Arin keluar dari lift dengan penuh kekesalan, setibanya di lantai dasar ia tak langsung pergi. Gadis itu memilih pergi ke pintu yang menuju tangga darurat yang letaknya tak jauh dari lift persis seperti di lantai 7 tadi.
Arin duduk di tangga sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, air matanya perlahan mulai keluar. Tak mudah menjadi seorang pembantu, ia harus bisa menekan emosinya. Apalagi saat ini Arin sangat memerlukan uang. Jika terbawa emosi, bisa-bisa Arin dipecat. Majikan mana yang mau mempekerjakan ART yang temperamental.
Beberapa menit kemudian Arin mengusap air matanya, ia sudah merasa lebih lega saat ini. Ia menatap pintu di depannya dengan tekad. Harus lebih sabar, sekalipun ingin membela diri, jangan sampai terbawa emosi saat menyampaikan pembelaan.
Dengan satu hentakan Arin membuka pintu, namun saat melihat sesosok tubuh atletis di depan lift Arin segera kembali dan menutup pintu.
"Kak Salton, ngapain dia disini?" Arin memegangi dadanya yang terasa berdebar lebih cepat. Ia takut keberadaannya diketahui pemuda yang saat ini tidak ingin ia lihat.
Arin menunggu, saat dirasa pemuda tadi sudah tak ada, Arin keluar perlahan. Ia mengintip untuk memastikan dugaannya. Setelah pasti tak ada lagi Salton di sana, Arin segera berlari menuju utama dimana mobil perusahaan telah menunggu. Berulang kali Arin mengucapkan permintaan maaf karena membuat Sang Sopir menunggu dirinya.
"Hari ini olahraga jantung terus dari pagi. Hhhhh." ia meletakkan kepalanya di kaca jendela, menatap jalanan ibukota dengan lesu.
"Sabar Neng, nasib pekerja rendahan kayak kita, selalu jadi sasaran kemarahan majikan." tiba-tiba Pak Sopir memberi semangat pada Arin. Padahal Arin tidak menceritakan seluruh kejadian yang menimpanya. Mungkin tanpa bercerita, wajahnya sudah menggambarkan dengan jelas.
Arin tersenyum kecut mendengar nasehat Pak Sopir. "Iya Pak, terima kasih."
"ART baru Tuan Besar ya."
Arin mengangguk dengan senyuman kecil saat sekilas bertatapan dengan pria paruh baya yang sedang mengemudi itu.
"Nama saya Dadang." ucapnya memperkenalkan diri.
"Nama saya Arin, Pak."
"Neng Arin harus banyak-banyakin stok sabarnya ya. Sebenarnya keluarga Tuan Wasesa baik. Tapi kadang-kadang kalau lagi kumat, Tuan Sadewa suka nuduh macem-macem dan ngomong ngelantur Neng."
"Obatnya suka habis ya Pak." keduanya terkekeh. Topik pembicaraan paling menyenangkan diantara sesama pekerja, membicarakan majikannya.
***
Sadewa mengepalkan kedua tangannya, wajahnya telah sepenuhnya memerah menandakan kemarahan yang memuncak. Namun tak sedikitpun ia beranjak dari tempatnya duduk saat ini. Bukan tanpa alasan ia membiarkan sejoli yang berdiri tak jauh darinya itu bermesraan. Pemuda itu sedang memberi kesempatan pada orang bayarannya untuk mengabadikan moment tersebut.
Malam ini ia mengumpulkan bukti perselingkuhan tunangannya, Della. Setelah siang tadi, orang bayarannya menelepon memberikan informasi pertemuan Della dengan pemuda lain.
Sebenarnya, jika ingin mengakhiri pertunangan mereka, ia bisa melakukannya begitu saja. Namun ia tak ingin dianggap bertindak sewenang-wenang tanpa bukti.
"Tuan, anda yakin ingin terus menyaksikan ini?" Sang Fotografer sudah bergidik ngeri melihat wajah pemuda disampingnya.
"Teruskan saja pekerjaanmu." ucap Sadewa datar.
Kedua orang itu kini sudah berpindah ke mobil setelah sasaran mereka terlihat akan meninggalkan kafe. Tak jauh dari kendaraan mereka, sekali lagi Sadewa disuguhkan pemandangan menjijikkan yang dilakukan wanita yang mengaku sangat mencintai dirinya. Mereka menunduk saat Della dan seorang pemuda yang baru dikenal Sadewa masuk ke mobil pemuda itu.
"Sekarang bagaimana Tuan? Apakah kita harus mengikuti mereka lagi?"
"Tidak perlu. Aku ingin pulang." suara Sadewa terdengar begitu menakutkan.
Fotografer itu hanya mengangguk pelan kemudian melajukan mobil pergi dari tempat itu.
Sepanjang perjalanan Sadewa hanya memejamkan mata dengan tubuh yang merosot dari tempat duduk. Tampak ia susah payah mengendalikan amarah yang menggelegak.
3 tahun menjalin hubungan dengan Della, meski ditentang oleh kedua orang tuanya Sadewa tetap menjalani. Ia berusaha menunjukkan sisi baik gadis pilihannya, berharap suatu saat Papa Pandu dan Mama Kandi bisa luluh dan menerima gadis itu.
Saat mereka menyetujui pertunangan Sadewa dan Della empat bulan lalu, pemuda itu sempat berpikir akhirnya keluarganya dapat menerima Della. Namun ia salah, keputusan mereka menerima kekasihnya semata-mata hanya karena mengalah padanya dan mementingkan kebahagiaannya.
Mengingat semua itu membuat kemarahan Sadewa semakin menjadi. Ia merasa menjadi anak paling tidak berbakti di seluruh dunia sekaligus pemuda bodoh yang dengan mudahnya tertipu oleh wajah cantik dan tubuh molek seorang gadis.
Kalau saja dulu ia mendengarkan Mamanya saat pertama kali mengenalkan Della. Kalau saja ia mendengar ucapan Papa saat beliau marah mengetahui pekerjaan Sadewa terbengkalai karena Della. Kalau saja ia mendengarkan pendapat saudara kembarnya, Nakula, mengenai Della.
Kalau saja...
Kalau saja...
Kalau saja...
"Bodoh! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Aarrgghhhhhh!!!" teriakan frustasi dari bangku belakang membuat Fotografer itu terkejut dan merasa iba saat melirik Sadewa dari kaca spion.
***
Arin baru akan kembali ke kamar saat ia melihat lampu dapur rumah utama menyala. Perasaan tadi sudah dimatiin lampu utamanya, kok sekarang nyala lagi.
Gadis itu membuka pintu dan terkejut saat melihat Sadewa sedang menatapnya dengan satu tangan membuka laci atas.
"Ada yang bisa saya kerjakan, Tuan?" Arin maju sambil menunduk.
"Angkat wajahmu." entah kenapa setelah kejadian tadi siang, Sadewa jadi senang berbicara dengan Arin sambil menatap wajah gadis itu. Arin mengernyit mendengar perintah itu, namun mau tak mau ia mengangkat wajahnya.
Hening beberapa saat sampai akhirnya Sadewa berdehem karena melihat Arin seakan terperangah waktu menatapnya. "Kenapa melihat seperti itu? Kau terpesona padaku?"
"Tidak, Tuan." jawab Arin dengan tenang, ia sudah memutuskan untuk lebih sabar.
"Jangan berbohong, kamu ini hobi sekali menipu."
Ya ampun, manusia ini! Hobi sekali nuduh-nuduh sembarangan! Otak itu isinya apa sih?! Arin hanya bisa mengomel dalam hati, tak habis pikir dengan majikannya yang satu ini.
"Benar Tuan, saya tidak berbohong." Arin menghela napas dan menekan suaranya. Sabar, sabar, sabar, gumamnya merapal mantra baru. "Lagipula saya sudah sering melihat pemuda tampan dan kaya seperti Tuan." imbuh Arin dengan lugunya.
Sadewa juga menyadari jawaban jujur itu, terlebih lagi ekspresi polos Arin saat mengatakannya. Pemuda itu berdehem menutupi kecanggungannya.
"Lalu kenapa menatapku seperti itu?"
"Ada laba-laba di ujung rambut Tuan dan bergerak mendekati telinga kiri."
"Apa?!" Sadewa refleks mengibas tangannya untuk membersihkan rambutnya.
"Baiklah, buatkan aku teh dan antar ke ruang kerjaku." titahnya kemudian.
"Baik Tuan Muda."
Arin merebus air untuk menyeduh teh, ia lebih suka menggunakan air yang baru mendidih ketimbang air dari dispenser. Beberapa menit kemudian Arin segera membawa teh ke ruang kerja yang terletak berdekatan dengan ruang tengah.
Gadis itu masuk setelah mengetuk dan mendengar jawaban dari dalam. Tatapan tajam nan menusuk menyambut kedatangannya. Gugup menyergap, namun ia sebisa mungkin mengabaikan tatapan itu dan dengan tenang meletakkan teh di meja kerja Sadewa.
"Saya permisi, Tuan."
"Mau kemana?"
"Kembali ke dapur, Tuan."
"Untuk apa?"
"Menunggu Tuan. Supaya cangkirnya bisa langsung saya cuci."
"Tidak perlu, saya bisa cuci sendiri."
"Tapi Tuan nan...."
"Kamu pikir aku Tuan Muda yang tak bisa melakukan hal sekecil itu?"
"Tidak Tuan. Maaf." sekali lagi Arin hanya bisa mengatakan itu. "Saya permisi, Tuan."
"Tunggu!" perintah Sadewa menghentikan langkah Arin. "Tatap wajahku!"
Perintah aneh lagi. Hadehhhhh. Rutuk Arin dalam hati. Dengan berat hati ia mendongak dan melihat wajah tampan pemuda di hadapannya.
"Apa kau terpesona padaku?"
"Tidak, Tuan."
"Kau tidak boleh kembali ke kamarmu."
Mata Arin membulat sempurna. "Iy-iya Tuan, saya terpesona wajah tampan Tuan."
"Penipu!" hardik Sadewa. "Pergilah! Bawa teh ini juga."
Majikan sialan!!!
Arin maju dan mengambil kembali teh yang baru ia seduh. Dengan perasaan dongkol luar biasa ia membuang teh dan membersihkan cangkirnya.
***
Jangan lupa likenya ya❤❤❤❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
YuWie
sadewa yg aneh... ehhh blm2 dela udah tersingkir tuh
2023-05-25
0
hìķàwäþî
sadewa narcis!
2022-10-06
1
hahaha... betullll
2022-08-05
1