Pagi yang cerah, Arin melaksanakan tugasnya diiringi senandung lirih dari bibirnya. Pekerjaan yang berat akan terasa ringan jika dilaksanakan dengan penuh sukacita, kira-kira seperti itu kalimat bijak yang pernah didengar Arin. Dan menurut Arin, lebih ringan lagi jika tidak dikerjakan sama sekali. (Haha, bukan contoh bagus pembaca yang budiman)
Namun ternyata badai sedang melanda hati Sadewa. Ia muncul dengan raut wajah super datar dan tatapan tajam. Wajah Arin yang terlihat ceria saat bekerja membuatnya semakin kesal. Menurutnya sangat menyenangkan membuat gadis ini menahan emosi.
Senyum jahil mengembang, ia mendekati peralatan bersih-bersih Arin. Sekali tendang ember yang berisi air kotor jatuh dan kembali membasahi lantai. Arin tercekat melihat pemandangan itu. Lantai yang tadinya telah bersih kini kembali tergenang air kotor bekas bilasan alat pel.
Arin menatap Sadewa, pemuda itu terlihat puas. Mmm, jadi anda ingin memancing emosi saya sepagi ini. Oo tidak bisaa...
Arin mengulas senyum sambil membungkuk. "Selamat pagi, Tuan Muda."
Kemudian ia bergegas merapikan kembali kekacauan yang telah dibuat Sadewa. Masih dengan senyum yang mengembang. Membalas orang iseng adalah dengan mengikuti keisengannya. Arin quote...
Sadewa semakin kesal, ia kemudian bergegas keluar. Mencari halaman yang jarang rumputnya, kemudian menggosok sandal rumahnya ke tanah itu. Ia melesat kembali ke dalam rumah, berharap lantai tadi masih basah. Ternyata Arin sudah selesai mengeringkan.
Tak masalah, masih bisa kotor juga kan. Gumam Sadewa dalam hati dengan senyum licik bertengger manis diwajahnya. Ia melangkah ke dalam rumah bahkan naik ke lantai dua dengan alas kaki penuh tanah pekarangan.
Arin meletakkan tangan di dada dan menggelengkan kepala melihat tingkah absurd Tuan Mudanya. Ia kembali mengambil air bersih, mengangkat bulir-bulir tanah kemudian kembali mengepel lantai sampai ke lantai 2. Yang sebenarnya bukan area kerjanya.
Peluh mulai membasahi wajah dan tubuhnya, namun Arin tak menghiraukan itu. Yang ada dipikirannya adalah bekerja dengan cepat dan cermat. Lantai harus sudah bersih sebelum Tuan besar keluar kamar.
Arin tersenyum saat lantai dua telah ia selesai bersihkan. Bahkan hari ini ia mendapat bonus, Tuan Besar belum keluar kamar untuk berolahraga. Mungkin karena akhir pekan, pikir Arin. Gadis itu membereskan peralatan kerjanya dan pergi ke dapur khusus pekerja untuk mengisi perut bersama pekerja lain.
"Kok lama Rin?" saa Mbok Yem saat melihat kedatangan Arin.
"Iya Mbok, tadi lantainya harus dipel lagi. Sampai ke lantai dua."
"Lantai dua kenapa Rin?" Siska yang bertugas disana tampak terkejut.
"Tadi Tuan Sadewa masuk ke rumah dengan sandal penuh tanah." jawab Arin sambil mengisi piringnya.
"Tanah? Kok bisa?" Siska terlihat bingung.
"Kamu menyinggung Tuan Sadewa ya Rin." tanya Pak Maman, Satpam rumah.
"Enggak kok Pak. Beneran." jawab Arin sambil menatap rekan-rekan lain.
"Kalau enggak, kenapa kamu dikerjain Tuan Muda?" tanya Mang Ari, Si Tukang Kebun.
"Arin juga nggak tahu, Mang."
