...Jangan lupa vote dan comment...
...Typo bertebaran...
...Happy reading^^...
Isakan tangis terdengar memenuhi lorong rumah sakit.
Elin, ibunda Ardan tak henti menangisi putranya. Bahkan Nia, kakak ipar Raina juga menangis.
Sepertinya doa Raina sebelumnya terkabul, dalam perjalanannya menuju keluar kota Ardan mengalami kecelakaan maut.
Semua orang khawatir dan sedih mendengar Ardan kecelakaan.
Nike, ibu Raina pun turut bersedih mendengar menantu kesayangannya masuk rumah sakit.
Raina menghela nafas kasar. Hanya dirinya yang tak menangis mendengar kabar kecelakaan yang menimpa suaminya. Bahkan bersedih pun ia tidak.
Di saat yang lain mendoakan agar Ardan baik-baik saja, ia malah berdoa agar suaminya cepat dijemput malaikat maut.
Entah mengapa, rasa bencinya mengalahkan semua rasa manusiawi yang ada di dirinya.
Padahal suaminya begitu baik padanya. Ardan memperlakukan Raina bak seorang putri raja. Ia begitu mencintai juga menyayangi istrinya.
Ardan memang terlihat pendiam dan berwajah datar, tapi di balik semua itu ia merupakan lelaki yang manis dan romantis. Ia bisa bersikap dingin pada orang lain tapi tidak pada istrinya.
Sayangnya, semua perlakuan baik Ardan tidak bisa membuat Raina luluh begitu saja. Hati wanita itu begitu keras.
Sekali ia bilang benci berarti ia memang benci. Menurut Raina, Ardan merenggut semua hak dan kebebasannya. Walaupun Ardan masih membebaskannya bertemu teman-temannya, tetap saja ia merasa terbatasi. Ia benci dikekang.
Bencinya bertambah bila mengingat Ardan yang dengan lempengnya menerima perjodohan gila itu. Ia yakin lelaki itu sengaja melakukannya, untuk menyiksanya. Buktinya ia menderita hidup bersama lelaki itu.
Satu lagi hal yang menambah rasa benci dihati Raina. Lelaki itu telah mengambil keperawanan yang ia jaga untuk lelaki yang dicintainya.
Raina sungguh-sungguh membenci makhluk yang berstatus suaminya itu.
"Rain," panggil Nia memecah lamunan Rania.
"Hh hm?" tanya Raina gelagapan antara bingung dan gugup.
"Kamu ga sedih?"
Nia duduk di samping Raina.
"Ss-se-sedih, kok," jawab Raina gugup.
"Beneran?" tanya Nia memastikan.
Semua anggota keluarga Ardan dan Raina tahu bagaimana rumah tangga mereka.
Raina mengangguk.
"Terus kenapa ga nangis?" tanya Nia memancing Raina.
"Sedih kan ga selalu bisa diungkapkan sama nangis. Nangis juga ga selalu diartikan sedih."
Nia hanya mengangguk mendengarkan ucapan Rania.
"Bunda sama yang lain mana?" tanya Raina setelah menyadari tinggal dirinya bersama sang kakak ipar disana.
"Bunda sama yang lain lagi ke ruangan dokter. Kamu juga disuruh nyusul ke sana."
"Eh eh, buat apa?"
"Buat tau kondisi Ardan."
Raina hanya ber-oh ria.
"Jangan oh doang, sana susulin."
"Ga ah, aku mau disini aja."
"Sana Rain, kamu kan istrinya Ardan. Kamu berhak dan wajib tau kondisi suami kamu. Biar kakak yang jaga disini. Sana pergi." Nia mengusir Raina lembut.
"Tapi-"
"Udah sana," potong Nia cepat.
Akhirnya Raina bangkit dan berjalan menuju ruangan dokter yang tidak diketahuinya.
Setelah bertanya-tanya pada beberapa perawat, akhirnya ia diantarkan ke ruang dokter yang ia maksud.
Pada saat Raina masuk, dokter sedang menjelaskan kondisi Ardan.
"Terjadi kerusakan sel saraf yang cukup parah akibat kecelakaan maut ini. Bagian tulang belakangnya juga mengalami sedikit kerusakan. Kepalanya mengalami benturan cukup keras hingga mengakibatkan terjadinya cedera kepala," jelas dokter tersebut.
Deg
Hati Raina terhenyak, ia masih coba mencerna kalimat dokter.
"Maksud dokter, suami saya lumpuh?" Raina membuka suara.
Dokter itu mengangguk pelan.
"Dengan berat hati saya harus mengatakan demikian. Pasien akan mengalami kelumpuhan di seluruh anggota badannya. Bahkan ketika ia ingin berbicara, ia tidak akan mampu menggerakkan bibirnya."
Elin kembali terisak mendengar penuturan dokter.
"Apa adik saya bisa sembuh?" Chandra, kakak kandung Ardan membuka suara.
"Ini tidak dikatakan kelumpuhan permanen tapi kemungkinan pasien akan kembali seperti sedia kala hanya 10 persen mengingat kerusakan saraf yang cukup parah."
"Lalu, bagaimana dengan cedera kepala yang dokter maksud?" tanya Arman kali ini.
"Kita belum bisa melihat gejalanya karena pasien belum sadarkan diri. Mungkin nantinya pasien akan lambat dan sulit merespon sesuatu. Tapi kita juga tidak bisa begitu yakin karena belum melihat kondisinya secara langsung."
"Kira-kira kapan adik saya bisa sadar?"
"Mungkin beberapa jam kedepan. Jika selama 48 jam pasien belum sadarkan diri maka dapat dipastikan pasien mengalami koma."
"Apa kita bisa liat kondisi pasien sekarang?" tanya Arman.
"Boleh, tapi hanya dua orang yang boleh masuk ke ICU, yang lain cukup melihat dari dinding kaca. Jika ingin masuk diharap bergantian."
"Baik dokter, terimakasih."
"Baik, kalian boleh bertemu pasien sekarang."
Mereka segera kembali ke ruang ICU tempat Ardan dirawat.
Raina tersenyum licik, ia tengah berpikir jika keberuntungan berpihak padanya. Ia berniat meminta cerai setelah ini.
"Rain," panggil Altaf menyadari tingkah putrinya yang tak biasa.
Raina menoleh.
"Jangan berpikir kamu bisa menggugat cerai Ardan dengan kondisinya sekarang. Kamu harus tetap mendampingi dia dan bahkan kamu harus turun tangan langsung mengurus suami kamu. Kamu tau sendiri kan apa akibatnya kalo melawan perintah Papa?" uap Altaf tegas yang langsung membuat bahu Raina turun tak bersemangat.
"Tapi Pa-"
"Ga ada tapi-tapi. Lakukan kalo masih mau hidup sebagai putri keluarga Atmaja. Kalo kamu sudah bosan hidup serba berkecukupan, kamu boleh menolak."
Raina menghela nafas kasar. Pupus sudah keinginannya berpisah dari lelaki itu.
Dan sekarang? Ia malah diminta mengurusi pria cacat itu. Sial sekali dirinya.
"Yaudah, toh nanti aku bisa cari perawat buat ngurus dia," ucap Raina santai sembari memeriksa kukunya dengan cuek.
"Ga bisa. Kamu harus turun tangan secara langsung mengurus Ardan. Selama Ardan sakit kamu bakal tinggal di rumahnya mertua kamu biar mereka bisa ngawasin kamu."
"Tapi Pa, aku harus kuliah. Gimana mungkin aku ngurus dia sendiri?"
"Selama kamu kuliah Ardan kan bisa bareng Bunda dan yang lainnya. Atau kalo bisa kamu berhenti kuliah aja."
"Papa, aku udah semester akhir loh. Bentar lagi tinggal skripsi dan Papa seenaknya nyuruh aku berhenti? Aku udah nurutin maunya Papa loh dan kali ini aku ga mau nurut lagi!"
"Yaudah, kamu bisa angkat kaki dan kamu dicoret dari daftar penerima warisan Papa!"
"Bukan itu, Pa. Aku ga mau berhenti kuliah pokoknya!"
"Terserah kamu, toh yang bayarin kuliah kamu sekarang suami kamu. Tapi, jangan sampai kamu nelantarin suami dengan alasan kuliah."
Yang lain hanya memperhatikan mereka sedari tadi, sedangkan Ayah dan Bunda Ardan sedang melihat kondisi putranya.
"Iya iya," jawab Raina malas.
Sekarang ia malah semakin ingin lelaki yang berstatus suaminya itu meninggal segera.
Begitu Ayah dan Bunda Ardan keluar, ia langsung memasang tampang memelas.
"Ayah...Bunda..." panggilnya.
"Kenapa, Nak?" tanya Elin lembut.
"Rain ga mau berhenti kuliaaaaahhh," adunya dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu ga akan berhenti kuliah kok, lanjutkan kuliah kamu seperti maunya Ardan," ucap Arman.
Seketika senyum Raina mengembang.
"Tapi gimana aku bagi waktu buat Mas Ardan?" tanya Raina kembali murung.
"Kalo kamu kuliah, Ardan bisa sama Bunda dan yang lain, Raina!" geram Altaf.
"Gapapa, Bunda?"
"Gapapa, nanti Bunda bakal ke rumah kalo kamu kuliah atau kamu bawa Ardan sekalian ke rumah Bunda sama Ayah," jawab Elin sambil mengelus rambut Raina.
"Biar mereka pindah ke rumah kalian aja supaya ngawasinnya gampang," ucap Altaf.
"Ih Papa, kan ribet kalo pindah-pindah," ucap Raina.
Ia kembali menatap kedua mertuanya.
"Terserah kamu mau ikut opsi mana, yang pertama atau yang kedua," ucap Elin.
"Biar mereka pindah aja," timpal Nike.
"Tapi, Maaa..."
"Ikut opsi pertama aja kalo gitu," ucap Elin.
"Jangan Lin, nanti dia macam-macam lagi," ucap Mama Nike.
"Udah, kami percaya kok sama Raina. Kami yakin Raina bakal rawat Ardan dengan baik," ucap Elin.
"Raina itu anaknya nekat, kalo dia sampai buat Ardan telantar gimana? Udah, biar dia pindah ke rumah kalian atau ga ke rumah kami," ucap Mama Nike.
"Ih Mamaaa."
"Sudah sudah, jangan berdebat. Ini rumah sakit," lerai Arman.
"Biar mereka pindah aja. Itu udah paling bener buat mencegah hal buruk. Kalian keberatan?" ucap Altaf pada Arman dan Elin.
"Engga, kami malah senang kalo mereka tinggal bareng kami. Kan kita bisa rawat Ardan bareng-bareng," ucap Elin yang diangguki Arman.
Raina terduduk kembali.
Sudahlah, tak ada yang akan mendengarkan maunya.
"Sabar ya Rain," ucap Nia berbisik seraya mengelus pundaknya. Raina hanya melirik sekilas dan menundukkan wajah.
...❄️❄️❄️...
...Jangan lupa vote dan comment...
...Semoga kalian suka🙏❤️...
...Terimakasih❤️...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
🍒 rizkia Nurul hikmah 🍒
next
2021-12-22
0