjadi murid dari santriwati kakak kelas Listy. Aku pernah merasakan asyiknya belajar mengaji dengan mereka. Bahkan aku sempat beberapa kali menerobos masuk ke dalam asrama laki-laki.
Sebenarnya, aku bukanlah gadis remaja yang nakal. Hanya saja, aku sedikit bar bar, ups. Kak Hafizh guru pembimbing kami pernah sampai kewalahan menghadapi aku dan teman-teman saat itu.
Sampai saat aku sekolah tingkat SMP, Aku lulus dari tingkatan mengaji. Dan aku, sudah tidak lagi mengaji di lingkungan pesantren.
Sekitar lima menit aku berjalan dengan Listy. Bertemu beberapa teman yang dengan tujuan sama. Aku mencari posisi nyaman untuk duduk. Bukan berolah raga seperti mereka. Aku tidak begitu suka dengan olah raga. Toh di sekolah aku sudah berolah raga. Selama satu jam dalam seminggu. Itu sudah cukup menurutku. Cukup melelahkan.
Ketika teman-temannya yang lain sudah terlihat sibuk berolah raga sore. Aku masih duduk di pinggir lapangan. Ada yang sedang aku lihat. Sesekali aku tersenyum sendiri. Yang aku lihat saat ini adalah laki laki berseragam putih abu abu. Yang beberapa hari lalu aku lihat berjalan dengan Dani. Teman sekampungku.
"Woyy.. mau ngapain kesini?" tanya Listy penghalangi pemandangan yang sejak tadi aku lihat.
"Awas napa Lis, Gue lagi ngerasain angin," Kataku sambil menepis tubuh Listy yg berdiri tepat dihadapanku. Hingga tubuh Listy bergeser.
Udara terasa sejuk. Mungkin karena sudah mau masuk musim hujan. Sesekali angin datang menerpa wajahku. Matahari tidak begitu menampakan dirinya. Sungguh cuaca yang selalu aku rindu.
Daerahku adalah daerah dataran tinggi di kabupaten Bogor. Namun sebagian anak-anaknya sudah berbahasa Indonesia. Aku misalnya. Karena bahasa Sunda yang di pakai disini cukup kasar. Di tambah ayahku yang orang Betawi.
"Lo liatin siapa sih?" selidik Listy. "Gue perhatiin Lo liatin kesana aja." Listy menunjuk dengan arah pandangnya.
Iya Lis, itu siapa sihhh. Ko gue ga bisa lepas dari kemaren ngeliatin dia.
"Heehhh!!! Malah bengong." Listy mengagetkanku dan hampir jatuh ke samping karna dorongan Listy.
"Ngeliatin Darwin lo nyak? Apa Yahya? Jangan itu mah punya si Nina. Katanya Yahyanya juga suka," cerocos Listy.
Lapangan cukup besar. Disebelah lapangan besar yg kami pakai ada lapangan basket. Disana ada sekumpulan santriwan Alliyah atau setingkat SMA setiap sore berolah raga juga. Mereka biasanya mulai kumpul ba'da ashar.
"Jadi Yahya jadian ama Nina?" tanyaku tiba-tiba.
"Gak lah. Cari mati itu namanya," jawab Listy.
"Oo kirain,"
"Lo liatin siapa sih Embun..?" Listy semakin kepo.
Aku tak menjawab. Kemudian Listy pergi meninggalkanku yang masih duduk. Ia kembali bergabung dengan teman teman yang lain untuk bermain bola voly.
Aku melanjutkan kegiatanku yang sejak datang tadi hanya duduk dengan satu arah pandang. Mataku tak bisa lepas dari satu santriwan yang sempat aku lihat sepulang sekolah.
Tanpa sengaja salah seorang dari sekelompok santriwan menendang bola ke arahku begitu cepat.
Buggggg!!!
Gelap.
.
.
.
.
.
.
Ku buka mataku perlahan.
"Uhuk uhuk!" Dadaku sakit. Aku ambil nafas secepat-cepatnya. Sesak. Listy memberiku minum yg tadi ia bawa dari rumah. Sedikit lega. Kanan dan kiri ku banyak sekali teman-teman berkumpul.
"Sakit Lis, dada gue! Siapa yg tadi nendang bola ke gue?" Aku meringis. Tak ada yg menjawab. Di hadapanku ada sosok merasa bersalah.
