"Penderitaan kalian emang nggak sama. Tapi ... sama-sama menyakitkannya kan, Nak?"
Lutfan hanya bisa mengangguk.
"Lutfan pamit dulu, Umma. Mau keliling outlet lagi."
Kening Umma Sarah mengerut. "Keliling outlet lagi? Emangnya tugas-tugas sekolahmu sudah selesai?"
"Umma lupa? Lutfan ini udah Ujian Nasional, tinggal lihat aja Lutfan ini lulus atau nggak? Jadi mah santai-santai aja Umma," jawab Lutfan.
Netra Umma Sarah terbelalak. "Pasti dong! Pasti lulus anak Umma!"
"Aamiin. Do'a Ibu pasti terkabul. Jadi mohon bantuannya dalam setiap sujud, ya Umma? Do'ain aku anak Umma yang ganteng ini. Dadah! Aku pamit Umma. Assalamualaikum!"
"Waalaikumussalam."
Lutfan tak pernah memungkiri bahwa kerinduannya terhadap Mardiyah yang dulu sangatlah besar. Ingatan-ingatan masa kecil di mana ia dan Mardiyah saling mengasihi, saling mendekap satu sama lainnya di saat tertimpa musibah masih berputar jelas dipikirannya.
Bahkan di saat-saat menyedihkan dari kehidupan di mana ia harus kehilangan sosok Ayah, Mardiyah tak pernah datang untuknya, perempuan itu hanya datang untuk Umma hanya menghibur Umma tidak dengan dirinya. Padahal jika ia ingat-ingat dulu, Mardiyah pernah berjanji bahwa setiap ia meneteskan air mata, pelukan dari perempuan itu adalah obatnya.
Entah sengaja ingkar, atau memang telah terlupakan.
Lo pikir, gue bisa lihat lo nangis Mar? batin Lutfan.
Sengaja Lutfan memarkir mobilnya di pembatas asrama putri dan putra yang berdekatan dengan asrama Mardiyah, barang kali sejenak saja ia bisa melihat apakah keadaan Mardiyah yang baik-baik saja. Atau setidaknya melihat ada seseorang yang menemani perempuan itu dalam tangisnya.
"Weh! Ngapain kamu Lutfan?!"
Jantung Lutfan berdetak kencang. Ia benar-benar terkejut. "Banyu! Lo mau bikin gue jantungan? Gue kaget gila!"
"Duh mulutmu iku lho! Kebanyakan di kota nggak bisa ngontrol banget. Lah kamu ngapain toh lihat-lihat asrama putri?" ucap Banyu.
Lutfan menatap Banyu sewot. "Lah lo sendiri ngapain? Santri kok kelayapan di panti asuhan. Balik sana lo ke pesantren!"
Banyu menggeleng ber-istighar. "Bisa-bisanya kamu balikin pertanyaan aku, Lut, Lut. Heran aku sama kamu. Wes aku balik ke pesantren. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Hati-hati."
Lutfan memandang kepergian Banyu dengan bergumam, "Lagian ngapain lo tanya-tanya? Orang gue lihatin asrama panti asuhan punya Umma gue. Nggak masalah 'kan gue lihat?"
Setelah mengomel-omel tak jelas, Lutfan memasuki mobil. Sebenarnya ia ingin menyetir sendiri, tapi dikarenakan masih sekolah Umma melarangnya. Jadi ia diantar Cak Sur ke mana-mana, yang dulunya beliau adalah sopir Abinya.
"Ke mana, Mas?" tanya Cak Sur.
"Balik ke kota. Kita keliling outlet lagi, Cak." Lutfan menimbang-nimbang, apa harus semua outlet? Bagaimana kalau sebagai saja. Ia juga bisa mengerjakan via online. "Dua outlet aja, Cak. Nanti kalau udah langsung anterin saya ke kos, ya Cak?"
"Nggih, Mas."
Mobil melaju, perjalanan mungkin akan memakan waktu sekitar satu jam bilang tidak macet. Niat hati ingin memejamkan mata, namun gawai yang berada di saku depannya berbunyi.
Siapa lagi? Ganggu banget, batin Lutfan.
Mas Jafar
Saya boleh minta tolong?
Ternyata Jafar---Kakak sepupunya.
^^^Boleh, Mas^^^
^^^Apa?^^^
Mas Jafar
Tolong nanti di kota, belikan saya buku catatan dan pena. Saya butuh.
Maaf merepotkan, karena saya sama sekali tidak sempat keluar.
Tidak apa-apa 'kan Lutfan?
