Bagian 4

"Ibu jahat ..."

Kertas usang itu kembali Mardiyah lipat, dimaksudnya ke dalam amplop cokelat lagi. Kemudian ia membuka laci, dan menyimpan di sana. Hatinya tidak pernah membaik, namun ia tetap berusaha untuk tenang. Surat pengakuan yang dituliskan oleh Ibunya adalah perkenalan yang tak pernah ia inginkan, jika memang harus saling mengenal, lebih baik bagi Mardiyah untuk berjumpa langsung, ia tak suka perantara surat.

Suara ketukan pintu membuat Mardiyah tersadar. Siapa yang menghampirinya lagi? Inayah kembali?

"Mardiyah ..."

Umma Sarah? batin Mardiyah.

Cepat-cepat Mardiyah beranjak, mengusap kedua matanya serta pipi kiri kanan dan berjalan menuju ambang pintu. "Iya, Umma?"

"Ka ... mu baik-baik aja, Nak?" tanya Umma Sarah saat melihat Mardiyah menunduk.

Mardiyah hanya mengangguk.

"Sini." Umma Sarah mengangkat dagu anak asuhnya itu. "Lihat Umma, Mar."

Netra indah dengan bulu mata lentik, serta tatapan yang selalu tajam terlihat memerah dan berubah sendu seketika. "A-apa Umma?"

"Umma mau bicara lagi sama kamu. Boleh?"

Mardiyah mengangguk. Ia membuka sedikit lebar pintu asramanya, sehingga Umma Sarah dapat masuk detik itu juga. "Silakan, Umma."

Dipandanginya kamar yang begitu rapi ini. Sama dengan kamar lainnya. Namun tatah letak kamar ini di ubah oleh Mardiyah, banyak buku-buku yang tersusun di meja. Dan netra Umma Sarah menangkap ranjang, dengan seprai abu-abu polos.

"Umma duduk, ya Nak?"

"Iya, Umma."

Mardiyah mengambil duduk di samping Umma Sarah.

"Umma yakin, kamu sudah membaca surat dari Ibumu."

Mardiyah mengangguk.

"Kamu harus memahami Ibumu, Nak."

Jeda tiga detik Mardiyah berujar, "Sudah Umma."

"Sudah itu artinya apa?"

"Beliau memperkenalkan dirinya sebagai gadis muda yang tidak bisa menjaga diri sendiri." Mardiyah mendongak hingga pandangannya bertemu tatap. "Mardiyah sudah mencoba memahami ... beliau, Umma."

"Ibu hanya menyebutkan nama beliau, saja." Mardiyah tersenyum getir. "Ayah? Enggak. Mardiyah rasa nggak akan pernah ada orang yang bisa Mardiyah panggil dengan sebutan itu."

Umma Sarah menatap sendu Mardiyah.

"Umma ... menurut Mardiyah, akan lebih baik jika Mardiyah nggak pernah menerima surat itu." Mardiyah kembali menunduk. "Karena sakit, Umma. Sakit rasanya harus mengenal orang yang melahirkan Mardiyah dari secarik kertas saja."

"Dua puluh satu tahun. A-apa I-ibu Mardiyah masih hidup, Umma?" sambung Mardiyah lagi.

Umma Sarah terdiam, tangan beliau hanya terangkat untuk menggenggam erat.

"Mardiyah nggak mau nangis. Tapi kenapa sakitnya nggak bisa hilang? ... " Sisi tangan kiri Mardiyah yang tidak di genggaman menutupi wajahnya. "Ibu bilang ... kalau beliau bertemu dengan Mardiyah, beliau ingin tahu ... nama indah apa yang Umma berikan untuk Mardiyah."

Usapan demi usapan Umma Sarah berikan di pucuk kepala Mardiyah.

"Lunara Mardiyah ... indah Umma, Ibu benar. Umma memberi nama seindah itu untuk gadis tanpa Ayah ini," imbuh Mardiyah.

Umma Sarah menggeleng. "Hussttt, jangan bicara kayak gitu. Umma nggak suka dengernya."

"Umma ... tolong peluk, Mardiyah."

Azan zuhur berkumandang. Dekapan hangat yang terjadi sekitar dua menit lamanya terlepas, suasana panti asuhan sangat biasa ia rasakan. Sungguh yang di tuliskan oleh Zanitha adalah benar, bagaimana jikalau laki-laki itu datang dan mengambilnya sebagai anak? Mardiyah tidak akan pernah mau, sama sekali tidak mau.

"Ayo, Nak. Sholat dulu," ucap Umma Sarah.

...🌺...

Lutfan tidak pernah menyangka kecelakaan yang terjadi empat bulan lalu mengubah kehidupannya yang semula hanya tahu senang-senang saja. Kini ia harus bekerja keras, menggantikan Abinya. Ia tetap menjadi Lutfan yang penuh tawa juga bahagia. Itu semua hanya untuk kebahagiaan Umma Sarah, sungguh sebagai anak ia tak mau Ummanya merasakan kehilangan kedua kalinya.

Cukup Abi.

Tawa dan segala bahagia harus ia tunjukkan kembali, supaya Ummanya percaya bahwa ia tetap baik-baik saja.

Dan juga mengenai amanah pernikahannya dengan Mardiyah. Lutfan di beritahukan sedini mungkin, sedang Mardiyah? Ia yakin, perempuan itu belum tahu. Umma Sarah bilang akan menikahkan Mardiyah dengan dirinya disaat umurnya dua puluh tahun. Dan yang pasti saat itu, umur Mardiyah dua puluh tiga tahun.

Entah juga perempuan itu bersedia atau tidak. Karena yang ia lihat sendari dulu, sepertinya ... Mardiyah menyukai Kakak sepupunya---Mas Jafar. Memang perempuan mana yang tidak akan terpikat dengan Mas Jafar? Jadi ia tak bisa menyalahkan Mardiyah, perasaan seseorang tak pernah salah.

Begitu pula dengan perasaannya.

"Lutfan!"

Suara nyaring itu benar-benar membuat Lutfan muak. "Apa, Do? Apa? Jangan bacot dong, ini kos ada yang rumah tangga, lo kalau mau nginep silent!"

"Ya sorry, nggak niat juga gue ngebacot, Lut," ucap Aldo---teman sebayanya, yang ia kenal dari sekolah elit.

"Ya udah lo diem." Lutfan menyandarkan tubuhnya di meja pantai yang ia beli beberapa bulan lalu. "Sebenarnya gue bingung. Lo itu orang kaya, ke sini aja lo naik mobil. Terus kenapa lo kaburnya ke kos an gue? Kenapa lo nggak ke hotel aja, hm?"

"Justru karena gue niat kabur. Harus ke tempat kayak gini. Lo mau nyuruh gue nginep di Lazuardi Hotel?" Aldo menggeleng kuat. "Ya kali! ketawan langsung gue detik itu juga. Nyokap gue tahu kalau gue temenan sama si kembar Abhi. Pasti dia nyari ke sana, Lut!"

"Tolong dong lo ngerti ini gue," imbuh Aldo.

Lutfan mengibaskan tangan kirinya. "Untung-untungan gue lahir di keluarga berkecukupan. Bukan keluarga kaya raya tujuh turunan yang elitnya kebangetan sampe koneksi sana sini. Bisa stress gue!"

"Lo terlalu merendah. Harta keluarga gue sama lo nggak beda jauh. Bedanya mungkin yang kerja nyokap bokap gue aja, lah sedangkan elo yang kerja hampir seluruh keluarga," jawab Aldo.

Lutfan meletakkan telunjuknya di bibir. "Ssttt ... silent, Do."

Terjadi kebisuan beberapa menit. Hingga pertanyaan keluar dari bibir Aldo lagi. "Ngomong-ngomong Lut, gue kok nggak pernah lihat lo sama cewek?"

Lutfan membisu.

"Dijodohin lo? A ... tau, peraturan keluarga lo nggak ngebolehin lo pacaran? Kan keluarga lo religius banget gitu," imbuh Aldo.

"Dijodohin," jawab Lutfan singkat.

Netra Aldo terbelalak. "Gila-gila! Beneran?! Lo di---"

"Nada bicara lo tolong," sanggah Lutfan.

Aldo tertawa ringan. "Sorry sorry spontanitas, Lut. Gue syok. Jadi lo ... lo beneran di jodohin?"

"Hm."

Aldo mengangguk-angguk, senyum tak jelas ia tampakkan untuk Lutfan.

"Ngapain lo senyum-senyum gitu? Gila lo?" ujar Lutfan.

Lagi-lagi Aldo tertawa. "Enggak. Gue cuma ... lagi bayangin, cewek kayak apa yang bakal dijodohin sama lo? Terus juga, gue lagi ngebayangin gimana caranya cewek itu ngehadapin orang yang tengilnya minta ampun kayak lo!"

"Gue cuma takut, dia nggak sanggup. Terus cewek itu stress kan kasihan banget. Mana takdirnya harus jadi istri lo lagi!" sambung Aldo dengan masih tertawa.

Lutfan berdecak kesal. "Perasaan nggak ada baik-baiknya gue di mata lo, Do, Do. Harapan gue cuma satu, semoga istri gue nanti masih bisa ngelihat kebaikan gue yang agak samar ini."

Terpopuler

Comments

Ber

Ber

aga samar2 gimn

2022-02-10

1

lihat semua
Episodes
1 Bagian 1 : Sama-sama menyakitkannya.
2 Bagian 2 : Penderitaan.
3 Bagian 3 : Surat Pengakuan
4 Bagian 4
5 Bagian 5
6 Bagian 6
7 Bagian 7 (1)
8 Bagian 7 (2)
9 Bagian 7 (3)
10 Bagian 8
11 Bagian 9
12 Bagian 10
13 Bagian 11 (1)
14 Bagian 11 (2)
15 Bagian 12 (1)
16 Bagian 12 (2)
17 Bagian 13
18 Bagian 14
19 Bagian 15
20 Bagian 16
21 Bagian 17
22 Bagian 18
23 Bagian 19
24 Bagian 20
25 Bagian 21
26 Bagian 22 (1)
27 Bagian 22 (2)
28 Bagian 23
29 Bagian 24
30 Bagian 25 (1)
31 Bagian 25 (2)
32 Bagian 26
33 Bagian 27 : Pernikahan Tiba-tiba
34 Bagian 28 : Ratu dan Suaminya
35 Bagian 29 : Pewarna Bibir
36 Bagian 30 : Kenangan Kecil
37 Bagian 31 : Perlakuan Mardiyah
38 Bagian 32 : Terjatuh
39 Bagian 33 : Saya Agresif?
40 Bagian 34 : Kamu Boleh Hidup Untuk Diri Kamu Sendiri.
41 Bagian 35 : Apa Pun Boleh Lo Lakuin, Mar. Asal Jangan Senyum Ke Gue.
42 Bagian 36 (1)
43 Bagian 36 (2)
44 Bagian 37 : Nafkah
45 Bagian 38 : Perbincangan Di Kamar Lutfan
46 Bagian 39 : Inginnya Adalah Mardiyah
47 Bagian 40 : Gen Siapa?
48 41 : Gimana Bisa Di Sebut Keluarga? Kalau Nggak Ada Ibu, Umma ...
49 42 (1) : Tanpa Adanya Nasab
50 42 (2) : Darah Adiwangsa
51 43 : Izin Test DNA
52 44 : Gue Nggak Suka Lo Deket-deket Dia.
53 45 (1) : Keputusan Manggala Adiwangsa
54 45 (2) : Kita Ini Suami Istri. Nggak Ada Yang Berhak Atas Saya Selain Kamu
55 46 (1) : Sayang?
56 46 (2) : Hamil?
57 47 : Satu-satunya Cara
58 48 : Romansa Pengantin Baru
59 49 : -
60 50 : Pertemuan Dengan Rajendra Adiwangsa Di Penginapan Jyotika Ira.
61 51 :
62 52 : Gue Mau Kita Ngelakuin Ibadah Yang Seharusnya Ada Di Dalam Pernikahan, Mar
63 53 : Gagal
64 54 : Abhimata Dan Abhimana
65 55 (1) : Saya Ini Perempuan
66 55 (2) : Saran Serta Do'a Dari Jafar dan Alma
67 56 : Seminggu Berlalu Kedatangan Adiwangsa
68 57 (1) : Nona Muda Mahika?
69 57 (2) : Yang Anda Sakiti Bukan Hanya Ibu Saya Saja. Melainkan Juga Putrinya!
70 58 : Dia ... Putrimu ... Mardiyah
71 59 : Apa Akan Pantas Menyakiti Seseorang Yang Sedarah Sendiri Dengan Kita?
72 60 : Vila Keluarga Adiwangsa
73 61 : Setelah Itu ... Saya Berjanji, Akan Memenuhi
74 62 : Keinginan Untuk Kabur
75 63 : Papa Mau Nggak Mendengar Pengakuanku Yang Lainnya?
76 Garis Keturunan Adiwangsa
77 64 : Perbincangan Dini Hari
78 65 (1) : Kehamilan?
79 65 (2) Di Jyotika Ira
80 66 : Please ... Demi Istri Lo.
81 67 : Surat Menyurat
82 68 : Cecilia Maharani Adiwangsa
83 69 : Kacau
84 70 : Kemungkinan
85 71 : -
86 72 : Sesuatu Yang Berharga
87 73 : Sebelum Dia Membenci Kehidupan Yang Diberikan Untuknya.
88 74 : Akhirnya ...
89 75 : Kewajiban
90 76 : Dia Pergi
91 77 : Gue Kangen
92 78 : Sudut Pandang Laki-laki
93 79 :
94 80 : Melukai Hati Keluarga Sendiri
95 81 : Benih-benih
96 82 : Pengakuan
97 83 : Si Kembar Abhi
98 84 :
99 85 : Keluarga.
100 86 :
101 87 :
102 88 :
103 89 :
104 90 :
105 91 :
106 92 : Akar Permasalahan
107 93 :
108 94 : Minggu Bersama
109 95 :
110 96 :
111 97 :
112 98 :
113 99 :
114 100 (1) :
115 100 (2) :
116 101 :
117 102 :
118 103 (1)
119 103 (2) :
120 104
121 105 (1)
122 105 (2)
123 106
124 107
125 108
126 109 (1) : Ingatan Nenek Aisha Kembali.
127 109 (2) : Perbincangan Dini Hari Mardiyah Dan Nenek Aisha.
128 110 (1) : Mencoba Percaya Rajendra.
129 110 (2) : Sisi Lain Rajendra Dan Wafatnya Nenek Aisha.
130 110 (3) : Aku Mencintaimu, Lutfan.
Episodes

Updated 130 Episodes

1
Bagian 1 : Sama-sama menyakitkannya.
2
Bagian 2 : Penderitaan.
3
Bagian 3 : Surat Pengakuan
4
Bagian 4
5
Bagian 5
6
Bagian 6
7
Bagian 7 (1)
8
Bagian 7 (2)
9
Bagian 7 (3)
10
Bagian 8
11
Bagian 9
12
Bagian 10
13
Bagian 11 (1)
14
Bagian 11 (2)
15
Bagian 12 (1)
16
Bagian 12 (2)
17
Bagian 13
18
Bagian 14
19
Bagian 15
20
Bagian 16
21
Bagian 17
22
Bagian 18
23
Bagian 19
24
Bagian 20
25
Bagian 21
26
Bagian 22 (1)
27
Bagian 22 (2)
28
Bagian 23
29
Bagian 24
30
Bagian 25 (1)
31
Bagian 25 (2)
32
Bagian 26
33
Bagian 27 : Pernikahan Tiba-tiba
34
Bagian 28 : Ratu dan Suaminya
35
Bagian 29 : Pewarna Bibir
36
Bagian 30 : Kenangan Kecil
37
Bagian 31 : Perlakuan Mardiyah
38
Bagian 32 : Terjatuh
39
Bagian 33 : Saya Agresif?
40
Bagian 34 : Kamu Boleh Hidup Untuk Diri Kamu Sendiri.
41
Bagian 35 : Apa Pun Boleh Lo Lakuin, Mar. Asal Jangan Senyum Ke Gue.
42
Bagian 36 (1)
43
Bagian 36 (2)
44
Bagian 37 : Nafkah
45
Bagian 38 : Perbincangan Di Kamar Lutfan
46
Bagian 39 : Inginnya Adalah Mardiyah
47
Bagian 40 : Gen Siapa?
48
41 : Gimana Bisa Di Sebut Keluarga? Kalau Nggak Ada Ibu, Umma ...
49
42 (1) : Tanpa Adanya Nasab
50
42 (2) : Darah Adiwangsa
51
43 : Izin Test DNA
52
44 : Gue Nggak Suka Lo Deket-deket Dia.
53
45 (1) : Keputusan Manggala Adiwangsa
54
45 (2) : Kita Ini Suami Istri. Nggak Ada Yang Berhak Atas Saya Selain Kamu
55
46 (1) : Sayang?
56
46 (2) : Hamil?
57
47 : Satu-satunya Cara
58
48 : Romansa Pengantin Baru
59
49 : -
60
50 : Pertemuan Dengan Rajendra Adiwangsa Di Penginapan Jyotika Ira.
61
51 :
62
52 : Gue Mau Kita Ngelakuin Ibadah Yang Seharusnya Ada Di Dalam Pernikahan, Mar
63
53 : Gagal
64
54 : Abhimata Dan Abhimana
65
55 (1) : Saya Ini Perempuan
66
55 (2) : Saran Serta Do'a Dari Jafar dan Alma
67
56 : Seminggu Berlalu Kedatangan Adiwangsa
68
57 (1) : Nona Muda Mahika?
69
57 (2) : Yang Anda Sakiti Bukan Hanya Ibu Saya Saja. Melainkan Juga Putrinya!
70
58 : Dia ... Putrimu ... Mardiyah
71
59 : Apa Akan Pantas Menyakiti Seseorang Yang Sedarah Sendiri Dengan Kita?
72
60 : Vila Keluarga Adiwangsa
73
61 : Setelah Itu ... Saya Berjanji, Akan Memenuhi
74
62 : Keinginan Untuk Kabur
75
63 : Papa Mau Nggak Mendengar Pengakuanku Yang Lainnya?
76
Garis Keturunan Adiwangsa
77
64 : Perbincangan Dini Hari
78
65 (1) : Kehamilan?
79
65 (2) Di Jyotika Ira
80
66 : Please ... Demi Istri Lo.
81
67 : Surat Menyurat
82
68 : Cecilia Maharani Adiwangsa
83
69 : Kacau
84
70 : Kemungkinan
85
71 : -
86
72 : Sesuatu Yang Berharga
87
73 : Sebelum Dia Membenci Kehidupan Yang Diberikan Untuknya.
88
74 : Akhirnya ...
89
75 : Kewajiban
90
76 : Dia Pergi
91
77 : Gue Kangen
92
78 : Sudut Pandang Laki-laki
93
79 :
94
80 : Melukai Hati Keluarga Sendiri
95
81 : Benih-benih
96
82 : Pengakuan
97
83 : Si Kembar Abhi
98
84 :
99
85 : Keluarga.
100
86 :
101
87 :
102
88 :
103
89 :
104
90 :
105
91 :
106
92 : Akar Permasalahan
107
93 :
108
94 : Minggu Bersama
109
95 :
110
96 :
111
97 :
112
98 :
113
99 :
114
100 (1) :
115
100 (2) :
116
101 :
117
102 :
118
103 (1)
119
103 (2) :
120
104
121
105 (1)
122
105 (2)
123
106
124
107
125
108
126
109 (1) : Ingatan Nenek Aisha Kembali.
127
109 (2) : Perbincangan Dini Hari Mardiyah Dan Nenek Aisha.
128
110 (1) : Mencoba Percaya Rajendra.
129
110 (2) : Sisi Lain Rajendra Dan Wafatnya Nenek Aisha.
130
110 (3) : Aku Mencintaimu, Lutfan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!