'Serangkai kata kusalurakan dalam benak yang tak dapat kucurahkan.
Dalam bisu kuterdiam penuh dengan keraguan kemana arah tujuannya.
Wahai sang khalik,
Diamku dan bisu hanya engaku yang tahu apa sesungguhnya yang ingin ku suratkan. Namun, ataukah mampu diri ini mensiratkan sejuta keinginan yang mana kusendiri tak yakin akan mampu.
Ya Tuhan, ya Robb ..
Sebuah desir angin malam ini menjadi saksi bisu dalam belenggu yang tak dapat ku mengerti.
Dengan 'bismilah' ku nantikan senja-Mu, ku nantikan ridho-Mu, ku nantikan sebuah takdir ilahi yang harus kujalani dengan sepenuh hati.'
Tanda tangan.
(Aya Humaira)
Aya menutup sebuah buku hariannya yang telah menjadi saksi dalam setiap suka dan dukanya.
Aya bangkit dan meninggalkan jejak di bangku kayunya.
Sebuah langkah menuju ketepi dipan. Aya sandarkan tubuh dan menatap sebuah bayangan.
Terlihat sosok yang sangat ia rindukan.
"Abah. Semoga Abah tenang disisi-Nya. Aya besok akan pergi meninggalkan rumah kita. A'ak Rey akan datang menjemput Aya. Abah, Aya akan berusaha menjadi istri yang baik untuk suami Aya meski Aya belum mengenal dia. Aya janji, apapun yang terjadi, pesan Abah akan selalu Aya ingat. Selamat malam Abah, assalamualaikum ..." Setelah beberapa kata terucap, kini Aya dapat memejamkan matanya.
....
Tin... Tin...
Suara tlakson mobil terdengar di gendang telinga Aya.
Aya yang sudah siap langsung keluar untuk menyambut suaminya.
Didepan teras, Rey masih enggan untuk masuk kedalam.
"Assalamualaikum, Ak? Ayo masuk dulu," sapa Aya sopan.
"Tidak usah, kita langsung saja," ucap Rey.
"Emm, sebentar ya Ak, Aya ambil baju-baju Aya dulu," ucap Aya dengan buru-buru.
Rey terus-terusan menatap jam di tangannya.
"Kenapa lama sekali sih! Apa dia mau berdandan dulu. Cih, wajah tertutup begitu apa yang mau ia dandanin!" umpat Rey kesal.
Selang beberapa menit akhirnya Aya menampakkan bayangannya sampai akhirnya tubuhnya benar-benar terlihat oleh mata Rey.
"Ayo Ak, saya sudah siap," ucap Aya dengan menunjukkan tampilan yang berbeda. Jika tadi Aya hanya menggunakan mukena besar berwarna hitam dan cadar. Kini Aya telah memakai baju syar'i yang berwarna. Walaupun masih menggunakan cadar, namun dimata Rey tampilan ini terlihat lebih nyaman dipandang.
"Lumayan," ucap Rey sembari membantu Aya membawakan kopernya. Sesaat, Aya merasakan desiran sesuatu yang membuat hatinya tidak karuan dengan sikap Rey.
Rey menatap Aya yang masih mematung.
"Kamu mau ikut atau tidak!?"
"Ah, iya Ak," ucap Aya gugup sembari berlari kecil mengikuti langkah Rey.
Didalam mobil. Rey dan Aya sudah bersiap untuk keluar dari kampung. Rey terlihat santai-santai saja, berbeda dengan Aya. Sedari tadi ia terus meremas tangannya untuk mengelap keringat dingin yang selalu keluar dari pori-pori telapak tangannya.
"Oya, aku tadi lupa tidak berpamitan dengan nenek kamu, Aya," ucap Rey membuat lamunan Aya buyar.
"Ah, iya Ak?"
"Aku tadi lupa tidak berpamitan dengan nenek kamu," ucapnya lagi.
"Oh, nenek sedang kepasar Ak. Tapi saya tadi udah titip salam dengan bibik."
"Emm, bukankah hubungan kamu dengan bibik kamu tidak baik?" tanya Rey.
"Emm,, mereka sebenarnya baik kok Ak," ucap Aya yang tidak ingin memberi kesan buruk keluarganya dimata Rey.
Rey hanya diam saja mendengar jawaban Aya.
Aya melirik kilas kearah Rey yang sedang menyetir.
Entah apa yang ada dibenak Rey, ia sama sekali enggan untuk melirik dan menatap Aya.
Entah mungkin karena fokus menyetir atau karena alasan lain.
Aya memutuskan untuk mengeluarkan kitab kecil yang ia letakan didalam tas ranselnya.
Dengan sangat lirih Aya membaca beberapa surat didalam kitab itu.
Rey yang sama sekali tidak melirik Aya, mencoba untuk membesarkan volume musik klasik yang ia sukai. Aya yang mendengar musik yang sangat keras, hanya bisa menarik nafas dalam-dalam untuk bersabar dan kembali fokus dengan kitab kecil yang ada ditangannya.
Sampai akhirnya di lampu merah. Rey yang akan mengambil minum akhirnya melihat Aya yang sedang fokus membaca sebuah kitab.
Rey berfikir sejenak.
"Apa sedari tadi kamu membaca itu?" tanya Rey.
"Ah, iya Ak. Emm, aku membacanya sebelum A'ak membesarkan volume musiknya," jawab Aya.
Rey hanya mengangguk mengerti lalu mematikan musiknya.
Tanpa berkata apa-apa, Rey langsung menginjak gas mobilnya dengan perlahan.
Takut jika sikapnya menganggu Rey, akhirnya Aya menutup kitabnya dan meletakannya kembali kedalam ranselnya.
Rey masih cuek dan enggan untuk menatap Aya kembali sampai akhirnya mobil mereka memasuki kawasan perumahan elite.
Aya menatap beberapa rumah besar dengan gerbang yang menjulang tinggi sehingga menutupi teras halaman rumah.
Rey menekan sebuah remote dan gerbang secara otomatis terbuka.
Aya tak henti-hentinya mengucapkan kalimat takjub dengan segala kebesaran Tuhan yang maha esa.
"Ayo turun," ucap Rey sembari melepaskan sabuk pengamannya.
"Iya Ak," ucap Aya sembari bergegas mengikuti gerak Rey.
Aya menatap atap beberapa pilar penyangga yang menjulang tinggi.
"Ak, apakah papah ada disini juga?" tanya Aya yang melihat rumah sebesar ini namun tidak ada seorang pun.
Rey yang sedang membuka bagasi mobil untuk mengambil koper Aya hanya diam membisu.
Aya yang tidak mendapatkan jawaban hanya menundukkan kepalanya dan terdiam.
Kini mereka telah masuk kedalam kamar utama yang cukup besar.
Rey meletakan koper Aya dengan sembarang.
Rey mengambil gerakan untuk membuka sebuah laci dan mengambil sesuatu.
"Ini uang, ini kartu ATM, ini kunci mobil, ini kunci rumah. Aku sudah melakukan tugasku sebagai suami dan kini giliran kamu untuk menuntaskan tugas kamu sebagai istri," ucap Rey sembari meletakan uang itu diatas kasur tanpa sedetikpun melirik Aya yang masih diam membisu ditempat ia menghentikan langkahnya.
"Apa! Apakah malam ini benar-benar akan terjadi!?" batin Aya dengan tubuh yang bergetar.
Melihat tidak ada jawaban, kini Rey menatap mata Aya dengan intens.
Aya yang mendapatkan tatapan penuh arti dari mata Rey semakin tidak dapat mengendalikan diri. Jantungnya benar-benar berdetak sangat cepat dan kakinya mulai bergetar sangat kuat, dibalik cadarnya, Aya menggigit bibirnya dengan sangat kuat.
Kaki Rey berjalan perlahan menuju wanita yang sama sekali tidak ia kenali namun kini telah berstatus istrinya.
Aya semakin mendalamkan tundukannya.
"Tugas kamu sebagai istri adalah tepati janji persepakatan kita. Apa kamu lupa?" tanya Rey mengingatkan Aya.
Mendengar hal itu, Aya menjadi merasa serba salah.
"Iya Ak, tapi apa perjanjian kita?" tanya Aya mengingat mereka belum ada kesepakatan apapun.
"Perjanjian kita adalah, cukup kamu jangan ganggu hidupku dan jalanmu adalah perintahku," ucap Rey dengan santai, namun sangat berat ditelinga Aya.
"Baik Ak," jawab Aya yang tidak tahu harus menjawab apa karena Rey tidak mendetailkan apa yang isi dan makna dari perjanjian tak tertulis itu.
"Bagus. Malam ini aku akan menikahi seorang wanita yang ada di samping rumah ini. Aku harap kamu tidak mengatakan hal ini pada keluargaku," ucap Rey dengan nada dinginnya namun terdengar penuh penekanan.
Aya meluruskan pandangan, dan kini mata Aya menatap dada bidang Rey. Ingin sekali Aya mengarahkan matanya untuk menatap mata Rey namun ia tak mampu.
Aya tidak tahu harus berkata apa.
"Ya Allah, apakah ini salah satu ujian dari pernikahan kami? Apakah secepat ini ujiannya akan datang. Ya Allah, meski aku tak mengenal suamiku, namun hati ini serasa sakit mendengarnya. Berpoligami memang tidak kau haramkan dengan beberapa alasan. Namun, aku tidak berani mengatakan apa alasan A'ak Rey ingin menikahi wanita lain. Apa yang harus aku katakan tuhan, berilah petunjukmu!?" batin Aya yang penuh dengan gejolak perasaan yang tak menentu. Aya sendiri kini memilih untuk menundukkan kepalanya kembali.
Rey masih terus menatap tajam kearah istrinya. Rey masih belum bisa mengerti apa yang arti dari penolakan Aya untuk menatap dirinya. Menurut Rey, meminta izin lebih baik dari pada harus sembunyi-sembunyi.
"Aku hanya ingin mengatakan ini padamu, aku tidak meminta izin ataupun restumu. Satu hal yang pasti, jangan kamu katakan pada keluargaku jika aku telah memadumu. Sampai ini, apa kamu paham!?"
Aya masih enggan untuk berbicara membuat kesabaran Rey terkikis karena acuhan Aya yang tak merespon ucapannya.
Dengan kasar Rey membanting pintu membuat jantung Aya berdekup tidak karuan karena mendengar suara hentakan yang sangat melengking.
Aya tersungkur didalam kekacauan yang sedang ia rasakan. Sedari awal hubungan mereka baik-baik saja dan Aya kira itu akan bertahan selanjutnya.
Satu Minggu yang lalu ia telah disahkan oleh suaminya, dan kini suaminya akan mengasahkan wanita lain.
Derai air mata Aya curahkan kepada Allah. Ia berharap akan diberi kekuatan dan ketabahan yang besar.
"Ya Allah, jika ini memang suratan yang sudah engkau tuliskan untuk hamba. Insyaallah aku akan menjalaninya dengan lapang dada. Namun, wahai sang membolak-balikan hati, berilah hamba kekuatan untuk menjalani semua nikmat yang engkau berikan dalam bentuk sebuah cobaan yang luar biasa ini. Dengan bismillah, hamba insyaallah ridho dimadu oleh suami hamba." Curahan hati seorang istri yang siap untuk dimadu oleh suaminya.
Aya menyeka air matanya dan kembali bangkit. Ia telah meridhoi suaminya dan mengikhlaskannya, jadi ia tidak boleh berlarut-larut dalam duka yang mendalam.
"Baiklah, aku akan memasak sesuatu dan akan aku berikan kepada mereka sebagai wujud selamat untuk pernikahan mereka," ucap Aya mencoba untuk menegarkan hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Titik Martiyah
ya Allah....sakir banget hati ini....semoga aya diberi kesabaran dan keiklasan.....aamiin....
2024-12-17
0
Yunerty Blessa
sedihnya Aya..suami egois kau Rey
2023-05-14
0
Kendarsih Keken
Reyyy kenapa tergesa gesa untuk menikahi wanita lain , sementara lo blm mengenal istri yng lo nikahi seminggu lalu
2022-04-22
0