Ara sudah tampil menawan dalam balutan blouse putih yang dimasukkan ke rok span pendek berwarna maroon motif kotak-kotak. Riasan wajah natural serta rambutnya yang dikucir setengah dan diberi pita menambah kesan manis di wajah gadis asli Solo tersebut.
Meraih sebuah paper bag berisi kado untuk ibu dari kekasihnya, Ara dengan senyum mengembang keluar dari kamarnya. Dilihatnya ayah dan ibunya sedang duduk menonton TV di ruang tengah.
"Gimana penampilan Ara, Bu? Udah pantes belum?"
"Sip. Cantik banget kamu, Nduk." Bu Ata mengacungkan kedua ibu jarinya, lalu beranjak menghampiri untuk merapikan beberapa helai rambut putrinya.
"Udah mau jam tujuh. Elang jadi nggak jemput kamu? Atau mau Bapak anterin aja?" Pak Narto yang baru meminum tehnya itu menawari.
Ara baru akan membuka mulut ketika suara bariton yang berasal dari arah belakang mendahuluinya. "Mbak Ara, tuh, mau kencan, Pak, bukan mau sekolah. Masa kencan dianter. Bapak ini lucu banget, sih." Gusti terkekeh-kekeh, lalu menghampiri ibunya.
"Bu, sangu," katanya menadahkan tangan.
"Sangu terus kamu, Le." Ayahnya yang menjawab.
"Namanya juga anak. Tugas anak 'kan menghabiskan uang orang tua," sahut Gusti seenak udelnya. "Ayo, Bu, cepetan aku ditungguin temen-temen. Nanti kalo uang hasil menang lomba dikasihkan ke aku, Ibu aku beliin baju yang kemarin Ibu mau." Ia mengeluarkan jurus maut.
"Bener?" Sang ibu tampaknya termakan rayuan.
"Iya, aku mana pernah bohong. Aku 'kan bukan Mbak Ara." Gusti melirik kakak perempuannya yang sedang fokus pada layar ponsel.
Seketika tatapan setajam laser mengarah pada remaja itu. Ara bukannya berbohong, tapi uang yang semestinya ia pakai untuk membelikan sesuatu yang diinginkan ibunya mendadak harus digunakan untuk perbaikan motor karena kecelakaan yang sempat dialaminya.
"Bulan depan kalo Ara gajian, Ara belikan Ibu sesuatu yang lebih mahal daripada yang Gusti belikan," ucapnya sebal sebab ini bukan kali pertama adiknya itu menyindirnya.
"Sudah, sudah, kalian tidak perlu sampai seperti itu. Melihat anak-anak Ibu bisa akur itu sudah cukup." Bu Ata sudah melerai sebelum perang dingin antara anaknya terjadi. Dia lantas menyerahkan selembar uang berwarna biru kepada putranya dan berkata, "Nih, sangunya. Pulangnya jangan malem-malem, ya, Gus."
Mengangguk mantap usai menerima uang dari tangan ibunya dengan senyum cerah, Gusti lantas mencium tangan orang tuanya lalu melenggang pergi membawa sepeda motornya.
Tak berselang lama, sebuah mobil berhenti di halaman rumah Pak Narto. Ara segera beranjak, begitu pun dengan Pak Narto dan Bu Ata.
Dengan senyum mengembang, Elang yang kini berdiri di ambang pintu menyalami orang tua kekasihnya, kemudian meminta izin untuk pergi bersama Ara.
"Bapak mengizinkan asalkan pulangnya jangan terlalu malam dan juga hati-hati di jalan," pesan Pak Narto yang disanggupi oleh Elang.
Dengan jantung berdebar kini Ara turun dari mobil Elang setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit. Terdengar sebuah tawa anak kecil ketika Ara menjejakkan kaki di teras rumah kekasihnya. Itu adalah suara Melodi, keponakan Elang.
"Hai, Ara. Lama banget, ya, kita nggak ketemu." Laras, kakak perempuan Elang, dengan ramah menyambut lalu memeluk Ara.
"Iya, Mbak." Ara tersenyum lebar. Senyum yang hanya bertahan sesaat karena melihat Rini, ibu Elang, muncul dari ruang tengah.
Berjalan menghampiri wanita yang hari ini berulang tahun, Ara lantas menyalami dan mencium punggung tangan wanita itu. "Selamat ulang tahun, Bu. Semoga panjang umur dan sehat selalu. Maaf, Ara hanya bisa memberikan ini," katanya sambil memberikan paper bag kecil di tangannya.
"Seharusnya daripada membeli barang remeh seperti ini lebih baik uangmu disimpan saja biar bisa cepat-cepat kuliah. Saya juga 'kan jadi nggak malu kalo ada orang tanya pacarnya Elang kerjanya apa," ucap Rini mengalahkan pedasnya bubuk cabe level 30. Namun, tetap saja ia terima kado itu.
Ara menunduk pura-pura tidak mendengar. Sedangkan Elang, laki-laki itu seperti biasa hanya menghela napas panjang tanpa ada rasa ingin membela sang kekasih yang kini merasa rendah diri.
"Eh, Ara sudah datang." Pras yang muncul bersama cucunya itu mengulas senyum.
"Iya, Pak." Ara menghampiri dan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada ibu Elang. Tidak lupa, Ara juga mengelus pipi Melodi yang terlihat lebih tembam dari terakhir kali ia bertemu bocah itu.
Tidak ingin suasana bertambah tegang, Laras menggandeng tangan Ara dan berkata, "Karena semua sudah datang. Yuk, kita mulai pesta ulang tahun Ibu."
Mereka kecuali Rini beranjak, dan sebelum keluarganya sampai di ruang makan wanita itu berseru, "Tunggu, Ibu masih menunggu seseorang."
"Siapa?" Elang akhirnya bersuara.
Belum sempat ibunya menjawab, terdengar deru mobil berhenti di depan rumah. Rini dengan semangat membukakan pintu menyambut seseorang yang datang.
"Ajeng?" Elang berkata lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩᵇᵃˢᵉ fj⏤͟͟͞R ¢ᖱ'D⃤ ̐
mundur alon² lah mending.bayangin punya calon ibu mertua yang gak respek bikin cape hati...
2022-11-17
0
YuRà ~Tamà💕
Ruwet nih,, kalo ibunya punya calon ya susahh...
2022-03-25
0
ṿѧʟєṅѧѧ˚˖𓍢ִ໋🧚🏻
dah lah Ara bubar aja sama Elang nya, udh kelihatan itu Elangnya tipe cowok nurut ama emaknya 😌
kalau ama cowok model begitu mah gk bakalan jadi mending sama aku sini 😁
2022-03-18
0