"Ibu jahat ..."
Kertas usang itu kembali Mardiyah lipat, dimaksudnya ke dalam amplop cokelat lagi. Kemudian ia membuka laci, dan menyimpan di sana. Hatinya tidak pernah membaik, namun ia tetap berusaha untuk tenang. Surat pengakuan yang dituliskan oleh Ibunya adalah perkenalan yang tak pernah ia inginkan, jika memang harus saling mengenal, lebih baik bagi Mardiyah untuk berjumpa langsung, ia tak suka perantara surat.
Suara ketukan pintu membuat Mardiyah tersadar. Siapa yang menghampirinya lagi? Inayah kembali?
"Mardiyah ..."
Umma Sarah? batin Mardiyah.
Cepat-cepat Mardiyah beranjak, mengusap kedua matanya serta pipi kiri kanan dan berjalan menuju ambang pintu. "Iya, Umma?"
"Ka ... mu baik-baik aja, Nak?" tanya Umma Sarah saat melihat Mardiyah menunduk.
Mardiyah hanya mengangguk.
"Sini." Umma Sarah mengangkat dagu anak asuhnya itu. "Lihat Umma, Mar."
Netra indah dengan bulu mata lentik, serta tatapan yang selalu tajam terlihat memerah dan berubah sendu seketika. "A-apa Umma?"
"Umma mau bicara lagi sama kamu. Boleh?"
Mardiyah mengangguk. Ia membuka sedikit lebar pintu asramanya, sehingga Umma Sarah dapat masuk detik itu juga. "Silakan, Umma."
Dipandanginya kamar yang begitu rapi ini. Sama dengan kamar lainnya. Namun tatah letak kamar ini di ubah oleh Mardiyah, banyak buku-buku yang tersusun di meja. Dan netra Umma Sarah menangkap ranjang, dengan seprai abu-abu polos.
"Umma duduk, ya Nak?"
"Iya, Umma."
Mardiyah mengambil duduk di samping Umma Sarah.
"Umma yakin, kamu sudah membaca surat dari Ibumu."
Mardiyah mengangguk.
"Kamu harus memahami Ibumu, Nak."
Jeda tiga detik Mardiyah berujar, "Sudah Umma."
"Sudah itu artinya apa?"
"Beliau memperkenalkan dirinya sebagai gadis muda yang tidak bisa menjaga diri sendiri." Mardiyah mendongak hingga pandangannya bertemu tatap. "Mardiyah sudah mencoba memahami ... beliau, Umma."
"Ibu hanya menyebutkan nama beliau, saja." Mardiyah tersenyum getir. "Ayah? Enggak. Mardiyah rasa nggak akan pernah ada orang yang bisa Mardiyah panggil dengan sebutan itu."
Umma Sarah menatap sendu Mardiyah.
"Umma ... menurut Mardiyah, akan lebih baik jika Mardiyah nggak pernah menerima surat itu." Mardiyah kembali menunduk. "Karena sakit, Umma. Sakit rasanya harus mengenal orang yang melahirkan Mardiyah dari secarik kertas saja."
"Dua puluh satu tahun. A-apa I-ibu Mardiyah masih hidup, Umma?" sambung Mardiyah lagi.
Umma Sarah terdiam, tangan beliau hanya terangkat untuk menggenggam erat.
"Mardiyah nggak mau nangis. Tapi kenapa sakitnya nggak bisa hilang? ... " Sisi tangan kiri Mardiyah yang tidak di genggaman menutupi wajahnya. "Ibu bilang ... kalau beliau bertemu dengan Mardiyah, beliau ingin tahu ... nama indah apa yang Umma berikan untuk Mardiyah."
Usapan demi usapan Umma Sarah berikan di pucuk kepala Mardiyah.
"Lunara Mardiyah ... indah Umma, Ibu benar. Umma memberi nama seindah itu untuk gadis tanpa Ayah ini," imbuh Mardiyah.
Umma Sarah menggeleng. "Hussttt, jangan bicara kayak gitu. Umma nggak suka dengernya."
"Umma ... tolong peluk, Mardiyah."
Azan zuhur berkumandang. Dekapan hangat yang terjadi sekitar dua menit lamanya terlepas, suasana panti asuhan sangat biasa ia rasakan. Sungguh yang di tuliskan oleh Zanitha adalah benar, bagaimana jikalau laki-laki itu datang dan mengambilnya sebagai anak? Mardiyah tidak akan pernah mau, sama sekali tidak mau.
"Ayo, Nak. Sholat dulu," ucap Umma Sarah.
...🌺...