"Sudah, sudah. Arin cepetan makan." Mbok Yem menghentikan perbincangan itu. Makan pagi para pekerja bukanlah makan santai seperti makan siang dan malam. Saat sarapan, mereka makan secepat mungkin agar bisa kembali melaksanakan tugas mereka.
Sementara itu di lantai dua, Sadewa berjalan kesana kemari di ruang tengah depan kamarnya. Nakula dan Anjani yang baru keluar kamar sampai heran dengan tingkahnya.
"Kamu kenapa?" tanya Nakula.
"Nggak apa-apa kok."
"Jangan bohong." Nakula memicingkan mata menatap saudara kembarnya itu.
"Habis ngerjain Arin lagi kan." Anjani menimpali.
"Maksudnya apa sih Jani?" Sadewa memasang tampang tak mengerti apa-apa.
"Aku lihat dari jendela waktu kamu menggosok-gosokkan sendal ke tanah."
Sadewa tersenyum kikuk, Anjani dan Nakula mencebik kesal.
"Aku ke dapur dulu." ucap Anjani berpamitan pada suaminya.
"Masak yang enak ya."
"Kamu nggak boleh makan hari ini. Masih pagi sudah nakal." sahut Anjani tanpa berbalik.
"Kamu ni kenapa sih Wa? Rese banget sama ART baru." Nakula menghempaskan diri ke sofa.
"Nggak tahu, suka aja ngerjain dia." jawab Sadewa dengan entengnya.
"Dia itu kesini untuk kerja, bukan dikerjain."
Sadewa berbinar. "Ide bagus tuh."
"Ekspresi macam apa itu?" sahut Nakula ketus. "Dan sejak kapan kau jadi begini?"
"Begini, gimana maksudmu?"
Nakula memindai Sadewa, kembarannya itu tiba-tiba punya sifat iseng sejak mengenal Arin.
"Sudah selesai scannya?" tanya Sadewa sekali lagi. Nakula melempar bantal sofa ke wajah kembarannya sebagai ganti jawaban atas pertanyaan Sadewa.
"Jangan terlalu sering mengganggunya, lama-lama bisa jatuh cinta." Nakula memperingatkan sambil beranjak pergi.
"Tidak akan pernah." jawab Sadewa yakin.
"Jangan pernah bilang tidak akan pernah." ucap Nakula.
"Terserah!" Sadewa sedikit berteriak karena Nakula sudah mulai menuruni tangga.
***
Selepas makan, keluarga Wasesa masih duduk di meja makan. Banyak hal yang mereka bahas, bukan soal pekerjaan melainkan tentang kehidupan pribadi masing-masing anggota keluarga. Tuan Pandu menetapkan akhir pekan adalah hari keluarga, dilarang membahas pekerjaan.
Nyonya Kandi menyiapkan buah untuk menemani obrolan ringan mereka. Belum sampai ke meja, wanita paruh baya itu sudah jatuh tak sadarkan diri. Sontak semua berlari mendekati dengan wajah panik. Nakula dan Sadewa segera mengangkat dan membawa ke ruang tengah. Mbok Yem tergopoh-gopoh mengambil minyak kayu putih dari kotak P3K yang ada di dapur.
"Ma...Mama..." Papa Pandu meletakkan kapas yang telah ditetesi minyak di dekat hidung istrinya.
Arin dan Mbak Inah memandangi dari kejauhan, namun wajah gadis itu terlihat sangat gusar. Ia terlihat menahan diri, jemarinya bertaut. Akhirnya Arin tak dapat menahan lebih lama lagi. Ia menghampiri tempat dimana Nyonya Kandi dibaringkan dan mengambil bantal sofa.
"Permisi Tuan." ucapnya pada Nakula dan Sadewa yang berada di dekat kaki Sang Mama. Arin berjongkok dan meletakkan bantal hingga kaki Majikannya itu menjadi lebih tinggi dibanding dada. Nakula dan Sadewa bingung dengan yang dilakukan Arin, namun mereka tidak menghalanginya.
"Permisi Nyonya Anjani." ucapnya kembali meminta ijin. Anjani segera menyingkir memberi ruang pada Arin setelah Nakula mengangguk padanya. Arin memeriksa denyut Nyonya Kandi dengan seksama. Sadewa memicingkan mata melihat tindakan gadis itu.
Arin mengernyit, sekali lagi ia memeriksa denyut jantung Nyonya Kandi. Ia bahkan meletakkan telinganya di mulut dan hidung wanita paruh baya itu.
"Tuan, bolehkah saya melakukan CPR? untuk mengembalikan kemampuan bernapas dan sirkulasi darah."
"Apa kau pernah melakukannya?" Tuan Pandu bimbang.
"Iya Tuan." melihat keyakinan Arin, ia pun mengijinkan. "Dan tolong telepon dokter, Tuan."
"Sadewa, cepat." Tuan Pandu memerintahkan putranya.
Arin memperbaiki posisi Nyonya Kandi, kemudian meletakkan telapak tangannya di dada dan mulai memompa. Sesekali gadis itu melirik jam yang berada di dinding tak jauh dari posisi mereka. Kemudian Arin meletakkan tangan di dahi Nyonya Kandi dan mengangkat dagunya perlahan untuk membuka saluran napas.
Arin kembali memeriksa denyut nadi dan meletakkan telinganya untuk mendengarkan suara napas Nyonya Kandi. Sekali lagi ia melakukan kompresi, kemudian menjepit hidung Nyonya Kandi dan dua kali memberi udara dari mulutnya. Arin melihat pergerakan di area dada Sang Majikan, membuatnya menarik napas lega.
"Bagaimana?" Tuan Pandu diliputi kecemasan.
"Tinggal menunggu dokter saja, Tuan." jawab Arin seraya bangkit dan mundur bergabung bersama Mbok Yem dan Mbak Inah.
Perlahan Nyonya Kandi mulai bergerak dan membuka matanya. Wanita itu mengerjap bingung sebelum akhirnya kembali menutup kelopak mata.
"Mama, apa yang sakit?" tanya Tuan Pandu sambil mengusap kepala Sang Istri.
"Kepala Pa." jawab Mama Kandi sambil memegang kepalanya.
"Anjani buatin teh dulu ya." Pandu mengangguk menyetujui ide menantunya.
"Terima kasih sudah memberi pertolongan pertama." ucap Pandu yang sedang menatap Arin dengan senyum tulus.
"Iya Tuan, sudah tugas saya menolong majikan." jawab Arin merendah.
Sadewa hanya diam saja memperhatikan Arin. Ingin rasanya ia menyeret gadis itu dan menginterogasinya. Namun melihat kondisi mama, tak mungkin ia melakukannya sekarang.
"Mama mau tidur di kamar Pa." kata Nyonya Kandi sambil bergerak. Melihat itu Nakula Sadewa dengan sigap membantu memapah Mama ke kamar yang tak jauh dari ruang tengah.
Beberapa menit kemudian seorang pemuda tiba sambil menenteng sebuah tas. Ia berjalan tergesa-gesa menuju satu-satunya kamar di lantai satu tersebut.
"Permisi." ucapnya sambil mengetuk pintu yang terbuka itu.
"Tora, cepat periksa Tante." Pandu lega saat melihat dokter muda itu berdiri di ambang pintu.
"Baik Om." Dokter Tora segera menghampiri Nyonya Kandi dan mulai memeriksa. Tuan Pandu dan kedua putranya berdiri di sisi lain ranjang yang berseberangan dengan posisi Dokter.
"Kadar oksigen agak rendah." ucap Dokter Tora sambil melepas sebuah alat dari jari Nyonya Kandi. "Tapi secara umum kondisi Tante baik. Alangkah lebih baik lagi kalau melakukan pemeriksaan menyeluruh." imbuhnya memberi saran.
"Tidak perlu, mungkin Tante kecapean saja." tolak Nyonya Kandi.
"Tapi Ma..."
"Lain kali saja periksanya Pa." ucap Nyonya Kandi memotong kalimat suaminya.
"Ma, please." Nakula mencoba membujuk Sang Mama.
