BAB II - Ingatan Chris (1)

Sambil mengeringkan rambutnya, Chris berjalan ke arah tempat tidur dan mengambil ponselnya. Ia memeriksa beberapa email yang masuk dan juga menelepon Rich untuk memberikan instruksi yang harus dijalankannya besok pagi. Selesai melakukan koordinasi singkat masalah pekerjaan, ia langsung menuju lemari baju dan memakai pakaian rumahnya. Sambil mendesah, Chris membaringkan tubuhnya di kasurnya yang nyaman. Ia adalah tipe pria rumahan, sehingga meskipun merasakan berbagai fasilitas mewah selama melakukan perjalanan dinas, namun rumah tetap tempat yang paling nyaman untuk dirinya.

Saat menenggelamkan wajah ke bantalnya yang empuk dan hampir masuk dalam dunia mimpi, otak Chris mulai menyadari sesuatu yang akhirnya membuatnya kembali bangkit dan duduk menyender ke kepala tempat tidur. Matanya menangkap sesuatu yang terlihat janggal di laci meja samping tempat tidurnya. Lacinya terlihat terbuka sedikit, dan tampak ada sesuatu di dalamnya. Sepanjang ingatan Chris, ia hampir tidak pernah menggunakan laci tersebut sehingga situasi ini membuatnya mengernyitkan dahinya. Ia pun membuka laci itu dan mengeluarkan sebuah amplop coklat dengan tulisan: to Chris di permukaannya.

Chris menimang-nimang amplop yang ada di tangannya dan merasa ada beberapa benda yang saling bergesekan di dalamnya. Ia tidak mengenali tulisan tersebut namun hatinya mulai menerka-nerka mengenai siapa pengirimnya, apalagi ia tahu akses yang dimiliki orang-orang untuk keluar-masuk ke wilayah pribadinya cukup terbatas. Tidak, ia tahu pasti siapa pemilik amplop ini dan otaknya pun cukup waras untuk dapat berasumsi mengenai isinya. Namun entah kenapa, tanpa diinginkannya hatinya mulai merasa takut untuk membukanya.

Dengan perlahan, ia pun menuangkan isi amplop tersebut di kasur dan terlihat sebuah dokumen, selembar kertas, beberapa kartu dan dua cincin yang sangat dikenalinya karena ia yang membelinya. Chris meraih cincin-cincin tersebut, itu adalah cincin pertunangan dan pernikahan yang dengan terpaksa ia berikan pada isterinya. Ia menyadari betapa sederhananya cincin-cincin tersebut, bahkan ia mengingat bahwa ia hanya sekedar mengeluarkan uang untuk membayarnya namun tidak pernah membantu untuk memilih modelnya. Ingatannya kembali di saat ia berada di toko perhiasan bersama dengan Rina.

Flashback 1,5 tahun yang lalu.

"Cepatlah memilih. Saya tidak punya banyak waktu." Chris memeriksa jam tangannya dan menyadari bahwa ia hanya memiliki waktu 1 jam untuk menyelesaikan urusan yang menurutnya sepele ini. Ia telah dihubungi oleh Rich bahwa mereka akan ada meeting dadakan, membuatnya lebih tidak sabar untuk segera kembali ke kantor.

Saat itu, Chris sekilas menyadari mengenai raut muka Rina yang terlihat bingung dan malah menanyakan pada Chris mengapa mereka berada di toko perhiasan tersebut. Menahan kekesalannya, Chris menjawab bahwa mereka harus membeli cincin pertunangan dan juga perkawinan untuk Rina. Ia bahkan tidak menyadari bahwa ia seharusnya membeli cincin tersebut sepasang dan hanya ingin segera menjalankan titah ibunya saja.

Setelah melihat-lihat sebentar, akhirnya Rina menjatuhkan pilihannya pada 2 buah cincin di hadapan Chris. "Saya mau model ini."

Melihat cincin-cincin itu, Chris sadar bahwa modelnya sederhana tapi ia tidak mau terlalu memikirkannya, karena ia yakin Rina akan mulai menuntutnya saat mereka sudah resmi menikah nanti. Mungkin ia hanya pura-pura saja sebagai wanita sederhana. Toh semua wanita menurutnya sama, hanya mau pada pria yang berduit saja. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Rina yang ia juga tahu, menikahinya karena faktor uang. Alasan inilah yang membuat Chris menjadi kurang menghargai calon isterinya itu dari awal pertemuan mereka.

Ketika membayar kedua cincin itu, Rina tampak memandangnya dengan tatapan aneh. Wanita itu seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi terlihat ragu-ragu.

"Kenapa?" tanya Chris. Ia kurang suka dengan tatapan Rina yang membuatnya kurang nyaman. Seolah-olah ia melakukan suatu kesalahan.

"Kalau tidak suka, nanti setelah menikah saya akan membelikan yang lebih mahal. Tapi sekarang, pakai saja yang ini. Saya tidak punya waktu untuk memilih *****-bengek yang tidak perlu seperti ini." Chris berbicara dengan ketus, untuk menutupi ketidaknyamannya.

Rina dengan cepat meraih kantong perhiasan itu dari tangan Chris dan sambil tersenyum menjawab segera, "Tidak. Tidak apa-apa. Yang seperti ini juga cukup. Terima kasih."

Wanita itu memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah, karena ia tahu maksud dari pernikahan mereka. Ia akan mencoba untuk bersabar dan fokus pada tujuannya saja.

Hari itu pun berlalu begitu saja dan mereka berdua kembali ke aktivitas masing-masing. Chris yang dijemput oleh Rich kembali ke kantor, dan Rina memilih untuk menggunakan taksi untuk kembali ke tempat kerjanya. Chris tidak menyadari, bahwa itu adalah kali pertama ia akan mulai menyakiti Rina dengan kata-katanya.

Kembali ke masa sekarang.

Ketika melihat cincin-cincin itu, Chris menyadari bahwa ia tidak pernah melihat Rina membuka kedua cincinnya meski saat ia mencuci atau pun memasak. Memasak. Ingatan Chris kembali lagi ke masa-masa saat Rina masih berada dalam apartemen ini. Meski ia tidak mau mengakui secara langsung, tapi perut dan lidahnya tidak bisa memungkiri kalau ia menikmati makanan yang isterinya masak. Mereka memang hampir tidak pernah makan malam bersama, namun Rina tampak selalu berusaha untuk dapat menemani dan melayani tiap kali Chris makan, salarut apapun itu.

Kalau dipikir-pikir, Chris hampir selalu menanti-nantikan untuk dapat pulang ke rumah dan menikmati masakan isterinya. Sebisa mungkin ia menolak berbagai undangan makan malam dari partner-partner kerjanya hanya agar dapat segera kembali ke rumah. Pada saat ia pulang pun, Rina hanya akan menyambutnya di depan sofa dan menyiapkan makanan untuknya. Setelah itu, isterinya akan masuk ke kamar tamu atau sengaja menyibukkan diri dengan hal lain, dan baru kembali ruang makan ketika Chris sudah berada dalam kamarnya. Sejak kejadian pertengkaran malam itu, Rina memang tampak ingin menghindari dirinya.

Flashback 3 bulan lalu.

Chris dan Rina masuk ke dalam apartemen dengan raut muka yang sama-sama masam. Mereka baru kembali dari rumah ibu Chris, dan Chris sangat tidak menyukai percakapan yang terjadi saat makan malam di sana. Sambil menutup pintu apartemen dengan keras, Chris berbalik ke arah Rina. Di ruang tengah, mereka saling berhadap-hadapan. Chris menatap isterinya dengan tajam dan penuh tuduhan, sedangkan isterinya terlihat merasa bersalah.

"Apa maksudmu tadi?"

