Part 2

Cinta Di Balik Tembok

Part 2

Tiga bulan berlalu setelah malam itu, Semy dan Annisa semakin dekat. Semy bisa melihat ada ketulusan di hati Annisa. Annisa mengenalnya sebagai seorang karyawan biasa. Ia rasa sudah cukup baginya mengenal Annisa dan ia ingin melamarnya.

Di sebuah rumah sederhana, Annisa sedang duduk santai menikmati malam di teras depan. Ibunya keluar dari dalam rumah lalu duduk di samping Annisa

"Nisa …." sapa Ibu.

"Iya, Bu, ada apa?" jawab Annisa sedikit heran.

"Ibu lihat, Nisa sama Nak Semy sudah lama kenal. Kalian sudah sama-sama dewasa, bukan masanya untuk sekadar pacaran. Apa Semy mau jika hubungan kalian lebih serius?"

Mendengar pertanyaan dari ibu, Annisa terdiam menahan malu. "Ada, Bu. Bang Semy sering ngomong ingin bertemu Ibu dan Ayah. Tapi Nisa belum berani bilang ke Ibu."

"Ya … udah. Kalau Nak Semy sudah ada niat baik begitu, segerakanlah. Ibu tak memilih-milih menantu. Asal jelas agamanya, bisa jadi imam dalam rumah tangga, punya pekerjaan yang halal untuk menafkahi anak istri, dan menyayangi Nisa sepenuh hatinya. Itu sudah cukup bagi Ibu." papar Ibu dengan nada lembut penuh kasih sayang.

"Iya, Bu. Nanti Nisa bilang ke Bang Semy kalau Ayah dan Ibu menerima niat baiknya."

Setelah pembicaraan itu, Annisa masuk ke kamar dan langsung merebahkan badan di kasur yang tak begitu empuk.

Wajahnya sesekali ditutup dengan bantal saat mengingat kata-kata ibu. Seperti anak ABG yang sedang jatuh cinta, malam ini Annisa tersenyum-senyum sendiri.

Notifikasi pesan WA menghentikan sejenak tingkah konyolnya.

[Mungil, besok abang jemput, ya, besok masuk pagi, kan?] ternyata pesan dari Semy.

[Oke, Bos. Siap] balas Annisa cepat.

[Jangan lupa siapin bekal untuk calon suamimu ini, ya!]

[Ya, elah ... maunya gratisan.] ledek Annisa.

[Hahaha. Sampai jumpa besok pagi, ya, Mungil]

***

"Hay, Bro! Ke mana aja lu ... susah banget ditemuin? Jam kantor selesai, lu udah menghilang." Seorang pria memasuki ruang kerja Semy begitu saja.

"Lu, ya … kalau masuk ruangan orang itu permisi dulu! Bukan main nyelonong aja," ucap Semy kesal, tetapi masih fokus membaca berkas-berkas di atas meja.

"Sorry, Bro. By the way, lu belum jawab pertanyaan gue," ujar Bian.

"Iya … gue cerita, nih." Semy mengalihkan fokus dari pekerjaannya. "Gue lagi dekat sama cewek. Gue yakin, dia cocok jadi istri gue," ucapnya mantap.

"Alhamdulillah … gitu dong, Bro. Lu itu udah bapak-bapak, jadi jangan lama-lama kayak anak ABG."

"Ck. Berisik aja, lu." Semy menutup berkasnya.

"Pantes, sekarang lu jadi giat banget kerja. Biasanya kalo Ayu ngeletakin berkas-berkas di meja, bisa tiga hari baru lu baca. Sekarang, sehari aja udah selesai tuh kerjaan."

Pernyataan Bian, membuat Semy tidak bisa menahan tawa.

"Iyalah. Modal resepsi itu mahal. Jadi gue mesti giat nyari uang."

Bian pun tertawa mendengar jawaban asal-asalan yang diucapkan sahabatnya itu.

"Lunch, yuk! Laper, gue."

"Sorry, gue udah dibawain bekal sama calan istri." Semy mengeluarkan kotak makanan dari dalam tasnya. Ada tiga bagian yang berisi nasi, lauk, dan sayur.

"Lu mau? Tapi … nggak usah, ya! Ini cuma cukup untuk gue. Sekarang, udah keluar! Terserah lu mau ke mana. Gue mau nikmati makanan bikinan Annisa." Sambung Semy

"Oh, jadi nama cewek lu itu Annisa? Berarti muslim, ya, dia?"

"Yups! Kok, lu tau?" Tatapan Semy penuh selidik.

