Bagian 5

"Eh tapi, Lut. Gue tanya serius nih. Apa lo nggak merasa kayak ... gimana, ya? Terpaksa gitu?" tanya Aldo.

Lutfan hanya mengangkat kedua bahunya.

"Lo kan bisa berontak, Lut. Yang nikah nanti kan elo, bukan kakek lo, bukan nyokap lo sama keluarga lo. Jadi ya hak lo juga milih ceweknya."

Lutfan mengangguk-angguk. "Hm ... lo bener."

"Lagian lo masih muda, Lut. Masa tiba-tiba aja lo nikah. Gila banget! Belum lagi ... lo kan tinggal di kota, cari lah Lut nggak pa-pa." Aldo mengambil kentang MCD yang dibelinya sebelum berangkat ke kost-an Lutfan. "Gue yakin kakek lo nggak mungkin ngirim mata-mata, Lut. Yakin gue."

"Nggak tertarik gue," ujar Lutfan singkat dengan memutar-mutar kursi kerjanya

Alis kiri Aldo terangkat. "Kurang cantik anak-anak sini? Upasama High School ceweknya cakep-cakep. Mau gue kenalin?"

"Nggak."

"Kenapa, heh?"

Lutfan tersenyum miring. "Terlalu kaya. Gue nggak suka. Orang elit pada nakutin, Do."

"Gila lo!---eh, tapi emang ada benernya sih. Gue sebagai teman anaknya Om Gautama aja agak-agak takut." Aldo menjeda tiga detik dan kembali berujar, "Atau lo sebenarnya ... lo ngerasa pergaulan di sini agak-agak gitu 'kan? Jadi lo ngeraguin cewek-ceweknya. Bener, nggak?"

Lutfan duduk tegak, menghentikan putaran kursi menghadap pada Aldo. "Bentar-bentar. Lo nyuruh gue nilai pergaulan lo sama anak-anak sini?"

"Anggep aja gitu."

Lutfan berdecak. "Gila lo!"

"Why?"

"Mungkin otak lo agak nge-lag. Gue ingetin sekali lagi silsilah keluarga gue. Kakek gue punya pesantren, Umma gue punya panti asuhan, Bibi-bibi gue ustadzah, adik-adik gue anak pondok semua."

Aldo hanya mengangguk-angguk dan tersenyum jahil.

"Jadi lo bener mau gue nilai berdasarkan agama dan segala hal-hal baik yang masih utuh di otak gue ini?"

Aldo mengangguk. "Yakin."

"Siap lo denger ceramah gue?"

"Siap."

Lutfan kembali bersandar pada punggung kursi dan berdecak. "Salah makan, lo? Gila!"

Tawa Aldo menggema di seisi ruang. Namun berhenti detik di mana penggaris plastik melayang mengenai bibir lelaki itu.

"Sorry, sorry. Gue ngakak banget. Sumpah." Tiba-tiba saja raut wajah Aldo berubah. "Eh, tapi gue benar-benar salut sama lo, Lut."

"Salut apa lagi? Lo nggak usah bacot terus deh, Do!"

Aldo mengambil kentang lagi. "Gue salut lo nggak sampe ke bawa arus. Lo kek ... ngerti bedanya yang benar sama yang salah."

"Hm. Wajar, otak gue masih waras soalnya," ujar Lutfan.

"Tapi serius. Seenggaknya kalau di kost-an lo gue jadi inget sholat." Aldo tiba-tiba saja tertawa sendiri. Namun tawa itu terdengar aneh, terasa sangat menyakitkan. "Kuping gue juga nggak panas dengerin orang-orang yang marah-marah nggak jelas."

"Bahkan Lut ... gue lebih baik dengerin lo ceramah. Gue yakin kuping gue nggak bakalan panas," imbuh Aldo.

Lutfan mengibas tangannya di udara. "Udah-udah lo nggak usah bahas yang gini-gini. Lo mau kita nangis bareng, heh?"

Aldo terbahak-bahak. "Dah lah!"

Gawai milik Lutfan di meja tiba-tiba saja berbunyi. Pesan singkat masuk dari: Umma. Yang ia beri nama sedikit aneh. Ah, tidak-tidak, tidak aneh.

Istimewa.

Supaya otaknya selalu ingat. Siapa orang yang benar-benar patut di cinta.

Yang Patut Di cinta

Udah makan, Nak?

^^^Sampun, Umma^^^

Yang Patut Di cinta

Makan apa?

Foto?

^^^Ya Allah Umma, lupa gantengnya Umma ini nggak fotoin menunya. Tadi Lutfan makan Ayam bakar.^^^

Yang Patut Di cinta

Besok-besok jangan lupa fotoin

Kamu tahu Umma khawatir, kan?

Umma takut kamu bohong

^^^Lutfan nggak pernah bohong ke Umma^^^

Yang Patut Di cinta

Umma percaya

Yaudah, istirahat kamu.

Layar gawai Lutfan matikan.

"Siapa? Nyokap lo, ya?"

"Hm."

"Perhatian banget. Iri gue," ucap Aldo.

Tatapan Lutfan berubah tajam. "Ngomong sekali lagi kayak gitu. Gue usir lo dari sini."

"Oke. Gue diem."

...🌺...

Umma Sarah bilang, bukan salahnya harus terlahir seperti ini. Semua adalah takdir. Ketetapan hidup yang harus ia jalani. Lagi-lagi jika ia bilang tak sanggup pun tetap harus sanggup dan tetap harus berkata, bahwa diri ini akan baik-baik saja.

Bertopeng, lagi. Sampai diri puas.

Menyedihkan.

Fakta tentang kelahirannya membuat orang-orang enggan bersama dengannya. Menyapa pun tak akan. Apa lagi duduk bersama dan mengobrol.

Itu dulu.

Maka sekarang tak salah bukan ia membangun dinding yang begitu tebal dan tinggi? Tak ingin teman, tak ingin juga orang-orang tersayang. Cukup Umma Sarah di hidupnya saja.

Lagi pula saat ia masih kecil bersikap ramah pada sesama teman pun tak di hirau kan. Ia tidak sakit hati. Namun apalah arti senyum ceria itu jika tak disambut bahagia oleh yang lain?

Kling!

Siapa? batin Mardiyah dengan membuka layar gawainya.

Ustazah Aini Pesantren

Mardiyah, nanti bisa ikut Mbak ndak?

^^^Bisa, Ustazah.^^^

Ustazah Aini Pesantren.

Mbak mau ke pasar, beli telur

Menu di pesantren besok itu soalnya

^^^Jam berapa, Ustadzah?^^^

Ustazah Aini Pesantren

Bukanya kan sore, nanti sekitar jam 4an

^^^Tolong ustazah nanti ingatkan saya lagi^^^

Ustazah Aini Pesantren

Iya, Mar

Gawai Mardiyah letakkan kembali di samping. Lagi-lagi di tatapannya atap panti asuhan ini---tempat bernaung semenjak kecil, tak berubah. Warna cat tetap sama, meja dan kursi sama, mungkin yang telah berubah dirinya.

Ia telah tumbuh dewasa.

Sesaat ia ingin mengambil pena di laci terakhir, netranya menangkap foto kusam yang hampir tersobek. Umma Sarah bilang, itu foto beliau, Ummi Salamah, dirinya, Lutfan dan juga Jafar. Jika di lihat-lihat nampak seperti keluarga, namun nyatanya ia tak termasuk.

Kalau nggak ada foto Umma Sarah, udah pasti ku buang, batin Mardiyah---dengan mendorong laci kasar. Tak jadi ia mengambil pena, lebih memilih merebahkan diri lagi.

Kling!

Gawainya berbunyi kembali.

"Siapa lagi?" gumamnya.

Nyonya Harsa Jayantaka

Mardiyah, hari apa kamu senggang?

Netra Mardiyah melebar. Ini benar-benar serius, pemilik Toko Bunga Harsa menghubunginya secara pribadi. Ia sangat berbedar-debar. Sebagai pekerja biasa dengan Kak Devina saja ia jarang-jarang bicara, ini tiba-tiba saja Nyonya besar Jayantaka menghubunginya. Sulit di percaya.