"Maaf yaa.. maaf saya benar-benar ga sengaja. Maaf," katanya.
Setelah ku atur napas. "Elo?" Aku menunjuk pada satu santriwan. "Sakit tau!" bentakku.
"Iya maaf. Ga sengaja. Maafin saya." Wajahnya memelas.
Aku hanya bisa bersandar di bawah pohon. Menenangkan sesak napas yang ku rasakan. Sementara itu Listy membawa minyak kayu putih. Mengoleskan ke dada, telinga dan keningku.
"Makasih Lis, udah enakan koq."
"Lo mah sih. Kesini bukan olah raga malahan bengong di belakang gawang. Udah tau ada yg maen bola," cerocos Listy dengan logat sundanya yang unik.
Tak lama kemudian Irgi datang membawa motor.
"Tumben Lo bawa motor?"
"Iya lah. Nyokap Lo panik. Tadi Dani ke rumah ngasih tau lo pingsan," tuturnya.
"Oh. Dani?"
"Iya. Emang Lo ga tau?"
" Ya ngga lah kan gue pingsan."
"Maksud gue ga ada yg ngasih tau Lo tadi?"
"Ga. Buruan balik gue lemes."
*****
Malam minggu.
Listy datang ke rumahku adalah kegiatan rutin untuknya di malam Minggu. Kami bercerita banyak hal. Mulai dari sekolah masing masing, pelajaran, kegiatan sekolah dan... Cowok tentunya.
Sesekali kita pergi ke depan jalan. Untuk sekedar membeli pempek langganan kita. Kemudian makan bareng di depan rumahku. Tapi kali ini kita hanya duduk di pinggir jalan tepat depan rumahku. Tanpa cemilan apapun.
Ditengah obrolan aku dan Listy. Tak ku sangka Dani berjalan melewati rumahku bergandengan tangan dengan Indah, persis orang yang mau menyebrang jalan.
"Lis, itu si Dani pacaran ama si Indah?" celetukku pada Listy.
"Iya, udah lama. Lo baru tau?"
"Ga di marahin ama ustadz Mahfud?" tanyaku menyelidik. Ustadz Mahfud adalah ustadz pondok yang rumahnya di kampung yang sama dengan tempat ku tinggal.
"Si ustadz ga tahu kali," jawab Listy.
"Lah, udah terang terangan gitu masa iya ga tau Lis?" tanyaku lagi.
"Kan si Dani bukan santri asli. Dia mah gadungan kaya gue. Ga mondok, Jadi kalo diluar pondok bukan tanggung jawab pondok lagi. Tapi tanggung jawab ORANG TUANYA. Gitu kata ustadzah gue mah. Ngelarang mah udah pasti, kan emang haram hukumnya. Apalagi dua-duaan di tempat gelap. Nanti yang ketiganya setan," terang Listy.
Aku mengangguk paham.
"Emang kenapa sih nanya nanya soal si Dani pacaran? Lo mau pacaran juga ya ama temen si Dani?" tanya Listy menyelidik.
"Iya lis, eehhhh ngga, kan gak boleh!" jawabku pelan.
"Sama yang mana si, kali aja gue tau namanya." Listy makin menyelidik. "Mau di salamin ga?" lanjutnya sambil tersenyum jahil.
"Listy..... engga ihhh becanda tau!" Kilahku.
Aku terdiam.
"Ciyeeee mikir.. mikir naon si?" Listy terus menyalidik.
"Lis, emang di pondok aturannya ketat banget ya?"
"Iya. Tapi ada aja yang bandel. Lo tau ngga kaka kelas gue Farhan?"
"Yang botak?"
"Iya, dia tuh botak hukuman. Tuh dia sering ketauan pacaran ama anak kampung sebelah. Makanya dia botak mulu. Hukuman itu. Belum lagi hukuman lain. Bersihin kamar mandi lah, lari keliling lapangan upacara lah. Loba nu laenna," tutur Listy.
"Ah si Farhan mah emang seneng di botakin. Itung itung cukur gratis," jawabku.
"Ya ga tau juga. Dia sering banget gue liat lari keliling lapangan pas tengah hari," lanjut Listy lagi.
"Olah raga kali dia. Biar sehat," kelakarku sambil bergaya popeye.
"Gila lo! panas-panas, ihh," balasnya. "jadi, siapa Embun?"
"Gak tahu Lis, kemaren gue papasan dijalan. Gue balik sekola. Dia ama Dani sama dua temennya. Ga tau gue namanya satu satu." Akhirnya aku memulai cerita. "Dia ngeliatin gue beda dari yang laen. Gue ga tau sejak hari itu gue kaya orang gila. Yang gue liat pas buka ataupun nutup mata gue ya cuma muka dia." lanjut ku.
"Ciri cirinya?"
"Lo inget ga? Yang waktu itu dilapangan di lempar bola sama si Dani?" Aku melihat Listy yang kali ini benar benar menjadi pendengar setia.
"Khafa? Itu mah Khafa. Yang bersih kulitnya? Putih. Gak putih putih amat sih. putihan kamu,"
Aku mengangguk.
"Tinggi?"
Aku mengangguk lagi.
"Stereuk? Aahhh naon si.. berisi gitu badannya. Sispek gitu kata orang kota mah," tebak Listy.
Aku mengernyitkan dahi.
"Alisnya tebel? "
"Iya iya."
"Ahh iya itu mah Khafa. Tingginya sama ama Darwin deh. Lo tau kan Darwin?"
Aku mengangguk.
"Iya itu mah Khafa, MUHAMMAD KHAFA HAMIZAN yang waktu itu ngasih napas buatan ke lo." Listy terdiam. "Ya Allah Embun?! Lo suka ama Khafa?" Listy menatap ku tajam.
Jadi namanya Khafa. Nama orang yang punya mata sejuk itu. Dia ngasih napas buatan ke aku?
"Yang bener Lis? Dia ngasih napas buatan ke gue?"
"Iyaaa. koq bisa sih?"
Aku membalas tatapan Listy.
"Ssstttt... Jangan Ge eR dulu, dia terpaksa ngelakuin itu. Napas lo ga ada tadi pas kena bola. Orang pada panik. Cuma dia anu cepet ambil tindakan. Alhamdulillah lo ketolong. Kalau gak ada Khafa gak tahu kamu gimana sekarang," jelas Listy.
"Yah Listy bibir gue udah ga perawan dong?" Saat itu yang terbayang olehku adalah ketika bibirnya menyentuh bibirku. Dengan perasaan yang sulit ku jelaskan, Aku menatap nanar bayanganku di mata Listy.
"Embun. Dia ngasih napas buatan. Bukan nyium lo. KeGe-eRan kamu mah." cerca Listy.
"Eh jadi lo suka sama kak Khafa? Ihhh pas banget," ejeknya.
"Pas apanya?"
"Pas tadi dia ngasih napas buatan. Bukan kak Abi yang nendang bola ke arah Lo."
"Iya. Kenapa ya?"
"Jodoh lo embun.. hhahaha" Listy mengejek.
"Ih Lis, apaan sih."
"Anak sholeh dia mah. Kesayangan para ustazd. Siap siap patah hati!" Listy menepuk-nepuk punggungku.
"Kok ngomongnya gitu? Gue emang kenapa? Urakan? Aaahhh iya sih, bar bar." Aku menertawakan diri sendiri.
"Dia tuh santri baik-baik. Ga pernah langgar aturan. Prestasinya bagus. Hapalannya bagus. Dan satu!" Listy tiba-tiba berhenti.
"Kenapa??"
"Dia ga kenal PACARAN!!" Suara Listy lebih keras dan mendekatkan mulutnya ke telingaku.
Aku menghela napas.
"Sekalipun kak Khafa suka sama lo, lo ga bakalan bisa deh kaya Dani sama indah," lanjut Listy.
"Apaan sih Listy.. lo kira gue mau kaya gitu apahh?" kataku sebal.
"Ya mungkin," jawab Listy.
Malam menunjukan pukul 21.00. WIB. Aku sudah di peringatkan ibu agar segera masuk rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
asyik ceritanya nih, jadi berasa muda lagi kita 😀☺️ gibahin para cowok
2022-04-05
0
Radin Zakiyah Musbich
crazy up thor....
ijin promo ya 🙏🙏🙏
jgn lupa mampir di novelku dg judul "AMBIVALENSI LOVE" 🍔🍔🍔
kisah cinta beda agama 🥰
jgn lupa tinggalkan jejak ya 🙏☺️
2020-10-20
0
jeje
dikira khafka ternyata khafa
2020-08-06
0