"Dasar bodoh! Itu, kan, nama salah satu surat dalam Al-Qur'an. Okelah, Bro, selamat makan. Selamat atas terputusnya jomblo panjang lu. Kalo lu serius, nikahi dia … lamar ke ortunya!" Bian berdiri dari tempat duduknya dan melangkah ke arah pintu.

"Pastilah. Jumat ini, gue bakal temui Annisa," sahut Semy dari balik meja kerjanya.

"Good luck my best!" Bian memberikan semangat dengan mengepalkan tangan kanannya.

Bian merupakan sahabat sekaligus rekan kerja Semy yang ikut pindah ke Pekanbaru.

Semy menyuap makanannya kembali. Namun, tiba-tiba jantungnya berdesir, muncul perasaan takut jika itu terakhir kalinya dia bisa merasakan masakan Annisa.

"Perasaaan apa ini? Bukannya dia akan menjadi istriku sebentar lagi?" gumamnya.

***

Jumat ini, Semy menemui Annisa di kafe tempatnya bekerja. Kafe itu mempunyai jadwal buka setelah selesai salat Jumat. Jadi, banyak waktu untuk mereka berbincang.

Semy dan Annisa duduk di pojok ruangan dengan dua kursi saling berhadapan.

"Nis, apa sudah dibicarakan sama Ibu dan Ayah tentang niat Abang?" tanya Semy.

Bidadari berkerudung yang sedang duduk di depannya itu tampak malu. Sambil menunduk, Annisa menjawab dengan pelan.

"Sudah, Bang. Kata Ibu, Abang disuruh ke rumah untuk memperjelas hubungan kita."

Mungkin jika perbincangan tersebut bukan di tempat umum, Semy sudah teriak kegirangan. Gegas, Semy mengeluarkan kotak cincin dari saku celana, lalu membukanya dan menyodorkan ke arah Annisa.

"Annisa … will you marry me?" Semy berucap dengan penuh serius.

Mendapatkan pertanyaan itu, Annisa terdiam. Rona malu-malu nan bahagia terpancar di wajah naturalnya.

"Tutup kotak ini jika Nisa menolak. Tapi, ulurkan tangan Nisa jika menerima Abang …."

Suasananya begitu romantis bagi seorang Shamuel. Pria tiga puluh tahun itu sedang menunggu keputusan dari gadis yang usianya beda lima tahun di bawahnya.

Untuk kedua kalinya Semy ingin berteriak dan meloncat kegirangan, saat Annisa mengulurkan tangan kirinya. Semy pun segera menyematkan cincin di jari manis gadisnya.

"Bang," panggil Nisa pelan.

"Iya, ada apa?" jawab Semy lembut.

"Sudah mau jam dua belas, sebentar lagi azan salat Jumat. Dekat sini ada mesjid kira-kira 500 meter." Annisa menunjuk dari dalam kafe ke arah mesjid yang dia maksud.

Semy bingung bagaimana harus mengatakannya. Ia tak mungkin mengubah kebahagiaan beberapa menit tadi menjadi duka. Setelah menarik napas panjang, Semy mencoba memberitahu kenyataan sebenarnya.

"Nisa … Abang Katolik." Kata-kata Semy cukup menorehkan luka bagi gadis yang berpegang teguh pada ajaran agamanya.

Annisa berubah tegang. Semy ingin menyentuh dan menggenggam tangannya.

Namun, itu tidak mungkin. Sedari awal, Annisa sangat menjaga diri agar tidak disentuh karena persoalan bukan mahram.

"Kenapa Nisa bodoh, nggak pernah menanyakan hal ini dari awal? Apa karena hati ini terlanjur nyaman?" Air mata gadis itu mengalir membasahi wajah tirusnya.

"Bukan Nisa yang salah, ini salah Abang. Abang yang nggak jujur kepada Nisa, padahal Abang tau … kita berbeda."

"Bagaimana mungkin kita berlayar kalau nahkoda dan penumpang punya tujuan dermaga berbeda?"

Hati Semy menjadi sakit mendengarnya. Ternyata perbedaan itu yang menghancurkan mereka. "Abang akan jadi mualaf demi Nisa, karena Abang benar-benar sayang sama Nisa."

"Bang, jangan pernah mengubah keyakinan hanya karena seseorang, tetapi rubahlah keyakinan karena hati Abang benar-benar meyakininya." Nisa langsung berdiri dan beranjak meninggalkan Semy yang masih terpaku di tempat duduknya.

"Nisa!" Panggilan Semy akhirnya menghentikan langkah Annisa.

