Bab 3

05.40, Arin baru saja menyelesaikan tugasnya menyapu dan mengepel ruang tamu serta ruang tengah. Saat mulai mengelap guci dan ornamen di ruang tamu, Tuan Pandu Wasesa lewat hendak berolahraga di taman depan. Pria paruh baya itu berhenti dan menatap lekat Arin yang sedang bekerja. Tuan Pandu berniat menghampiri, namun karena waktunya tak banyak beliau memilih untuk meneruskan langkahnya. Sementara itu, karena fokus dengan yang dikerjakan, Arin jadi tak menyadari kehadiran Tuan Besar.

Beberapa menit kemudian, Arin masih sibuk membersihkan berbagai jenis ornamen pemanis ruangan. Saat sepasang mata elang mengamatinya dari belakang.

"Aahhhh!!!" Arin terpekik namun segera membungkam mulutnya dengan tangan kiri. Arin dikejutkan dengan kehadiran Sadewa yang sudah berdiri tak jauh di belakangnya saat ia berbalik.

"Ma-maaf Tuan Muda, saya tidak tahu Tuan ada di belakang saya." ujar gadis itu dengan menunduk. "Ada yang harus saya kerjakan, Tuan?"

"Tidak ada." sahut Sadewa datar.

"Um. Iya, Tuan." Arin bingung, ia ingin melanjutkan pekerjaan. Tapi jika berdiri membelakangi Tuan Muda ia bisa dianggap tidak sopan.

"Kenapa tidak lanjut bekerja?" tanya Sadewa sambil melipat kedua tangannya.

"Um, it-itu Tuan. Umm...." kata apa yang tepat untuk diucapkan, Arin benar-benar bingung.

"Kerja saja, tak perlu sungkan untuk membelakangiku." Sadewa mengerti kebingungan gadis dihadapannya.

"Baik, Tuan." gadis itu berbalik dan melanjutkan pekerjaannya. Tak lama kemudian Sadewa melangkah ke samping Arin dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Tingkahnya sudah seperti supervisor yang sedang mengawasi pegawai magang bekerja.

Tuan Muda ini nggak ada kerjaan ya? Ngapain berdiri disitu? Buat aku jadi nggak enak kerjanya. Arin bergumam sambil kadang melirik Sadewa.

"Jangan melirik terus, lama-lama kamu bisa juling." suara Sadewa terdengar seperti radio rusak di telinga Arin.

Kamu sih, buat orang nggak nyaman. Arin mencebik tanpa sepengetahuan Sadewa. "Maaf, Tuan." hanya itu yang dapat dilontarkan Arin.

"Sadewa, kamu ngapain disitu?" Mama Kandi heran dengan keberadaan putranya di sisi Arin yang sedang bekerja.

"Mengawasinya Ma." jawab Sadewa singkat.

"Ngawasi? Tumben. Beberapa bulan lalu ada tukang kebun baru, sepertinya kamu nggak ngawasi tuh."

Sadewa menoleh menatap Mamanya, ia mengerjap seolah baru sadar dengan apa yang ia lakukan. "Dewa mau siap-siap ngantor dulu." ia mengecup singkat pipi Mama Kandi kemudian kembali naik ke lantai dua. Sebelum mencapai ruang tengah yang dibatasi tembok dengan ruang tamu, ia berhenti dan menoleh menatap Arin, gadis itu tetap bekerja tak terusik dengan kepergiannya.

"Sadewa ngerjain kamu, Rin?" tanya Nyonya Kandi selepas kepergian putranya.

Arin menghentikan tugasnya dan berbalik menghadap ke arah majikannya. "Tidak Nyonya."

"Beneran?"

"Iya Nyonya."

"Trus, tadi dia ngomong apa?"

"Tidak ada Nyonya. Tuan Muda diam saja berdiri di sana."

Nyonya Kandi mengernyit. "Ya sudah, cepat selesaikan kemudian sarapan. Biar bisa gantian makan sama Mbok Yem. Selesai ngisi perut baru kerja lagi."

"Iya Nyonya."

Nyonya Kandi berjalan menuju taman untuk menghampiri suaminya.

"Yang bersih-bersih di ruang depan itu pembantu baru, Ma?" Tuan Pandu bertanya sambil mengayun-ayunkan kedua tangannya.

"Iya Pa. Kemarin diantar sama Miranti."

"Siapa namanya?"

"Namanya Arin, Pa."

"Hanya Arin?"

"Iya, emang kenapa Pa? Penasaran banget."

"Mukanya seperti tidak asing. Dia tidak seperti ART kita yang lain. Mama sudah pernah bertanya tentang keluarganya?"

"Belum sih Pa. Tapi bukan cuma Papa saja yang merasa seperti itu. Mama dan Sadewa juga sama."

"Sekali-sekali ditanya, tapi jangan seperti penyidik di kepolisian. Nanti dia merasa privasinya diusik. Walaupun dia pekerja upahan kita, jangan sekali-sekali melewati batas dan mengusik privasinya."

"Iya suamiku sayang." ucap Nyonya Kandi dengan mimik wajah yang lucu. "Mama selalu ingat kok untuk tetap menghargai orang apapun pekerjaannya."

"Good." Tuan Pandu mencolek cuping hidung Nyonya Kandi dengan sayang, membuat istrinya tersenyum malu-malu.

***

"Arinnnn...Arinnnn."

"Iya Mbak, ada apa?" Arin keluar dari kamar saat mendengar Mbak Inah memanggil.

"Kamu temani Nyonya Kandi ke kantor ya, antar makan siang buat Tuan Besar dan Tuan Muda."

"Kenapa bukan Mbak saja?" Arin enggan menerima tugas itu.

"Perut Mbak sakit banget, hari pertama tamu bulanan nih." jelas Inah sambil memegangi perut. "Mbok Yem sedang pergi belanja sama Nyonya Anjani. Yang lainnya juga punya tugas yang nggak bisa ditinggalkan."

"Iy-iya deh Mbak." Arin terpaksa menyetujui, ia mengulas senyum tipis melihat kelegaan di wajah Inah.

"Makasih ya Rin. Mbak ke dalam dulu, bilang ke Nyonya." Arin menatap kepergian Inah dengan lesu. Ia kembali masuk ke kamar untuk berganti baju yang lebih sopan.

Dan disinilah Arin, berdiri di samping Nyonya Kandi menenteng dua set rantang berisi makan siang untuk Tuan Pandu serta Tuan Nakula Sadewa. Lift yang mereka tumpangi berhenti di lantai 7 gedung PT. Nindya Karya.

Arin hanya berjalan mengikuti kemana Nyonya Kandi pergi. Karena sudah menelepon sebelumnya, keduanya lantas masuk setelah Sekretaris membukakan pintu. Arin segera meletakkan rantang di meja yang berada di depan meja kerja Tuan Pandu kemudian keluar dan duduk di sofa yang diletakkan di depan meja Sekretaris.

Untuk membunuh jenuh, Arin mengambil majalah yang terletak di meja. Tentu saja bukan majalah fashion yang digeletakkan disana. Dari pada Arin hanya berdiam diri, ia terus membaca majalah bisnis di tangannya.

Baru beberapa menit Arin mulai gelisah. Ia menoleh ke segala arah mencari-cari sesuatu. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk bertanya ada Sekretaris.

"Permisi Tuan, toilet ada di sebelah mana ya Tuan?"

"Dari depan lift tadi kamu belok kanan, toiletnya ada di sebelah kiri." jawab Sekretaris tanpa berpaling dari layar PC.

"Terima kasih, Tuan." Arin bergegas pergi karena sudah tidak tahan. Gadis itu bahkan setengah berlari menuju tempat tujuannya.

Beberapa menit kemudian gadis itu keluar dari toilet. Bukannya kembali ke tempatnya menunggu, ia memilih berjalan menuju jendela yang tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Setibanya di pinggir jendela, ia melihat ada koridor lain di sisi kirinya, entah menuju kemana jalan itu. Sedangkan disisi kanannya ada sebuah pintu dengan tulisan tangga darurat di bagian atasnya.

Arin mengangguk sambil tersenyum pada seorang OB yang sedang mengepel lantai di sisi kiri tadi. Rasanya baru sebentar ia mengamati jalanan di bawah sana saat pintu di sebelah kanan tiba-tiba terbuka. Arin terkejut, Sadewa keluar dari sana dengan ekspresi wajah menahan marah.

"Kamu?! Sedang apa disini? Menguping pembicaraanku?" Sadewa memberondong Arin dengan pertanyaan.

"Ti-tidak Tuan." Arin menjawab dengan menunduk. "Saya baru sa....Aaahhh!!!" Arin tak dapat menyelesaikan ucapannya karena Sadewa sudah menarik tangan Arin dan menutup pintu dengan kasar.

"Katakan apa yang kamu dengar!" titah Sadewa setelah mereka berada di dekat tangga darurat.

Arin sangat kesal, Sadewa menarik tangannya dengan kasar dan menuduhnya menguping. "Saya tidak menguping, Tuan Muda. Saya baru saja berdiri di tempat itu." kalimat Arin penuh dengan penekanan. Ia bahkan berani menatap mata Sadewa.

"Jangan bohong kamu!"