^^^Setiap hari minggu saya meminta libur, Nyonya.^^^

Nyonya Harsa Jayantaka

Kamu, Devina, Regita bisa ikut saya?

^^^Kalau saya boleh tahu ke mana, Nyonya?^^^

Nyonya Harsa Jayantaka

Tentu saja mengirim bunga, Mar.

^^^Maksud saya lokasinya, Nyonya^^^

Nyonya Harsa Jayantaka

Lazuardi hotel

Saya sediakan baju untuk kalian bertiga

^^^Baik, Nyonya^^^

Nyonya Harsa Jayantaka

Tetapi acara itu dilaksanakan hari Senin malam, dan panti asuhanmu itu cukup jauh. Jadi saya minta kamu menginap saja di toko

^^^Baik, Nyonya Harsa^^^

"Untungnya sekarang minggu."

Mardiyah terdiam sejenak dan menghela napas pean. "Tapi ... harus izin ke Umma dulu. Semoga beliau ngizinin."

^^^

Episodes
1 Bagian 1 : Sama-sama menyakitkannya.
2 Bagian 2 : Penderitaan.
3 Bagian 3 : Surat Pengakuan
4 Bagian 4
5 Bagian 5
6 Bagian 6
7 Bagian 7 (1)
8 Bagian 7 (2)
9 Bagian 7 (3)
10 Bagian 8
11 Bagian 9
12 Bagian 10
13 Bagian 11 (1)
14 Bagian 11 (2)
15 Bagian 12 (1)
16 Bagian 12 (2)
17 Bagian 13
18 Bagian 14
19 Bagian 15
20 Bagian 16
21 Bagian 17
22 Bagian 18
23 Bagian 19
24 Bagian 20
25 Bagian 21
26 Bagian 22 (1)
27 Bagian 22 (2)
28 Bagian 23
29 Bagian 24
30 Bagian 25 (1)
31 Bagian 25 (2)
32 Bagian 26
33 Bagian 27 : Pernikahan Tiba-tiba
34 Bagian 28 : Ratu dan Suaminya
35 Bagian 29 : Pewarna Bibir
36 Bagian 30 : Kenangan Kecil
37 Bagian 31 : Perlakuan Mardiyah
38 Bagian 32 : Terjatuh
39 Bagian 33 : Saya Agresif?
40 Bagian 34 : Kamu Boleh Hidup Untuk Diri Kamu Sendiri.
41 Bagian 35 : Apa Pun Boleh Lo Lakuin, Mar. Asal Jangan Senyum Ke Gue.
42 Bagian 36 (1)
43 Bagian 36 (2)
44 Bagian 37 : Nafkah
45 Bagian 38 : Perbincangan Di Kamar Lutfan
46 Bagian 39 : Inginnya Adalah Mardiyah
47 Bagian 40 : Gen Siapa?
48 41 : Gimana Bisa Di Sebut Keluarga? Kalau Nggak Ada Ibu, Umma ...
49 42 (1) : Tanpa Adanya Nasab
50 42 (2) : Darah Adiwangsa
51 43 : Izin Test DNA
52 44 : Gue Nggak Suka Lo Deket-deket Dia.
53 45 (1) : Keputusan Manggala Adiwangsa
54 45 (2) : Kita Ini Suami Istri. Nggak Ada Yang Berhak Atas Saya Selain Kamu
55 46 (1) : Sayang?
56 46 (2) : Hamil?
57 47 : Satu-satunya Cara
58 48 : Romansa Pengantin Baru
59 49 : -
60 50 : Pertemuan Dengan Rajendra Adiwangsa Di Penginapan Jyotika Ira.
61 51 :
62 52 : Gue Mau Kita Ngelakuin Ibadah Yang Seharusnya Ada Di Dalam Pernikahan, Mar
63 53 : Gagal
64 54 : Abhimata Dan Abhimana
65 55 (1) : Saya Ini Perempuan
66 55 (2) : Saran Serta Do'a Dari Jafar dan Alma
67 56 : Seminggu Berlalu Kedatangan Adiwangsa
68 57 (1) : Nona Muda Mahika?
69 57 (2) : Yang Anda Sakiti Bukan Hanya Ibu Saya Saja. Melainkan Juga Putrinya!
70 58 : Dia ... Putrimu ... Mardiyah
71 59 : Apa Akan Pantas Menyakiti Seseorang Yang Sedarah Sendiri Dengan Kita?
72 60 : Vila Keluarga Adiwangsa
73 61 : Setelah Itu ... Saya Berjanji, Akan Memenuhi
74 62 : Keinginan Untuk Kabur
75 63 : Papa Mau Nggak Mendengar Pengakuanku Yang Lainnya?
76 Garis Keturunan Adiwangsa
77 64 : Perbincangan Dini Hari
78 65 (1) : Kehamilan?
79 65 (2) Di Jyotika Ira
80 66 : Please ... Demi Istri Lo.
81 67 : Surat Menyurat
82 68 : Cecilia Maharani Adiwangsa
83 69 : Kacau
84 70 : Kemungkinan
85 71 : -
86 72 : Sesuatu Yang Berharga
87 73 : Sebelum Dia Membenci Kehidupan Yang Diberikan Untuknya.
88 74 : Akhirnya ...
89 75 : Kewajiban
90 76 : Dia Pergi
91 77 : Gue Kangen
92 78 : Sudut Pandang Laki-laki
93 79 :
94 80 : Melukai Hati Keluarga Sendiri
95 81 : Benih-benih
96 82 : Pengakuan
97 83 : Si Kembar Abhi
98 84 :
99 85 : Keluarga.
100 86 :
101 87 :
102 88 :
103 89 :
104 90 :
105 91 :
106 92 : Akar Permasalahan
107 93 :
108 94 : Minggu Bersama
109 95 :
110 96 :
111 97 :
112 98 :
113 99 :
114 100 (1) :
115 100 (2) :
116 101 :
117 102 :
118 103 (1)
119 103 (2) :
120 104
121 105 (1)
122 105 (2)
123 106
124 107
125 108
126 109 (1) : Ingatan Nenek Aisha Kembali.
127 109 (2) : Perbincangan Dini Hari Mardiyah Dan Nenek Aisha.
128 110 (1) : Mencoba Percaya Rajendra.
129 110 (2) : Sisi Lain Rajendra Dan Wafatnya Nenek Aisha.
130 110 (3) : Aku Mencintaimu, Lutfan.
Episodes

Updated 130 Episodes

1
Bagian 1 : Sama-sama menyakitkannya.
2
Bagian 2 : Penderitaan.
3
Bagian 3 : Surat Pengakuan
4
Bagian 4
5
Bagian 5
6
Bagian 6
7
Bagian 7 (1)
8
Bagian 7 (2)
9
Bagian 7 (3)
10
Bagian 8
11
Bagian 9
12
Bagian 10
13
Bagian 11 (1)
14
Bagian 11 (2)
15
Bagian 12 (1)
16
Bagian 12 (2)
17
Bagian 13
18
Bagian 14
19
Bagian 15
20
Bagian 16
21
Bagian 17
22
Bagian 18
23
Bagian 19
24
Bagian 20
25
Bagian 21
26
Bagian 22 (1)
27
Bagian 22 (2)
28
Bagian 23
29
Bagian 24
30
Bagian 25 (1)
31
Bagian 25 (2)
32
Bagian 26
33
Bagian 27 : Pernikahan Tiba-tiba
34
Bagian 28 : Ratu dan Suaminya
35
Bagian 29 : Pewarna Bibir
36
Bagian 30 : Kenangan Kecil
37
Bagian 31 : Perlakuan Mardiyah
38
Bagian 32 : Terjatuh
39
Bagian 33 : Saya Agresif?
40
Bagian 34 : Kamu Boleh Hidup Untuk Diri Kamu Sendiri.
41
Bagian 35 : Apa Pun Boleh Lo Lakuin, Mar. Asal Jangan Senyum Ke Gue.
42
Bagian 36 (1)
43
Bagian 36 (2)
44
Bagian 37 : Nafkah
45
Bagian 38 : Perbincangan Di Kamar Lutfan
46
Bagian 39 : Inginnya Adalah Mardiyah
47
Bagian 40 : Gen Siapa?
48
41 : Gimana Bisa Di Sebut Keluarga? Kalau Nggak Ada Ibu, Umma ...
49
42 (1) : Tanpa Adanya Nasab
50
42 (2) : Darah Adiwangsa
51
43 : Izin Test DNA
52
44 : Gue Nggak Suka Lo Deket-deket Dia.
53
45 (1) : Keputusan Manggala Adiwangsa
54
45 (2) : Kita Ini Suami Istri. Nggak Ada Yang Berhak Atas Saya Selain Kamu
55
46 (1) : Sayang?
56
46 (2) : Hamil?
57
47 : Satu-satunya Cara
58
48 : Romansa Pengantin Baru
59
49 : -
60
50 : Pertemuan Dengan Rajendra Adiwangsa Di Penginapan Jyotika Ira.
61
51 :
62
52 : Gue Mau Kita Ngelakuin Ibadah Yang Seharusnya Ada Di Dalam Pernikahan, Mar
63
53 : Gagal
64
54 : Abhimata Dan Abhimana
65
55 (1) : Saya Ini Perempuan
66
55 (2) : Saran Serta Do'a Dari Jafar dan Alma
67
56 : Seminggu Berlalu Kedatangan Adiwangsa
68
57 (1) : Nona Muda Mahika?
69
57 (2) : Yang Anda Sakiti Bukan Hanya Ibu Saya Saja. Melainkan Juga Putrinya!
70
58 : Dia ... Putrimu ... Mardiyah
71
59 : Apa Akan Pantas Menyakiti Seseorang Yang Sedarah Sendiri Dengan Kita?
72
60 : Vila Keluarga Adiwangsa
73
61 : Setelah Itu ... Saya Berjanji, Akan Memenuhi
74
62 : Keinginan Untuk Kabur
75
63 : Papa Mau Nggak Mendengar Pengakuanku Yang Lainnya?
76
Garis Keturunan Adiwangsa
77
64 : Perbincangan Dini Hari
78
65 (1) : Kehamilan?
79
65 (2) Di Jyotika Ira
80
66 : Please ... Demi Istri Lo.
81
67 : Surat Menyurat
82
68 : Cecilia Maharani Adiwangsa
83
69 : Kacau
84
70 : Kemungkinan
85
71 : -
86
72 : Sesuatu Yang Berharga
87
73 : Sebelum Dia Membenci Kehidupan Yang Diberikan Untuknya.
88
74 : Akhirnya ...
89
75 : Kewajiban
90
76 : Dia Pergi
91
77 : Gue Kangen
92
78 : Sudut Pandang Laki-laki
93
79 :
94
80 : Melukai Hati Keluarga Sendiri
95
81 : Benih-benih
96
82 : Pengakuan
97
83 : Si Kembar Abhi
98
84 :
99
85 : Keluarga.
100
86 :
101
87 :
102
88 :
103
89 :
104
90 :
105
91 :
106
92 : Akar Permasalahan
107
93 :
108
94 : Minggu Bersama
109
95 :
110
96 :
111
97 :
112
98 :
113
99 :
114
100 (1) :
115
100 (2) :
116
101 :
117
102 :
118
103 (1)
119
103 (2) :
120
104
121
105 (1)
122
105 (2)
123
106
124
107
125
108
126
109 (1) : Ingatan Nenek Aisha Kembali.
127
109 (2) : Perbincangan Dini Hari Mardiyah Dan Nenek Aisha.
128
110 (1) : Mencoba Percaya Rajendra.
129
110 (2) : Sisi Lain Rajendra Dan Wafatnya Nenek Aisha.
130
110 (3) : Aku Mencintaimu, Lutfan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!