"Tunggulah Abang! Tapi jika Nisa sudah tak sanggup untuk menunggu … kembalikan cincin itu sebagai bukti Nisa menyerah. Tapi akan Abang buktikan, Abang bisa." ucap Semy

"Bagaimana kita bisa satu rumah, sedangkan rumah ibadah kita berbeda?" Annisa melirik ke arah jarinya sesaat, kemudian berlalu tanpa melihat Semy.

Semy memilih meninggalkan kafe tersebut dengan hati yang teraduk pilu. Semy yang selama hidupnya tidak pernah dibingungkan urusan wanita, kini tampak terpuruk.

"Jika dia terbaik untukmu, berusahalah … jangan biarkan rasa gengsi menguasaimu. Kamu akan menyesal nantinya."

Dua sisi hati Semy sedang berdebat. Mungkinkah cinta itu dahsyat? Mampu mengubah seseorang dan keyakinannya?

Walaupun Semy bukan jamaat yang taat, sanggupkah dia menjalani hidup sebagai muslim? Seperti kata Annisa, jangan merubah kepercayaan demi seseorang, tetapi ubahlah jika sudah benar meyakininya.

***

Di ruangan yang digunakan untuk beristirahat para karyawan, Annisa duduk sendiri dengan tatapan kosong. Jiwanya melayang jauh, sedangkan air mata masih membasahi pipinya.

"Dek, kalau kamu mau istirahat … pulang saja! Kakak izinkan kamu untuk libur hari ini." Meta yang memperhatikan dari tadi, menghampirinya.

Annisa menatap sendu rekan kerjanya itu. Meta langsung memeluk Annisa. Tangis Annisa pun kembali pecah. Sebenarnya ia bukan gadis kuat. Akan tetapi, keadaan yang memaksanya untuk menjadi tegar.

"Sabar. Tenangkan diri kamu! Kakak tau ini berat, tapi jangan pernah mengambil keputusaan di saat kamu seperti ini. Kalo kamu belum siap menceritakan semua ini sama ayah dan ibumu, istirahat di kost Kakak dulu. Tenangkan hati!" Meta melepaskan pelukan dan memberikan kunci kamar indekosnya.

Annisa meraih kunci indekost Meta dan pergi meninggalkan kafe untuk saat ini. Ia ingin menenangkan diri. Gadis itu merasa sudah seperti budak cinta. Namun, seandainya orang lain mengalami hal yang sama, maka hatinya pasti akan hancur juga.

Sementara di tempat lain, Semy menelepon sekretarisnya agar meng-cancel semua janji hari ini. Pikirannya kacau. Dia melajukan mobilnya ke arah sebuah rumah yang terletak di lingkungan pesantren.

Seperti sudah memiliki firasat akan ada yang datang, Pak Ustaz—sang pemilik rumah—telah duduk di teras rumah. Semy pun turun dari mobil dan segera menyapa pria tersebut.

"Ada apa Nak Semy? Kamu terlihat kusut sekali?" tanya Pak Ustaz dengan lembut nan menyejukkan.

"Pak, semua isi hati saya sudah saya utarakan. Dia menerima saya, tetapi semua salah saya … kenapa tidak dari awal mengatakan bahwa saya bukan muslim. Saya dapat melihat betapa hatinya hancur, Pak. Saya begitu bersalah membuat orang yang saya cintai menangis." Suara yang biasanya lantang dan penuh percaya diri itu, kini melemah.

"Nak Semy, apa gadis itu tau bahwa Nak Semy sudah belajar mengenal Islam?" tanya Pak Ustaz.

"Tidak, Pak. Saya hanya memintanya untuk menunggu jika masih mau menunggu," terang Semy.

"Seandainya, kamu sudah memilih Islam sebagai agamamu dan ternyata gadis itu tidak sanggup menunggu, apa Nak Semy akan kembali kepada agama sebelumnya?" Kembali Pak ustaz memberu pertanyaan kepada Semy.

"Tidak, Pak. Dari awal mengenal Annisa, saya mulai mencari tau apa itu Islam. Semakin saya membaca, semakin saya ingin mengetahuinya lagi. Hati ini selalu nyaman saat saya mendengar suara orang membaca Al-Qur'an," jelas Samy dengan mantap

"InsyaAllah, jika Annisa itu jodoh yang ditakdirkan Allah untuk Nak Semy, semua akan dimudahkan. Tinggal kita menjalaninya saja. Asal Nak Semy tau, daun yang jatuh ke bumi saja, itu atas kehendak Allah dan tak ada yang tidak mungkin bagi Allah."

Terpopuler

Comments

Nomi

Nomi

kisahnya kurleb seperti kisah kakak ku,..
pacaran beda keyakinan,.
tapi sekarang sudah hidup masing" dengan keluarga n anak" mereka,.

2022-01-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!