"Nyaman, Nay."
Dekapan hangat yang terjadi dua menit lamanya terlepas. Gadis kecil itu menatap Mardiyah dengan netra indahnya, dan bertanya, "Kak Mar, udah baikan?"
"Lumayan."
Mardiyah beranjak dari ranjang, membuka laci pertama dan setelah mendapat apa yang diinginkannya, ia berbalik. "Buat kamu, Nay."
"Co-cokelat?"
Mardiyah mengangguk. "Hadiah."
"Ma-makasih, Kak Mar."
Mardiyah sedikit menunduk---menyentuh kedua bahu gadis kecil itu. "Sana. Kamu balik ke asrama," ujarnya.
"I-iya, Kak. Naya pamit. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Mardiyah tidak pernah memungkiri bahwa pelukan memang manjur untuk menenangkan diri. Ia sedikit tenang. Pelukan Inayah masih terasa, ia juga merasa seakan-akan disayangi oleh keluarga. Ia paham semua orang di panti asuhan Al-Hikmah adalah keluarganya. Namun tetap saja, tidak semua bersedia menerima.
Amplop cokelat itu masih tergeletak di ranjang. Hari ini usianya tepat dua puluh satu tahun, cukup dewasa untuk menghidupi diri sendiri. Ah tidak, ia lupa selama ini ia memang hidup sendiri di panti asuhan. Rasa ingin membakar surat yang diberikan oleh wanita hina itu sangat besar.
Tapi apa boleh? batin Mardiyah.
Ia takut dengan membakar surat itu, sama saja dengan menghilangkan rasa hormatnya pada Umma Sarah---seorang Ibu panti asuhan yang mengurusnya sendari kecil.
Mardiyah menggeleng. "Enggak. Aku nggak bisa."
Cepat-cepat Mardiyah membuka laci dan memasukan amplop cokelat itu di sana. Ia tak ingin membacanya sekarang, nanti. Iya, nanti jika ia sudah sangat siap.
"Enggak-enggak. Sekarang aja."
Mardiyah kembali membuka laci. Ia takut jikalau mengulur waktu akan membuatnya berakhir membuang secarik kertas di dalam amplop itu.
Santai, Mardiyah. Kamu tinggal buka surat ini, batin Mardiyah.
Saat amplop di buka kertas di dalamnya terlihat usang, sedikit kecoklatan hendak robek. Mardiyah jadi berpikir sudah berapa tahun surat ini di buat? Ah, iya. Sewaktu kelahirannya.
Anak Ibu ...
Semakin bertumbuh besar kamu pasti semakin cantik. Sayangnya Ibu tidak melihat itu, Nak.
Percaya lah Nak, Ibu sama sekali tidak berniat membuang kamu. Ibu hanya merasa belum sanggup untuk merawatmu seorang diri. Ibu takut menelantarkan amanah yang telah Allah berikan kepada Ibu, Nak.
Anggap lah Ibu ini adalah gadis muda yang bodoh. Karena tidak mampu menjaga diri selayaknya manusia yang kuat. Orang-orang benar mengenai kelahiranmu yang tanpa Ayah, kamu tidak perlu malu Nak. Ada seorang Ibu muda yang begitu baik, beliau akan menjagamu di panti asuhan ini.
Dada Mardiyah terasa sesak. Bukan karena rasa kecewanya, tapi karena seorang wanita yang menyebutkan dirinya Ibu harus rela menitipkan anak seusianya di panti asuhan ini.
Apa ... I-ibu di perkosa? batin Mardiyah.
Tangan Mardiyah meremas kuat sisi kiri secarik kertas itu. Dan lanjut membaca.
Mungkin Ibu muda itu akan menyerahkan surat ini di usiamu sekitar lima belas tahun. Karena Ibu yang memintanya, Sayang. Di usai ini, kamu harus menjaga dirimu sebaik-baiknya, jangan biarkan orang lain berkuasa atas dirimu tanpa kehendakmu langsung.
Jangan pernah sayang ...
Nak, ingin rasanya Ibu memeluk kamu. Percayalah setiap hari Ibu merindukanmu, Ibu tidak tahu sepanjang apa usia Ibu nanti. Namun Ibu harap masih ada waktu bagi Ibu untuk melihatmu lagi, Ibu tidak bisa berjanji, tapi Ibu akan menemuimu.
Entah kapan. Ibu pasti akan datang.
Air mata Mardiyah membasahi kertas usang itu, menetes sedikit demi sedikit diiring rasa sakit di dadanya yang kian lama kian dalam.
Maaf.
Karena Ibu tidak memberimu nama. Bukan tidak sayang, Ibu sangat menyayangimu. Tetapi sungguh, Nak ... Ibu hanya takut laki-laki itu datang dan mengambilmu sebagai anaknya.
Ibu tidak mau itu terjadi.
Kamu adalah anak Ibu seorang. Tidak ada yang boleh mengambilmu dari Ibu dan panti asuhan itu adalah tempat yang tepat untuk membuatmu tumbuh sebagai gadis yang baik.
Nama Ibu adalah Zanitha. Seorang anak tunggal yang hanya bisa membuat orang tuanya menderita saja. Maafkan Ibu juga harus mengecewakanmu dan membuatmu menderita.
Maaf Ibu tidak memberikanmu keluarga yang utuh dan bahagia. Tolong maafkan Ibu, Nak.
Do'a Ibu hanya satu untukmu ...
Semoga kelak ada seorang laki-laki baik yang menjadikanmu istrinya dan memberikanmu keluarga serta rasa bahagia yang tidak pernah bisa Ibu berikan untukmu.
Aamiin.
Jika kelak kita bertemu Ibu ingin tahu, nama indah apa yang diberikan oleh Ibu muda baik itu padamu.
Salam, Zanitha.
Kertas usang itu Mardiyah letakkan di sampingnya. Ia lepas. Isakan demi isakan yang menyakitkan kian terdengar lara, ia telah berburuk sangka pada Ibunya. Namun sungguh ia tetap kecewa, ia lebih memilih hidup menderita bersama Ibunya dibandingkan harus hidup sendiri di panti asuhan ini. Untuk apa ia bisa makan? Jika ia sendiri tak tahu apa Ibu yang telah melahirkannya telah berkecukupan atau tidak? Untuk apa tempat tinggal ini? Jika ia sendiri tak tahu, Ibunya memiliki tempat berteduh atau tidak.
"Ibu jahat ... Ibu tinggalin aku di sini."
Ia terduduk lemas di bawah ranjang. "Ibu pikir a-aku bakal bahagia hidup tanpa Ibu?"
"I-ibu jahat. Ibu nggak ngerti gimana sakitnya aku selama ini!"
Di remasnya tepi kayu ranjang dengan kuat, ia menunduk dalam. "Lebih baik hidup berdua bersama dan saling berbagi derita, Bu."
"I-itu lebih baik. Itu lebih baik ... dibandingkan sendiri-sendiri dan saling menderita tanpa bisa bertemu seperti ini ... Bu. Ibu jahat ..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
😢😢😢😢😢😢😢
2024-03-04
1
Donna Armen
🥰👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍🥰
2022-09-17
1