Lutfan tidak pernah menyangka kecelakaan yang terjadi empat bulan lalu mengubah kehidupannya yang semula hanya tahu senang-senang saja. Kini ia harus bekerja keras, menggantikan Abinya. Ia tetap menjadi Lutfan yang penuh tawa juga bahagia. Itu semua hanya untuk kebahagiaan Umma Sarah, sungguh sebagai anak ia tak mau Ummanya merasakan kehilangan kedua kalinya.
Cukup Abi.
Tawa dan segala bahagia harus ia tunjukkan kembali, supaya Ummanya percaya bahwa ia tetap baik-baik saja.
Dan juga mengenai amanah pernikahannya dengan Mardiyah. Lutfan di beritahukan sedini mungkin, sedang Mardiyah? Ia yakin, perempuan itu belum tahu. Umma Sarah bilang akan menikahkan Mardiyah dengan dirinya disaat umurnya dua puluh tahun. Dan yang pasti saat itu, umur Mardiyah dua puluh tiga tahun.
Entah juga perempuan itu bersedia atau tidak. Karena yang ia lihat sendari dulu, sepertinya ... Mardiyah menyukai Kakak sepupunya---Mas Jafar. Memang perempuan mana yang tidak akan terpikat dengan Mas Jafar? Jadi ia tak bisa menyalahkan Mardiyah, perasaan seseorang tak pernah salah.
Begitu pula dengan perasaannya.
"Lutfan!"
Suara nyaring itu benar-benar membuat Lutfan muak. "Apa, Do? Apa? Jangan bacot dong, ini kos ada yang rumah tangga, lo kalau mau nginep silent!"
"Ya sorry, nggak niat juga gue ngebacot, Lut," ucap Aldo---teman sebayanya, yang ia kenal dari sekolah elit.
"Ya udah lo diem." Lutfan menyandarkan tubuhnya di meja pantai yang ia beli beberapa bulan lalu. "Sebenarnya gue bingung. Lo itu orang kaya, ke sini aja lo naik mobil. Terus kenapa lo kaburnya ke kos an gue? Kenapa lo nggak ke hotel aja, hm?"
"Justru karena gue niat kabur. Harus ke tempat kayak gini. Lo mau nyuruh gue nginep di Lazuardi Hotel?" Aldo menggeleng kuat. "Ya kali! ketawan langsung gue detik itu juga. Nyokap gue tahu kalau gue temenan sama si kembar Abhi. Pasti dia nyari ke sana, Lut!"
"Tolong dong lo ngerti ini gue," imbuh Aldo.
Lutfan mengibaskan tangan kirinya. "Untung-untungan gue lahir di keluarga berkecukupan. Bukan keluarga kaya raya tujuh turunan yang elitnya kebangetan sampe koneksi sana sini. Bisa stress gue!"
"Lo terlalu merendah. Harta keluarga gue sama lo nggak beda jauh. Bedanya mungkin yang kerja nyokap bokap gue aja, lah sedangkan elo yang kerja hampir seluruh keluarga," jawab Aldo.
Lutfan meletakkan telunjuknya di bibir. "Ssttt ... silent, Do."
Terjadi kebisuan beberapa menit. Hingga pertanyaan keluar dari bibir Aldo lagi. "Ngomong-ngomong Lut, gue kok nggak pernah lihat lo sama cewek?"
Lutfan membisu.
"Dijodohin lo? A ... tau, peraturan keluarga lo nggak ngebolehin lo pacaran? Kan keluarga lo religius banget gitu," imbuh Aldo.
"Dijodohin," jawab Lutfan singkat.
Netra Aldo terbelalak. "Gila-gila! Beneran?! Lo di---"
"Nada bicara lo tolong," sanggah Lutfan.
Aldo tertawa ringan. "Sorry sorry spontanitas, Lut. Gue syok. Jadi lo ... lo beneran di jodohin?"
"Hm."
Aldo mengangguk-angguk, senyum tak jelas ia tampakkan untuk Lutfan.
"Ngapain lo senyum-senyum gitu? Gila lo?" ujar Lutfan.
Lagi-lagi Aldo tertawa. "Enggak. Gue cuma ... lagi bayangin, cewek kayak apa yang bakal dijodohin sama lo? Terus juga, gue lagi ngebayangin gimana caranya cewek itu ngehadapin orang yang tengilnya minta ampun kayak lo!"
"Gue cuma takut, dia nggak sanggup. Terus cewek itu stress kan kasihan banget. Mana takdirnya harus jadi istri lo lagi!" sambung Aldo dengan masih tertawa.
Lutfan berdecak kesal. "Perasaan nggak ada baik-baiknya gue di mata lo, Do, Do. Harapan gue cuma satu, semoga istri gue nanti masih bisa ngelihat kebaikan gue yang agak samar ini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Ber
aga samar2 gimn
2022-02-10
1