Suara Chris terdengar berat dan dalam. Ia mencoba untuk tidak terbawa emosi, dan hal inilah yang ditakuti oleh Rina karena Chris adalah pria yang sangat rasional. Ia menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat atau didengarnya, dan bukan yang dirasakannya. Rina merasa ia berhadapan dengan seorang hakim dibanding seorang suami. Tiap kali mereka bertengkar, Rina harus bisa memberikan argumen yang jelas dan tegas pada suaminya. Ia tidak bisa hanya melakukan konfrontasi dengan menggunakan hatinya, tapi juga harus dengan otaknya.

Sedangkan Chris sendiri saat ini benar-benar mencoba menahan emosinya. Pertemuan dengan keluarganya tadi membuatnya merasa jadi pesakitan. Dikarenakan kata-kata isterinya, pertanyaan demi pertanyaan malah dilontarkan oleh ibu dan adik-adiknya. Chris jadi kelabakan untuk menjawabnya, karena hal ini sama sekali tidak pernah terfikirkan olehnya. Isterinya sendiri saat itu malah kabur ke dapur, dengan alasan mengambil makanan.

Rina tahu saat itu seharusnya saat itu ia bertanggungjawab terhadap kata-katanya, tapi malah pergi meninggalkan suaminya yang kebingungan.

Menarik nafasnya dengan sulit, wanita itu mencoba untuk menjawab hati-hati.

"Aku-, Aku hanya menjawab pertanyaan mamah."

"Hanya menjawab, ya?" Dengan geram Chris bertanya.

Ia mulai melangkah maju mendekati isterinya. Saat Chris maju satu langkah, Rina akan mundur dua langkah dan seterusnya sampai isterinya tersebut terpojok karena terhalang oleh meja pantry di dapur. Rina mulai merasa takut, bagaimana pun juga ukuran tubuh Chris dua kali lebih besar dan lebih berat dibanding dirinya. Tingginya hanya sebatas dagu Chris, dan ia tahu jika nekad maka bisa saja suaminya dapat membuatnya masuk rumah sakit hanya dengan mengayunkan sebelah tangannya begitu saja.

Jika suasananya berbeda, mungkin Rina tidak akan merasa takut. Ia juga cukup yakin bahwa suaminya tidak akan setega itu untuk menyakiti dirinya secara fisik. Tapi wajah dan tubuh suaminya yang terlihat menyeramkan saat ini membuat nyalinya bersembunyi entah kemana.

"Ch-, Chris, jangan mendekat."

Suara Rina mulai terdengar bergetar. Tapi suaminya tetap tidak berhenti untuk mendekatinya, meski Rina sudah terpojok ke pinggir meja.

"Jangan mendekat, Chris!"

Cicit Rina dengan kedua tangan yang membentuk kepalan kecil di depan dadanya, yang entah mengapa posisi isterinya justru terlihat lucu bagi Chris. Ia sama sekali tidak habis fikir, memangnya isterinya berfikir dia akan menyakitinya? Bodoh sekali!

Saat ini, jarak mereka hanya tinggal sepanjang lengan Chris.

"Apa maumu, Chris?"

Rina dengan panik mencari cara untuk melarikan diri. Ia benar-benar mulai takut pada suaminya dan merasa bodoh sudah berani untuk menantangnya.

"Mauku adalah agar kamu menutup mulutmu itu ketika berhadapan dengan mamah."

Chris menjawab dingin sambil menunjuk muka isterinya.

"A- Aku cuma mau membantu kita berdua saja, Chris."

Rina mulai memberikan penjelasan. Ia mau agar suaminya paham maksudnya saat itu.

"Kamu tahu kan kalau mamah tidak akan pernah berhenti bertanya. Setiap kali kita datang kesana, hanya hal itu yang ditanyakannya."

Merasa sedikit tenang karena suaminya masih diam di tempat, ia bertanya ragu-ragu.

"Atau- Atau, jangan-jangan kamu menginginkannya?"

Penjelasan Rina awalnya cukup dapat diterima oleh Chris, namun dahinya mulai berkerut ketika mendengar kalimat terakhirnya. Di otaknya sudah mulai terbentuk asumsi yang tidak disukainya, tapi ia mencoba hanya berdiri diam dan menunggu.

Ketika melihat suaminya masih tidak bergerak, Rina mencoba melanjutkan setelah mengisi oksigen dalam paru-parunya.

"Aku-, Aku tahu bahwa kita memang tidak pernah membicarakan masalah anak. Aku minta maaf karena tidak meminta pendapatmu dulu dan langsung mengatakan kalau kita tidak berencana memilikinya."

Rina menatap Chris dengan lebih intens, tatapannya penuh tekad. Jantungnya berdebar-debar, namun ia bersemangat. Ia ingin mengutarakan isi hatinya pada suaminya saat ini dan sekarang. Ia merasa selama berbulan-bulan pernikahannya, Rina merasa sekaranglah saatnya yang tepat untuk mencoba melangkah lebih jauh dalam hubungannya bersama Chris.

"Aku tahu bahwa hubungan kita tidak diawali dengan dasar yang baik. Tapi-"

Rina menelan ludahnya susah payah, ia membutuhkan banyak pompa keberaniannya saat ini.

"Aku mau mencoba Chris. Kalau memang kamu menginginkan seorang anak, aku bisa mencobanya. Kita bisa konsultasi ke dokter dan menanyakan-"

Saat kata-kata sang isteri sudah mulai masuk dan dicerna otaknya, Chris memandang tidak percaya ke arah Rina dan memotongnya.

"Sebentar, sebentar."

Chris mulai mundur menjauhi isterinya sambil mengangkat kedua tangannya.

"Kamu pikir pernikahan kita akan berlangsung selamanya?"

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh kecil.

"Kamu tidak berfikir kalau saya bakal mencintai kamu, kan? Kamu tidak pernah berfikir kalau kita tidak akan bercerai, kan?"

Rina tampak shock mendengar perkataan Chris. Terus terang, ia tidak pernah berharap kalau Chris akan mencintainya semudah ia jatuh cinta pada Chris. Namun, ia tidak menyangka bahwa Chris ternyata benar-benar akan menutup dirinya terhadap kemungkinan tersebut mengingat mereka sudah hampir menikah 1 tahun lamanya. Paling tidak, tadinya ia berharap suaminya masih mau mencoba untuk menerimanya sebagai pendamping hidupnya. Kata-kata cerai dari suaminya membuat dirinya tertegun dan tidak percaya akan pernah mendengarnya.

Apakah Chris benar-benar tidak mau melihat usahanya untuk dapat menjadi isteri yang baik? Apakah ia memang terlalu naif dan buta karena sudah jatuh cinta pada suaminya sendiri? Sia-siakah usaha yang sudah dilakukannya selama ini? Atau dirinya-lah yang tidak mau melihat bahwa Chris memang sama sekali tidak pernah menganggap pernikahan mereka nyata? Pertanyaan-pertanyaan yang membanjiri benaknya membuat Rina hanya bisa terdiam.

Chris tiba-tiba membalik badannya dan mengambil dokumen yang berada di ruang tengah. Rina sudah menyadari keberadaan dokumen itu semenjak siang dan mengira itu adalah dokumen kantor Chris yang tertinggal, yang biasanya akan diambil oleh asisten pribadinya.

Suaminya mengulurkan dokumen tersebut pada Rina dan menggoyangkan tangannya, mengintsruksikan isterinya untuk mengambilnya. Dengan ragu, Rina pun mengambil dan melihat isinya. Ia berusaha untuk menekan keterkejutannya dan menelan rasa pahit yang tiba-tiba dirasakan di mulutnya. Isinya adalah: Surat Perjanjian Perceraian. Dokumen tersebut terdiri dari berbagai pasal yang tidak bisa dicerna oleh otak Rina. Ia tidak bisa berfikir saat ini.

Melihat isterinya hanya diam, Chris memutuskan untuk melanjutkan kata-katanya tadi.

"Tandatangani surat itu saat kamu sudah merasa siap. Saya tahu ayahmu sudah mendapatkan pengobatan yang terbaik beberapa bulan ini. Setelah bercerai pun, saya berjanji akan tetap menafkahi kamu dan juga membantu pengobatan ayahmu. Kalian tidak akan kekurangan."

"Ta- Tapi, kenapa?"

Rina memberanikan untuk bertanya, setelah ia mampu untuk menemukan suaranya kembali.

Chris menatap Rina dengan cukup terkejut dan mengangkat alisnya. Apakah isterinya senaif itu? Apakah ia benar-benar menyangka kalau mereka akan terikat selamanya? Atau jangan-jangan seperti dugaannya, isterinya adalah wanita yang serakah!

"Kamu benar-benar bertanya kenapa?"

Chris berusaha untuk mengontrol emosinya dan melanjutkan setelah menarik nafas panjang.

"Dengar, kita berdua sudah sama-sama tahu pernikahan seperti apa yang kita jalani sekarang. Saya tidak tahu dengan kamu, tapi saya sudah tidak bisa bersandiwara lagi. Saya kira 1 tahun sudah lebih dari cukup untuk menjalani pernikahan pura-pura ini. Dan saya kira sudah lebih dari cukup juga keluarga saya membantu kamu dan ayahmu."

Mendengar hal itu, hati Rina merasa sakit namun ia tidak mau kalah sebelum mencoba. Ia masih berharap dan yakin kalau pernikahannya dengan Chris masih bisa diselamatkan. Ia meletakkan dokumen tersebut di meja makan dan mencoba bersikap seolah-olah tindakan Chris ini tidak membuat hatinya remuk. Ia memandang suaminya dengan berani.

"Chris, kata siapa kalau aku hanya pura-pura menjadi isterimu? Mungkin itu yang kamu lakukan, tapi tidak dengan aku."

Rina benar-benar serius dengan setiap perkataannya. Melihat tatapan penuh intimidasi dari suaminya, ia berusaha untuk dapat tetap tegak berdiri dan menggenggam erat kedua tangannya di depan dadanya. Kakinya terasa mulai gemetar saat ini.

"Selama ini aku serius menjalankan perananku sebagai isterimu. Aku berusaha selalu memasak untukmu. Aku juga membantu membersihkan rumahmu. Ketika kita ke rumah mamah pun, aku mencoba untuk berperan sebagai isteri yang baik di hadapan keluargamu."

Rina merasa tidak terima jika usahanya beberapa bulan ini akan sia-sia saja. Dengan nafas mulai memburu, Rina melanjutkan pembelaan dirinya.

"Aku bahkan mau mencoba memiliki anak denganmu. Jadi apa yang kurang, Chris? Katakan padaku agar aku bisa memperbaiki diri!"

Mendengar perkataan isterinya, tiba-tiba Chris malah tertawa dengan keras. Pandangan yang awalnya tidak percaya pada isterinya, perlahan mulai berubah melecehkan. Ia tidak menyangka bahwa isterinya menganggap dirinya begitu bodoh untuk percaya begitu saja. Hanya karena isterinya sering memasak dan berakting baik di depan keluarganya, maka ia akan melupakan begitu saja kalau isterinya dari awal bertujuan mengincar uangnya?

Chris sebenarnya tidak pernah ingin membicarakan mengenai masalah ini dengan isterinya. Ia masih berusaha untuk dapat menerima keadaan ini dengan kepala dingin. Ia bersedia menerima Rina dan membantu keluarganya, tapi ia juga tidak berharap bahwa itu akan berlangsung selamanya. Saat dirasa ibunya sudah puas melihat dirinya menikah, ia juga ingin segera mengakhiri hubungan ini. Apalagi saat ini dirinya mulai merasa tersiksa harus terus menerus hidup bersama dalam satu atap dengan wanita yang tidak bisa disentuhnya.

Meski sebenarnya ingin, tapi Chris tidak mau memanfaatkan Rina untuk kepuasan pribadinya karena mereka tidak saling mencintai, dan ia juga masih terlalu takut untuk mencoba. Karena itu, ia benar-benar ingin segera mengakhiri hubungannya dengan Rina terutama ketika ia mulai menyadari adanya sedikit ketertarikan pada wanita itu.

"Kamu kira, saya mencari pembantu? Saya bisa mencari orang lain untuk memasak dan membersihkan rumah, tanpa harus menjadi seorang isteri. Kalau hanya seperti itu kriterianya, bisa-bisa Ibu Megan akan saya nikahi nantinya."

"Chris!" Rina sedikit menjerit mendengar perkataan suaminya yang terdengar kurang ajar.

"Kamu sadar siapa kamu? Kamu itu menikah dengan saya hanya karena butuh uang! Kamu bahkan mendekati mamah hanya untuk tujuan itu! Jadi jangan katakan kalau kamu punya kualitas untuk menjadi seorang isteri!"

Intonasi Chris yang mulai meninggi menyadarkan Rina. Ia menyesal telah menyulut kemarahan suaminya dengan mengungkit isu sensitif ini di waktu yang tidak tepat. Ia mulai takut kalau suaminya akan mengeluarkan kata-kata yang tidak ingin didengarnya.

"Chris, tolong-"

Tapi Chris tidak mau mendengar. Saat ini ia benar-benar merasa marah, marah pada keadaan yang membuatnya berada dalam posisi yang sulit. Pria itu berusaha untuk tidak berteriak. Cuping hidungnya tampak berkembang dan dadanya naik turun saat ia berusaha mengambil nafas dalam. Ia masih mencoba menahan dirinya untuk tidak meledak di hadapan isterinya.

"Dan ini-"

Ia menunjuk makanan sisa masakan tadi siang dan membanting piringnya cukup keras di meja makan, sampai isinya tumpah berantakan.

"Ini hanya sekedar masakan! Kamu tidak perlu sok-sokan untuk bermain rumah-rumahan di sini. Saya tidak pernah meminta kamu untuk memasak atau membersihkan rumah."

Hal yang dilakukan Chris membuat Rina kaget dan hanya bisa menatap nanar. Suaminya meski dingin dan ketus, namun tidak pernah bersikap kasar seperti ini. Dan semua perkataan Chris pun seolah-olah melemparkannya kembali dalam dunia nyata. Bahwa selama ini ia hanya sedang bermain rumah-rumahan dengan suaminya. Tidakkah suaminya bisa melihat betapa seriusnya Rina mencoba menjalankan perannya? Muka Rina mulai memerah, dan ia hanya bisa berharap bahwa Chris tidak melihat betapa kata-katanya tadi membuatnya hancur.

"Chris..."

Suara Rina terdengar lemah ketika ia berusaha membela dirinya untuk terakhir kali.

"Dan asal kamu tahu-"

Chris memotongnya kembali dan dengan posisi yang mengancam, menunjuk wajah Rina dengan jari telunjuknya.

"Kamu saya nikahi karena mamah yang meminta. Karena dia kasihan sama kamu, dan agar dia bisa membantu kamu tanpa ada banyak pertanyaan dari orang lain. Jadi, jangan pernah berharap kalau kamu bakal bisa masuk dalam keluarga saya."

Deg!

Dan perkataan terakhir Chris pun sukses meremukkan harapan Rina yang masih tersisa dengan sempurna.

"Terakhir, saya pun tidak pernah berniat untuk menyentuh kamu. Jadi jangan pernah mengungkit lagi mengenai masalah anak!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!