"Supaya kami juga tenang Ma. Mama sayang kami kan Ma?" Sadewa menimpali.
Bersamaan Anjani muncul dengan membawa teh dan meletakkannya di nakas samping mertuanya.
Mama Kandi menghela napas berat. "Baiklah, tapi jangan dalam waktu dekat ini."
"Kenapa?" keempat pria dalam ruangan itu sama-sama bertanya.
"Kalian kan tahu Mama takut dengan jarum suntik. Beri Mama waktu menyiapkan hati dan pikiran." ujar Mama Kandi kesal. Sedang para pria hanya ber-oh ria secara bersamaan. Anjani mengulum senyum mendengar pengakuan mertuanya kemudian memilih kembali ke dapur.
Setibanya disana ia segera memerintahkan Inah untuk pergi membeli seekor ayam kampung. Dia akan membuat sup ayam kampung untuk Sang Mertua. Saat Anjani dan Inah sibuk membahas yang akan di beli, Arin merapat mendekati Mbok Yem.
"Mbok, Nyonya Anjani itu keren ya. Dia berbakti sekali sama Mertua, kelihatan sayang banget kayak ke mamanya sendiri." Arin berbinar menatap Anjani dari posisinya saat ini.
"Iya Rin, bener itu. Setiap pagi nggak pernah absen siapin teh untuk Nyonya Kandi. Sering curhat-curhatan juga lho Rin. Sudah seperti seorang ibu dengan anak perempuannya."
Arin manggut-manggut mendengar penuturan Mbok Yem. "Suatu saat nanti kalau menikah, aku juga pengen kayak Nyonya Anjani. Jadi menantu yang berbakti, nggak beda-bedain orang tua." kata Arin menerawang.
"Emang kamu sudah punya pacar Rin?"
Gadis itu meringis mendengar pertanyaan Mbok Yem. "Belum punya pacar Mbok." jawabnya sambil menggaruk telinga yang tak gatal. Tapi sudah punya calon suami sih. Hhhhh
"Arin, buatkan jus buah naga dua gelas bawa ke kolam renang." titah Sadewa yang muncul tiba-tiba. "Tidak pakai tambahan gula, yang satunya ditaburi susu coklat bubuk."
"Ba-baik Tuan." Arin tergagap karena kaget.
"Tumben Tuan Sadewa langsung datang ke dapur, biasanya teriak-teriak manggil dari ruang tengah." Mbok Yem berbisik pada Arin. Gadis itu hanya tersenyum kecut dan mulai melakukan perintah Tuan Mudanya.
Tak perlu waktu lama bagi Arin memenuhi permintaan Sang Majikan. Gadis itu muncul di halaman dengan membawa nampan berisi dua gelas jus buah naga sesuai pesanan. Tampak Tuan Sadewa dan Dokter Tora sedang berbincang sambil duduk di kursi yang tak jauh dari kolam.
"Permisi Tuan." Arin meletakkan minuman itu dengan menunduk. Ia bisa merasakan tatapan menusuk yang ditujukan padanya, siapa lagi kalau bukan dari Sadewa.
"Terima kasih Arin." ucap Sadewa datar. "Dialah yang melakukan pertolongan pertama." ujarnya pada Tora.
"Oo, jadi kau yang melakukan CPR ya." Dokter Tora memastikan. "Belajar dimana?"
"Di Sekolah, Tuan." jawab Arin masih tetap menunduk.
"Aku di depanmu lho, bukan di tanah." gurau Dokter Tora. "Siapa namamu?"
Arin mengangkat wajahnya sejenak kemudian menunduk lagi. "Arin, Tuan."
"Arin." Dokter Tora mengulangi nama itu dan ada kerutan samar di dahinya saat tadi melihat wajah gadis itu. "Apa kita pernah bertemu?"
"Ppfftttt....kau masih menggunakan jurus gombalmu itu?" Sadewa menertawakan Tora.
"Tidak, aku serius." wajahnya tak berbohong saat menatap Sadewa. Ia kembali melihat Arin. "Arin, tolong angkat wajahmu sedikit lebih lama." pintanya.
Arin gugup, ia tahu kemana arah pembicaraan Dokter dihadapannya. Perlahan ia mengangkat wajahnya.
"Aku yakin sekali kita pernah bertemu." sorot matanya penuh keyakinan. "Tapi dimana ya?" Dokter Tora memegangi pelipisnya untuk berpikir.
"Sudahlah, kau bisa mengingatnya nanti di apartemenmu." Sadewa merasa tak nyaman melihat Arin dan Tora saling menatap. "Kembalilah ke dapur." perintahnya pada Arin.
"Baik, Tuan. Permisi."
Sampai Arin menghilang dari pandangan, Tora masih tetap menatap ke arah pintu masuk.
"Mau sampai kapan kau melihat pintu?" pertanyaan Sadewa terdengar tidak menyenangkan.
"Aku benar-benar pernah melihatnya." sekali lagi Tora mengatakannya.
"Aku rasa jika ada ayam diberi bedak kau juga akan terpesona dan berkata demikian."
"Kau ini, aku serius."
"Terserah saja."
"Sejak kapan dia bekerja disini?"
"Baru dua atau tiga hari, entahlah. Aku malas mengingatnya." ucap Sadewa sambil menggerakkan bahunya.
"Bagaimana hubunganmu dengan Della?"
"Jangan sebut nama itu lagi!" hardik Sadewa disertai perubahan pada wajahnya.
Tora terkejut dan kesulitan menelan salivanya. "Ok. Ok. Tenang bro, aku hanya bertanya. Dan maaf jika pertanyaan itu salah."
Sadewa menarik napas dan menghembuskannya perlahan, ia mencoba untuk mengontrol emosinya. "Hubungan kami tidak baik, dan akan berakhir." ucap Sadewa. Pada akhirnya ia memilih terbuka pada sahabatnya.
"Selama ini ia menipuku." Sadewa tersenyum kecut. "Aku rasa semua wanita itu sama, mereka penipu ulung di balik wajah cantik dan bahasa tubuh yang anggun."
"Kau tidak bisa menyamakan mereka hanya karena Della."
Sadewa melirik tajam mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Tora. "Atas dasar apa kau mengatakannya. Buktinya, Arin Si pembantu itu berkata tidak tertarik padaku. Pasti dia berbohobg. Kau sendiri kan tahu, mana ada perempuan yang tak terpesona pada ketampananku."
"Hmppp...Hahahahahaha." Tora terpingkal-pingkal memegangi perutnya. Sadewa semakin kesal melihat Dokter muda itu menertawakannya.
"Hahhhhh...maaf, aku tak bisa menahan diri." ucap Tora sambil mengusap air mata yang keluar. "Ternyata seorang Sadewa Wasesa hanya terlihat biasa di depan seorang asisten rumah tangga. Pffttt."
"Puas-puaskan saja tertawanya!" hardik Sadewa kesal. "Aku akan membuat gadis itu bertekuk lutut padaku kemudian mencampakkannya." seringai mengerikan muncul di wajah tampan pemuda itu.
"Kau benar-benar dendam hanya karena ada gadis yang tak terpesona padamu?? Astaga! kurasa kau harus memeriksakan diri ke psikiater." Tora geleng-geleng melihat tingkah sahabatnya.
"Gadis angkuh harus diberi pelajaran."
"Bukannya kau yang angkuh?"
"Hei Dokter Tora, sebenarnya kau sahabatku atau sahabatnya?!"
Tora mengangkat bahunya. "Jangan lakukan itu, kau akan sangat menyesal nantinya.
"Tidak akan pernah."
"Jangan pernah bilang tidak akan pernah."
***
Jangan lupa like, komentar dan favoritnya yaaa❤❤❤❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
YuWie
percaya diri sekali anda pak sadewa
2023-05-25
0
hìķàwäþî
never!..
bad word for sadewa.. caused by.. it will be ever..
2022-10-06
1