^^^Santai Mas^^^
^^^Nggak pa-pa, nanti aku beliin^^^
^^^Berapa?^^^
Mas Jafar
Satu kardus semua
^^^Oke siap^^^
^^^Besok kalau aku pulang ke panti,^^^
^^^aku mampir ke pesantren^^^
Mas Jafar
Terima kasih, Lutfan
Layar gawai mati. Lutfan memasukkan kembali gawai itu di dalam saku, sebelum memejamkan mata ia berujar, "Cak Sur, tolong nanti mampir di toko Purnama."
"Purnama yang mana, Mas?"
"Jalan Anggrek aja, Cak. Deket sama outlet," jawab Lutfan.
Cak Sur mengangguk.
"Saya mau tidur dulu, Cak. Tolong nanti bangunin, ya Cak?"
Cak Sur mengangguk. "Siap, Mas."
...🌺...
Di lain tempat.
Panti asuhan adalah rumah bagi Mardiyah. Orang-orang tidak akan pernah memahami kesakitannya, orang-orang hanya bisa mengolok-olok tanpa memahami ucapan yang terlontar itu sangat berpengaruh bagi kehidupannya. Tidak memiliki Ayah dan Ibu, Mardiyah tak masalah. Namun mengapa dunia seakan-akan meneriakinya bahwa anak haram tak patut untuk bahagia?
Hatinya sakit.
Secarik kertas di dalam amplop ini apa? Pertanda sayang? Atau pertanda bahwa ia masih memiliki orang tua? Memuakkan! Ia merasa tidak membutuhkan surat ini. Jika memang ia adalah anak yang diinginkan apa sebegitunya susahnya untuk sekadar memberi nama?
Mardiyah benci.
Kehidupan macam apa yang akan ia dapati karena terlahir dari rahim perempuan hina seperti itu?
Menjijikan.
"Kak Mar ..."
Jendela kamar Mardiyah yang sedikit terbuka menampakkan Inayah yang mengintip.
"Ada apa?"
"Ehmm ... a-aku boleh masuk, Kak?"
Mardiyah beranjak dari ranjang, dan membuka pintu perlahan. "Mau ngapain?"
"A-aku lihat, K-kak Mar nangis. K-kak Mar nggak pa-pa?"
Pandangan Mardiyah yang semula tajam, kini melembut. Padahal asrama Inayah termasuk jauh dari asramanya, mengapa bisa gadis kecil itu bisa sampai sini? "Kakak nggak pa-pa, Naya."
"Mau masuk?"
Secepatnya Inayah menggeleng. "E-enggak, o-orang Kak Mar di luar, ngapain aku masuk?"
"Kakak masuk. Ayo, masuk."
Langkah kecil Inayah memasuki kamar asrama Mardiyah, pandang gadis kecil itu mengedar mungkin bingung ingin duduk di mana.
"Duduk di atas kasur aja," ucap Mardiyah.
Inayah duduk di tepi ranjang, ia memilin jari-jari tangannya dengan menunduk ia berujar, "Kakak ... ke-napa nangis?"
"Masalah orang dewasa."
"Ehm ... e-emang masalahnya orang dewasa apa? Kok Kakak sampai nangisnya begitu banget," tanya Inayah.
Mardiyah tersenyum getir. Bagiamana kiranya ia menangis sampai Inayah merasa aneh? "Begitu gimana?" tanyanya.
"Ka ... yak sakit banget gitu."
Masalahnya emang sakit, Nay, batin Mardiyah.
"Sakit dikit, Nay," ujar Mardiyah.
Inayah mengangguk. "Bi-biasanya kalau orang nangis di peluk bakalan diem. K-kak Mar mau aku peluk?"
Kali ini bukan senyum getir. Namun senyum tipis yang ia tampakkan untuk Inayah---gadis kecil ini belajar dari mana? Pengetahuan dari mana bahwa pelukan adalah obat dari rasa sakit semacam ini?
"Boleh, sini."
Inayah mendekat merentangkan tangan memeluk dengan begitu erat. "Gimana Kak?" tanya Inayah.
"Apanya yang gimana?"
Tepukan terasa di punggung Mardiyah.
"Pelukannya Kak," ucap Inayah.
Orang-orang benar tentang pelukan. Dekapan ini terasa hangat dan nyaman, gadis kecil ini seakan-akan cerminan dirinya yang dulu. Mengapa bisa pelukan dari Inayah begitu membuatnya merasa damai dan membaik?
Sakit di dadanya mereda.
"Nyaman, Nay."
Terasa seperti pelukan masa kecilku dengan dia, batin Mardiyah.
Note:
Kejadian dua tahun yang lalu pasca empat bulan kecelakaan Ayah Lutfan, Ayah Jafar dan Jafar, Lutfan masih umur 18 tahun mau lulus sekolah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Olan
like dari My husband cold lecturer😍 mari saling dukung😍😍
2022-02-04
1
auliasiamatir
nyicil baca dulu Thor...,
salam CINTA TAK PERNAH MATI
2021-12-22
1