BAB IV - Awal mula

Flashback 2 tahun yang lalu.

"Aduh!"

Seruan itu membuat Rina berhenti di tengah koridor. Ia melihat ada seorang Ibu-ibu memegang paha kirinya dan tampak susah payah menyeret tubuhnya ke kursi terdekat.

Melihatnya kesulitan, mau tidak mau Rina teringat ibunya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Ibunya menderita penyakit rematik yang cukup parah, membuat Rina harus menyewa seorang perawat untuk mengurus ibunya di rumah. Ia tidak mungkin membebani ayahnya, yang saat itu juga harus menjalani rawat jalan untuk penyakit gagal ginjalnya. Meskipun mendapatkan uang pensiun, namun jumlahnya sangat sedikit dan tidak cukup untuk dapat membiayai berbagai pengeluaran rumah tangga. Oleh karena itu, sejak lulus kuliah dan mulai bekerja Rina pun menjadi tulang punggung di keluarganya.

Dengan sigap, Rina pun membantu ibu tersebut yang tampak tertatih-tatih berjalan menuju salah satu kursi tunggu. Menyadari yang menolongnya adalah seorang wanita muda, membuat ibu-ibu tersebut tersenyum dan menarik tangan Rina untuk duduk di sebelahnya.

"Ayo sini, duduk dulu."

Ibu-ibu itu memiliki wajah yang ramah dan menyenangkan. Usianya sekitar 60 tahunan, yang membuat Rina bertanya-tanya kenapa wanita seusianya masih berjalan sendirian di rumah sakit. Tidak adakah sanak saudara yang dapat mengantarnya? Rina celingak-celinguk di sepanjang koridor, mencari kerabat si ibu yang mungkin akan muncul dari salah satu ruangan.

Si ibu terus memperhatikan muka Rina yang masih tampak mencari-cari sesuatu. Ia memutuskan bahwa ia menyukai perempuan di depannya ini. Ada sesuatu dalam diri wanita muda ini yang membuatnya terkesan, tapi ia belum tahu apa itu.

"Apa yang kamu cari?"

Akhirnya si ibu bertanya ramah. Ia ingin mengobrol banyak dengan wanita muda ini.

"Eh-"

Rina tampak salah tingkah mendengar pertanyaan si ibu.

"Hmmm, apakah ibu tidak ada yang mengantar?"

Si ibu malah terkekeh dan berkata dengan santai, "Senangnya punya anak perempuan ya. Kalau saya punya anak gadis, mungkin akan seperti kamu."

Rina terpana mendengar jawaban si ibu yang tidak terduga, dan ia juga ikut tertawa.

Obrolan mereka pun berlanjut tanpa terasa. Tanpa disadarinya, Rina pun menceritakan mengenai keadaan ayahnya dan kehidupannya saat ini. Ia merasa mendapatkan sosok ibu yang sudah lama hilang dalam hidupnya, hingga Rina mendapatkan telepon di ponselnya.

"Halo, pah? Ah, sudah selesai? Oke, Rina kesana ya?"

Rina sebenarnya tidak enak hati untuk meninggalkan si ibu sendirian, tapi ayahnya sudah selesai menjalani perawatan dan harus ia jemput segera.

"Hmmm, saya harus menjemput ayah saya. Tapi-"

Si ibu langsung memotong mendengar penjelasan Rina.

"Tidak apa-apa Rin. Kamu jemput saja ayahmu. Sebentar lagi anak saya datang kok."

"Tapi-"

Rina masih ragu-ragu meninggalkan si ibu sendirian. Meski koridor rumah sakit tersebut banyak orang yang lalu lalang, tapi tetap saja ia merasa seperti meninggalkan ibunya sendiri tanpa ada yang menemani. Rina masih berharap ada seseorang yang keluar dari salah satu ruangan untuk menjemput si ibu, tapi tampaknya harapannya sia-sia saja.

Si ibu berusaha menyakinkan Rina dengan menunjuk ponsel di tangannya.

"Anak saya sudah menuju ke sini. Sebentar lagi sampai. Tidak apa-apa kok, kamu ke tempat ayah kamu saja. Kasihan kan kalau lama menunggu."

Akhirnya setelah dipaksa, Rina pun memutuskan untuk pergi. Sepajang koridor, beberapa kali ia berbalik untuk melihat si ibu dan si ibu pun sambil tersenyum melambaikan tangannya. Sampai akhirnya ia berbelok dan tanpa sengaja menabrak seseorang yang sedang berjalan tergesa-gesa. Sebenarnya tubrukan itu tidak terlalu keras, namun besarnya tubuh orang tersebut membuat Rina pun oleng dan hampir terjatuh jika tidak ditopang.

Sempat kaget, spontan Rina mencengkram lengan atas pria yang ditabraknya dan merasakan otot-ototnya yang keras dan menegang. Dan meski tidak dapat dikatakan pendek, saat itu Rina hanya bisa melihat pemandangan dada bidang berbalut kemeja dan jas, serta sedikit kilasan dagu yang menggelap belum dicukur. Sebelum sempat mendongakkan kepalanya, pria itu sudah memantapkan posisi berdiri Rina dan meninggalkannya begitu saja.

Terbengong dengan kejadian yang cepat itu, Rina tersadar ketika ponsel di tangannya kembali berbunyi.

"Halo pah? Iya pah, Rina segera kesana."

Telepon dari ayahnya membuat Rina kembali fokus dan segera melupakan kejadian tadi.

Bahkan ia tidak menyadari ketika berjalan bersama ayahnya di parkiran mobil dan membantunya masuk, si ibu yang tadi ngobrol dengan dirinya sempat melambaikan tangan padanya. Saat itu pikiran Rina sangat kacau, terutama ketika mengingat perkataan dokter yang menyarankan agar ayahnya melakukan transplantasi ginjal karena kondisi organnya yang sudah sangat rusak. Ia juga tidak menyadari bahwa ketika mengendarai mobil melewati si ibu, ia juga berpapasan dengan pria yang tadi menabraknya. Yang ada di pikirannya hanya satu: Bagaimana ia bisa mendapatkan uang untuk operasi ayahnya?

Chris heran melihat ibunya memandangi mobil yang baru lewat dengan intens. Apalagi ibunya terlihat melambaikan tangannya pada seorang gadis yang tidak ia kenal. Memangnya mamah ada kenalan di rumah sakit ini?

"Maaf Chris terlambat. Tadi ada rapat sebentar di kantor."

Membantu ibunya masuk ke mobil, pria itu meminta maaf. Ia merasa bersalah pada ibunya. Padahal sang ibu jarang meminta tolong padanya, terutama untuk hal-hal kecil seperti ini.

Sang ibu hanya memandang anaknya sambil tersenyum. Melihat si anak yang sedang membantunya memasang seat belt, membuat sang ibu mengusap pipi anaknya dengan penuh sayang. Si ibu memegang kedua pipi anaknya dan menengadahkannya untuk melihat wajahnya. Ia meneliti wajah anaknya dengan seksama, memandang kedua bola matanya dan bertanya, "Chris, kamu sayang mamah?"

***

Beberapa minggu kemudian, saat Rina sedang mengurus administrasi di rumah sakit tiba-tiba ada seseorang yang memegang tangannya. Berbalik, Rina melihat si ibu yang beberapa waktu lalu pernah mengobrol dengannya. Bedanya, saat ini ia tampak di dampingi oleh seorang pria yang berperawakan sangat tinggi. Rina sampai harus mendongak hanya untuk melihat wajahnya, padahal ia bukan termasuk wanita pendek.

"Halo, Rina."

Sapa sang ibu ramah. Ia memandang wajah wanita muda di depannya yang terlihat lelah dan memerah seperti habis menangis.

"I-ibu."

Terbata-bata Rina menjawabnya. Entah mengapa, perasaannya saat ini yang sedang kalut membuatnya tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk wanita tua di depannya. Tanpa bisa dikontrolnya, Rina menumpahkan air matanya di pelukan si ibu yang dengan sabar mengusap-usap punggungnya, menghiburnya.

Setelah itu mereka bertiga tampak berada dalam kantin rumah sakit. Rina memegang cangkir di depannya dengan erat dan menunduk. Ia sebenarnya menyesal telah menceritakan segala permasalahannya pada wanita tua di depannya. Ia merasa malu dan seperti tidak punya harga diri karena dengan mudahnya membuka diri pada orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Tapi entah kenapa, dengan menceritakan masalahnya pada seseorang membuat beban dan sesak di dadanya sedikit berkurang. Ia cukup merasa lega tidak menyimpannya sendiri.

Sambil menghela nafas, Rina kembali menyesap teh panas di depannya dengan pelan. Suasana terasa hening, dan pikirannya berkelana ke hal yang menjadi masalahnya sekarang karena ia belum menemukan solusinya. Mengingat kondisi keuangannya saat ini yang jelas-jelas tidak akan mampu untuk membantu pengobatan ayahnya, membuat matanya mulai berair. Sepertinya ia memang harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Menyadari hal itu, membuat Rina menutup mata untuk menahan air matanya keluar.

Si ibu yang dari tadi hanya memandang wanita muda di depannya, kemudian menoleh pada pria di sebelahnya. Tanpa berkata-kata, ia menyentuh tangan pria tersebut dan meremasnya kuat. Matanya terlihat memohon dan sedikit berkaca-kaca.

Chris si pria, hanya terdiam dan meneliti perempuan di depannya yang sedang menundukkan kepalanya, yang terlihat seperti sedang menahan tangis.

Perempuan di seberangnya ini berpenampilan biasa saja. Rambutnya ikal sebahu lewat sedikit dan berwarna kecoklatan. Hal yang pertama kali Chris lihat darinya adalah kedua matanya yang besar dan bibirnya yang sedikit tebal. Ia juga tidak termasuk pendek, meski tetap saja kalah jauh jika dibandingkan dengan tinggi Chris saat berada di sampingnya. Pria itu mau tidak mau harus mengakui bahwa wanita di depannya cukup menarik, meski tidak dapat dikatakan istimewa. Masalahnya, Chris sudah cukup terbiasa menghadapi berbagai macam jenis wanita dalam lingkaran pergaulannya. Dan hampir sebagian besar memiliki stereotipikal yang sama, yaitu hanya menyukai pria berduit seperti dirinya.

Ia sebenarnya tidak ingin terlibat dalam permasalahan seperti ini, apalagi terkait dengan wanita. Sungguh, ia sudah cukup muak saat harus mendengar celotehan teman-temannya mengenai wanita-wanita teman kencan mereka dan yang terparah, selingkuhan mereka. Selain itu, ia juga cukup skeptis untuk membina hubungan yang serius dengan seseorang mengingat pernah mengalami peristiwa traumatis di masa lalunya. Ia juga bukanlah seorang pria berpengalaman yang dengan mudahnya berpindah dari satu perempuan ke perempuan lain, sehingga tidak memiliki kemampuan komunikasi atau jurus rayuan maut saat menghadapi lawan jenisnya. Keadaan ini benar-benar membuatnya tidak nyaman.

Chris benar-benar gelisah dan ingin melarikan diri dari situasi yang sedang dihadapinya, namun ketika kembali merasakan remasan yang kuat di tangannya, ia pun menoleh ke sampingnya. Melihat mata ibunya, baru kali ini Chris melihat sorotnya yang penuh dengan permohonan. Seumur hidupnya, Chris belum pernah mendengar ibunya memohon padanya untuk sesuatu. Bahkan kejadian dengan ayahnya bertahun-tahun yang lalu, ibunya pun menyerahkan segala keputusannya pada Chris. Selama ini, ibunya hanya sekedar memberikan pandangan berdasar pengalaman hidupnya sendiri, namun tidak pernah berusaha untuk memaksakan Chris agar mengikuti kemauannya.

Menghela nafasnya dengan panjang, Chris pun pada akhirnya menganggukkan kepalanya pada ibunya dengan berat. Ia memutuskan akan mengabulkan permintaan ibunya.

Melihat anaknya yang akhirnya menyetujui permohonannya, membuat si ibu terlihat sumringah. Matanya berbinar-binar dan ia pun mencium pipi anaknya dengan sembrono saking gembiranya, meninggalkan bekas lipstik yang berantakan di pipi anak lelakinya.

Pemandangan yang mengejutkan di depan matanya membuat Rina yang tadinya sedang menunduk, mendongakkan kepala melihat interaksi ibu dan anak tersebut. Ia sedikit merasa terhibur melihat si pria besar tampak sebal dengan kelakuan ibunya, dan dengan tidak sabar menggosok-gosok pipinya yang malah membuat lipstik yang menempel makin berantakan. Dengan terkekeh, Rina pun akhirnya mengulurkan selembar tissue basah pada pria tersebut.

Menyadari wanita di depannya mengulurkan tissue, Chris pun menerimanya dengan penuh terima kasih. Kedua orang asing tersebut, yang belum pernah saling mengenal sebelumnya, untuk pertama kalinya, saling bertukar senyuman dengan tulus.

Si ibu yang melihat interaksi antara keduanya, tersenyum dengan lembut. Ia semakin merasa yakin dengan pilihannya. Meski kedepannya akan ada masalah, tapi si ibu memiliki keyakinan bahwa dua orang di depannya ini akan dapat mengatasinya. Mereka hanya butuh waktu dan kesempatan untuk menyelesaikan semuanya. Ia bahagia telah berhasil menjadi mak comblang buat anaknya yang saat ini sedang berstatus sebagai perjaka tua.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!