"Saya sadar saya hanya seorang pembantu, jadi saya tahu mana batasan saya. Untuk apa saya menguping, saya tidak ingin dipecat. Saya baru saja berdiri di dekat jendela itu. Tuan bisa bertanya pada OB tadi."

"Untuk apa saya bertanya pada OB itu!" sahut Sadewa ketus.

"Tuan Muda, apa keuntungannya untuk pembantu se...."

"Pembantu? Mana ada pembantu punya rambut lembut terawat, kulit sehat berkilau dan...." Sadewa terdiam menyadari ada yang salah dengan kalimat yang meluncur dari mulutnya. "Kamu pasti mata-mata perusahaan kami kan?!" tuduhan baru keluar begitu saja.

Arin semakin marah, tadi dituduh menguping, sekarang dituduh mata-mata.

"Memangnya salah kalau saya merawat diri, Tuan? Saya seorang gadis normal bukan ODGJ!!!" entah kenapa Arin merasa kesal dengan Sadewa, Tuan Muda yang satu ini sulit ditebak dan suka berpikir yang aneh-aneh.

"Permisi Tuan Muda, Nyonya Kandi menyuruh saya untuk menunggu di depan ruangan CEO." Arin memilih mengakhiri perdebatan, ia agak menyesal sudah berani membantah. Namun ia juga tidak ingin ditindas hanya karena statusnya sebagai ART Sang Tuan Muda.

"Kamu berani membantah saya?" pertanyaan Sadewa menghentikan tangan Arin untuk menarik gagang pintu. Gadis itu menarik napas untuk mengontrol emosinya.

"Tuan, saya hanya membela diri. Maaf jika saya lancang dan memberi kesan sudah membantah Tuan." Arin pergi meninggalkan Sadewa begitu saja. Kepergian ART itu membuat Sadewa merasa semakin kesal. Tadi saat Arin berdebat dengannya sambil membalas tatapannya, ada sesuatu yang terasa menyenangkan.

Sadewa membuka pintu dengan kasar hingga membuat OB yang sedang bekerja terperanjat. Pemuda itu keluar sambil menarik rambutnya dengan kasar. Saking kesalnya ia bahkan menendang ember yang tak jauh dari sana sampai pecah. Kemudian pergi begitu saja meninggalkan OB yang menatap embernya dengan lesu.

Setibanya di depan ruangan Papa Pandu, Sadewa melihat Sang Mama sedang berbicara dengan Arin. Gadis itu tampak sesekali menjawab disertai anggukan kecil. Ia mendekati kedua wanita itu dengan langkah lebar.

"Kamu dari mana saja Wa? Papa sama Nakula sudah makan duluan." Mama Kandi tersenyum lembut menyambut kedatangan putranya.

"Ada urusan sedikit Ma." jawab Sadewa sambil melirik Arin.

"Ya sudah kalau begitu, masuk sana."

"Iya Ma." tak ingin menimbulkan pertanyaan baru, Sadewa melangkah masuk mengikuti perintah Mama Kandi.

"Saya pergi sekarang juga Nyonya." Sadewa berhenti dan berbalik saat mendengar Arin berpamitan.

"Iya, hati-hati di jalan Rin."

"Terima kasih Nyonya, permisi."

"Dia mau kemana, Ma?" Sadewa kembali mendekati Mamanya.

"Mau pulang, Mama masih ada keperluan lain." ia menatap wajah putranya dengan kerutan samar pada dahinya. "Apa semua baik-baik saja?"

Sadewa sedikit terkejut, namun dengan cepat ia bisa menguasai diri. "Semua baik-baik saja, Ma. Kenapa Mama bertanya begitu?"

Mama Kandi mengangkat bahu. "Hanya bertanya." jawabnya sambil menepuk pundak anaknya dan masuk ke dalam ruangan Sang Suami.

Sadewa menarik napas berat, tak mungkin ia menceritakan perihal hubungannya dengan Della. Sejak awal Papa dan Mama sudah tidak menyukai gadis itu, jadi apapun yang terjadi dalam hubungannya sekarang, tak bisa begitu saja ia ceritakan pada orang tuanya.

***

Dear good reader.

Jika kalian menyukai bab ini, jangan lupa klik like dan tinggalkan jejak komentar yang membangun yaaa

❤❤❤❤❤

Terpopuler

Comments

YuWie

YuWie

nguping apa an..pèrasaan othor nya cmn bercerita, arin berdiri dan melihat ada 2 lorong... sadewa kie ngadi2

2023-05-25

0

pipih siti sofiah

pipih siti sofiah

1 kata z
kreen

2023-02-19

1

Gustein Arifin👑

Gustein Arifin👑

gw sumpahin lu tergelincir kmpret

2022-09-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!