"Eh tapi, Lut. Gue tanya serius nih. Apa lo nggak merasa kayak ... gimana, ya? Terpaksa gitu?" tanya Aldo.
Lutfan hanya mengangkat kedua bahunya.
"Lo kan bisa berontak, Lut. Yang nikah nanti kan elo, bukan kakek lo, bukan nyokap lo sama keluarga lo. Jadi ya hak lo juga milih ceweknya."
Lutfan mengangguk-angguk. "Hm ... lo bener."
"Lagian lo masih muda, Lut. Masa tiba-tiba aja lo nikah. Gila banget! Belum lagi ... lo kan tinggal di kota, cari lah Lut nggak pa-pa." Aldo mengambil kentang MCD yang dibelinya sebelum berangkat ke kost-an Lutfan. "Gue yakin kakek lo nggak mungkin ngirim mata-mata, Lut. Yakin gue."
"Nggak tertarik gue," ujar Lutfan singkat dengan memutar-mutar kursi kerjanya
Alis kiri Aldo terangkat. "Kurang cantik anak-anak sini? Upasama High School ceweknya cakep-cakep. Mau gue kenalin?"
"Nggak."
"Kenapa, heh?"
Lutfan tersenyum miring. "Terlalu kaya. Gue nggak suka. Orang elit pada nakutin, Do."
"Gila lo!---eh, tapi emang ada benernya sih. Gue sebagai teman anaknya Om Gautama aja agak-agak takut." Aldo menjeda tiga detik dan kembali berujar, "Atau lo sebenarnya ... lo ngerasa pergaulan di sini agak-agak gitu 'kan? Jadi lo ngeraguin cewek-ceweknya. Bener, nggak?"
Lutfan duduk tegak, menghentikan putaran kursi menghadap pada Aldo. "Bentar-bentar. Lo nyuruh gue nilai pergaulan lo sama anak-anak sini?"
"Anggep aja gitu."
Lutfan berdecak. "Gila lo!"
"Why?"
"Mungkin otak lo agak nge-lag. Gue ingetin sekali lagi silsilah keluarga gue. Kakek gue punya pesantren, Umma gue punya panti asuhan, Bibi-bibi gue ustadzah, adik-adik gue anak pondok semua."
Aldo hanya mengangguk-angguk dan tersenyum jahil.
"Jadi lo bener mau gue nilai berdasarkan agama dan segala hal-hal baik yang masih utuh di otak gue ini?"
Aldo mengangguk. "Yakin."
"Siap lo denger ceramah gue?"
"Siap."
Lutfan kembali bersandar pada punggung kursi dan berdecak. "Salah makan, lo? Gila!"
Tawa Aldo menggema di seisi ruang. Namun berhenti detik di mana penggaris plastik melayang mengenai bibir lelaki itu.
"Sorry, sorry. Gue ngakak banget. Sumpah." Tiba-tiba saja raut wajah Aldo berubah. "Eh, tapi gue benar-benar salut sama lo, Lut."
"Salut apa lagi? Lo nggak usah bacot terus deh, Do!"
Aldo mengambil kentang lagi. "Gue salut lo nggak sampe ke bawa arus. Lo kek ... ngerti bedanya yang benar sama yang salah."
"Hm. Wajar, otak gue masih waras soalnya," ujar Lutfan.
"Tapi serius. Seenggaknya kalau di kost-an lo gue jadi inget sholat." Aldo tiba-tiba saja tertawa sendiri. Namun tawa itu terdengar aneh, terasa sangat menyakitkan. "Kuping gue juga nggak panas dengerin orang-orang yang marah-marah nggak jelas."
"Bahkan Lut ... gue lebih baik dengerin lo ceramah. Gue yakin kuping gue nggak bakalan panas," imbuh Aldo.
Lutfan mengibas tangannya di udara. "Udah-udah lo nggak usah bahas yang gini-gini. Lo mau kita nangis bareng, heh?"
Aldo terbahak-bahak. "Dah lah!"
Gawai milik Lutfan di meja tiba-tiba saja berbunyi. Pesan singkat masuk dari: Umma. Yang ia beri nama sedikit aneh. Ah, tidak-tidak, tidak aneh.
Istimewa.
Supaya otaknya selalu ingat. Siapa orang yang benar-benar patut di cinta.
Yang Patut Di cinta
Udah makan, Nak?
^^^Sampun, Umma^^^
Yang Patut Di cinta
Makan apa?
Foto?
^^^Ya Allah Umma, lupa gantengnya Umma ini nggak fotoin menunya. Tadi Lutfan makan Ayam bakar.^^^
Yang Patut Di cinta
Besok-besok jangan lupa fotoin
Kamu tahu Umma khawatir, kan?
Umma takut kamu bohong
^^^Lutfan nggak pernah bohong ke Umma^^^
Yang Patut Di cinta
Umma percaya
Yaudah, istirahat kamu.
Layar gawai Lutfan matikan.
"Siapa? Nyokap lo, ya?"
"Hm."
"Perhatian banget. Iri gue," ucap Aldo.
Tatapan Lutfan berubah tajam. "Ngomong sekali lagi kayak gitu. Gue usir lo dari sini."
"Oke. Gue diem."
...🌺...
Umma Sarah bilang, bukan salahnya harus terlahir seperti ini. Semua adalah takdir. Ketetapan hidup yang harus ia jalani. Lagi-lagi jika ia bilang tak sanggup pun tetap harus sanggup dan tetap harus berkata, bahwa diri ini akan baik-baik saja.
Bertopeng, lagi. Sampai diri puas.
Menyedihkan.
Fakta tentang kelahirannya membuat orang-orang enggan bersama dengannya. Menyapa pun tak akan. Apa lagi duduk bersama dan mengobrol.
Itu dulu.
Maka sekarang tak salah bukan ia membangun dinding yang begitu tebal dan tinggi? Tak ingin teman, tak ingin juga orang-orang tersayang. Cukup Umma Sarah di hidupnya saja.
Lagi pula saat ia masih kecil bersikap ramah pada sesama teman pun tak di hirau kan. Ia tidak sakit hati. Namun apalah arti senyum ceria itu jika tak disambut bahagia oleh yang lain?
Kling!
Siapa? batin Mardiyah dengan membuka layar gawainya.
Ustazah Aini Pesantren
Mardiyah, nanti bisa ikut Mbak ndak?
^^^Bisa, Ustazah.^^^
Ustazah Aini Pesantren.
Mbak mau ke pasar, beli telur
Menu di pesantren besok itu soalnya
^^^Jam berapa, Ustadzah?^^^
Ustazah Aini Pesantren
Bukanya kan sore, nanti sekitar jam 4an
^^^Tolong ustazah nanti ingatkan saya lagi^^^
Ustazah Aini Pesantren
Iya, Mar
Gawai Mardiyah letakkan kembali di samping. Lagi-lagi di tatapannya atap panti asuhan ini---tempat bernaung semenjak kecil, tak berubah. Warna cat tetap sama, meja dan kursi sama, mungkin yang telah berubah dirinya.
Ia telah tumbuh dewasa.
Sesaat ia ingin mengambil pena di laci terakhir, netranya menangkap foto kusam yang hampir tersobek. Umma Sarah bilang, itu foto beliau, Ummi Salamah, dirinya, Lutfan dan juga Jafar. Jika di lihat-lihat nampak seperti keluarga, namun nyatanya ia tak termasuk.
Kalau nggak ada foto Umma Sarah, udah pasti ku buang, batin Mardiyah---dengan mendorong laci kasar. Tak jadi ia mengambil pena, lebih memilih merebahkan diri lagi.
Kling!
Gawainya berbunyi kembali.
"Siapa lagi?" gumamnya.
Nyonya Harsa Jayantaka
Mardiyah, hari apa kamu senggang?
Netra Mardiyah melebar. Ini benar-benar serius, pemilik Toko Bunga Harsa menghubunginya secara pribadi. Ia sangat berbedar-debar. Sebagai pekerja biasa dengan Kak Devina saja ia jarang-jarang bicara, ini tiba-tiba saja Nyonya besar Jayantaka menghubunginya. Sulit di percaya.
^^^Setiap hari minggu saya meminta libur, Nyonya.^^^
Nyonya Harsa Jayantaka
Kamu, Devina, Regita bisa ikut saya?
^^^Kalau saya boleh tahu ke mana, Nyonya?^^^
Nyonya Harsa Jayantaka
Tentu saja mengirim bunga, Mar.
^^^Maksud saya lokasinya, Nyonya^^^
Nyonya Harsa Jayantaka
Lazuardi hotel
Saya sediakan baju untuk kalian bertiga
^^^Baik, Nyonya^^^
Nyonya Harsa Jayantaka
Tetapi acara itu dilaksanakan hari Senin malam, dan panti asuhanmu itu cukup jauh. Jadi saya minta kamu menginap saja di toko
^^^Baik, Nyonya Harsa^^^
"Untungnya sekarang minggu."
Mardiyah terdiam sejenak dan menghela napas pean. "Tapi ... harus izin ke Umma dulu. Semoga beliau ngizinin."
^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments