Hana sedikit melongo melihat Pradjna sudah ada di kolam renang, entah sudah berapa kali dia memutari kolamnya itu.
Dari cangkir kopinya yang sudah dingin dipastikan sudah lama ibu muda itu berendam.
"Eh bebek, lu ga' takut kulit lu keriput kelamaan di aer?" seru Hana.
Pradjna memutar haluan mendekati Hana lalu menariknya begitu saja hingga Hana terjatuh ke dalam kolam, suara berdebam air memecah hening pagi.
Pradjna tertawa lepas "lebih baik lu renang daripada cuma ngatain orang pagi-pagi gini" kata Pradjna. Hana mengomel panjang kali lebar, dia memang ga' terlalu suka berbasah-basah. Lain dengan Pradjna, begitu ketemu kolam pasti langsung nyebur.
Selesai mandi Pradjna & Hana sudah siap dengan sarapan masing-masing. Arya muncul di hadapan mereka dengan muka bantal sambil mengucek matanya, terlihat masih mengantuk.
"Hei, anak mama uda bangun, sini baby bolo-
boloku" sambut Pradjna tetapi ia kalah cepat dari Hana, Arya sudah ada di pangkuan Hana, memeluk bocah kecil itu dengan posesifnya.
Mereka bertiga sarapan bersama seraya menanggapi celotehan Arya.
Pagi yang indah, semoga akan terus seperti ini, semoga ketakutan ku tidak akan terjadi, gumam Pradjna di dalam hatinya.
Setelah selesai memandikan Arya, Pradjna berpamitan pada lelaki kecilnya itu. Arya memeluk juga menciuminya, seolah tak rela ditinggal mamanya, Pradjna mengusap rambut Arya dengan gemas lalu mencium ujung kepalanya. Tangannya masih melambai hingga pagar rumahnya tertutup sempurna kembali.
"Ready?" tanya Hana memecah hening di dalam mobil
"Gue uda mutusin, siap ga' siap harus gue hadapi, gue ga' bisa sembunyi selamanya, Han" jawab Pradjna
"Bagus, gue siap jadi tameng lu teman" lanjut Hana lagi, Pradjna mengangguki ucapan Hana, mengucapkan terima kasih.
15menit berlalu, mereka sudah sampai di kantor Pradjna. Mereka berdua langsung menuju ruangan Pradjna, ada beberapa teknis yang harus mereka bahas untuk meeting hari itu. Setelah dirasa cukup, Hana kembali ke ruangannya sendiri.
Pradjna berkutat dengan laptopnya, memeriksa beberapa pekerjaan, membubuhkan tanda tangan ke beberapa file juga berkas yang menumpuk di hadapannya. Dahinya berkerut membaca beberapa klausul dalam surat kontrak kerjanya. Ia meraih ponselnya, menelpon Hana. Tidak ada respon dari Hana, kemana anak itu, sungutnya dalam hati.
Pradjna bangkit dari duduknya, menuju ke ruangan Hana sembari membawa beberapa berkas.
"Han lu tolong jelasin kenapa bisa seperti ini kontrak..." suara Pradjna menggantung di udara begitu matanya melihat siapa yang ada di ruangan Hana.
Ia terpaku d tempatnya, tangannya berpegang kuat pada handle pintu, mukanya sedikit memucat.
Sosok yang ada di dalam ruangan itu pun sama terkejutnya, terlihat dari pias wajahnya.
Hana melangkah mendekat, berdiri di antara mereka
"Oh mari saya kenalkan, ini Ibu Pradjna Paramitha, owner sekaligus CEO di kantor ini, Ibu Pradjna ini Bapak Haris Rahardjo, client kita untuk event akbar nanti"
Pradjna tersadar dari diamnya, ia melangkah maju mengulurkan tangannya, "Selamat pagi Bapak Rahardjo, suatu kehormatan bisa bekerjasama dengan Anda" ucapnya begitu tangannya disambut lelaki yang berdiri di hadapannya.
"Begitu juga dengan saya, semoga kita mendapat profit yang sama dari kerjasama ini" jawab Haris.
Pradjna menarik tangannya undur, lalu mendekat ke Hana, "selesai ini lu ke ruangan gue" bisiknya, mengangguk sedikit kepada Haris lalu melangkah keluar dari ruangan itu.
"Well, apa kita bisa melanjutkan yang sedikit tertunda tadi, Pak Haris?" tanya Hana pada Haris yang masih termangu.
"Pak Haris..." lanjut Hana lagi karena tidak ada jawaban dari orang yang disebutnya.
Haris tergagap lantas mengangguk, "Sure, tentu mari kita lanjutkan" jawabnya.
"Maaf sebelumnya, itu Pradjna yang dulu kuliah di kampus A bukan ya?" tanya Haris hati-hati.
Hana mengiyakan, "beliau lulusan terbaik di angkatannya, lalu melanjutkan studinya di luar negeri, saya senang bisa menjadi salah satu bagian dari perusahaannya" jabar Hana.
Haris menyimak dalam diamnya, setelah beberapa saat hening ia mengulang kembali diskusi sebelumnya yang sempat terhenti.
Di dalam ruangannya, Pradjna terlihat gusar sekali. Sudah 4 tahun berlalu tetapi rasanya masih sama. Dia hampir pingsan tadi rasanya demi melihat siapa yang ada di dalam ruangan Hana. Dia tidak tahu efeknya akan seperti ini, sama dengan beberapa tahun yang lalu. Ya Tuhan, rintihnya lirih. Apa yang terjadi dalam hidupku ini, apakah Engkau sedang menggodaku? batinnya sedikit melara.
Ia mengusap wajahnya kasar, menekan beberapa tombol di telponnya, meminta OB membuatkan secangkir kopi.
5 menit berlalu, suara ketukan di pintu menyadarkannya "Ya masuk" sahutnya.
"Kopi hitam panas tanpa gula, masih sama seperti dulu rupanya" suara itu sukses membuat Pradjna sedikit menggigil. Ia mengangkat wajahnya dan mendapati bahwa lelaki itu sudah duduk di pinggiran mejanya, menatapnya lekat.
"Apa gajimu sebagai CEO masih kurang hingga kau mau jadi OB ku?" tanya Pradjna sekenanya setelah menguasai degup jantungnya.
"Kalau untuk bisa bertemu dengan mu setiap hari tanpa digaji pun aku rela" jawab Haris enteng.
"Sayangnya kamu tidak memenuhi kriteria sebagai OB di sini, terima kasih kopinya, sekarang bisa tolong tinggalkan ruangan ini, aku harus bekerja kembali" pinta Pradjna pada Haris.
"Apa itu caramu menjamu client?" Haris menanyakan lalu melangkah mendekat, Pradjna yang sudah berdiri memundurkan langkahnya.
Haris mendekat, sangat dekat sampai Pradjna bisa merasakan hembusan nafasnya, ia kembali menggigil seketika.
"Aku sangat merindukan mu, Pra" ucap Haris lirih seraya menarik Pradjna dalam pelukannya, menarik kuat-kuat aroma rambut wanita yang dipeluknya. Pradjna sendiri merasa tulangnya seperti rontok, dia yakin begitu Haris melepas pelukannya ia pasti akan terjatuh.
Tidak ada kata yang terucap, hening menguasai suasana, Pradjna merasakan matanya memanas, air matanya satu demi satu meluruh jatuh, membasahi jas Haris.
Demi merasakan isakan Pradjna, Haris mengendurkan pelukannya lalu menunduk menatap wajah yang sudah didongakannya itu.
"Maafkan aku sayang, maafkan kebajingan ku" kata Haris sambil menyeka air mata Pradjna, ia mengecup kening Pradjna sekilas, menatap wajahnya beberapa saat lalu mengusap kembali air mata itu.
"Kita akan segera berjumpa kembali, maaf aku tidak bisa lama kali ini, jaga dirimu baik-baik" Haris kembali memeluk sebentar lalu melangkah keluar.
Tangis Pradjna memang berhenti tetapi ganti hatinya yang merintih.
"Ya Tuhan, mengapa aku tidak bisa menolaknya, mengapa rasanya semakin menjadi tak terkendali seperti ini"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments