Semenjak kejadian malam itu, hubungan Chris dan Rina menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Rina berusaha sebisa mungkin menghindari kontak langsung dengan Chris. Ia tidak mau menyulut kemarahan suaminya lagi, yang malah membuatnya makin sakit hati. Ia tetap berusaha untuk memasak dan melayani suaminya untuk makan, semata-mata karena tidak mau melihat Chris sakit. Ia tahu kalau sebagai pimpinan perusahaan, suaminya super sibuk sampai kadang bisa lupa makan. Ia juga tahu kalau Chris punya penyakit maag yang akut.
Ternyata, rasa cinta Rina mengalahkan rasa sakit hatinya karena perkataan Chris beberapa malam lalu. Ia sadar bahwa dengan status pernikahannya yang tidak menentu seperti ini, suaminya bisa mengajukan cerai kapan saja. Karena itu, selagi masih ada waktu maka Rina berusaha untuk memanfaatkannya sebaik mungkin. Siapa tahu ia masih bisa merubah pandangan suaminya terhadap dirinya dan membuatnya mempertahankan pernikahannya. Entah mengapa Rina masih menggantungkan diri pada harapannya yang terlihat bodoh itu.
Namun demikian tanpa disadari keduanya, semakin Rina berusaha menjauh, semakin Chris berusaha untuk mendekatinya. Seperti ketika kebetulan Chris pulang sedikit lebih cepat dari biasanya, sedangkan Rina ternyata masih harus lembur di kantornya dan pulang agak larut. Saat masuk ke apartemen, Rina melihat suaminya sedang duduk di meja makan. Ekspresi suaminya terlihat gelisah ketika memandang dirinya.
"Darimana kamu?"
Tiba-tiba Chris bertanya. Ini adalah pertama kalinya suaminya berbicara padanya lagi sejak kejadian malam itu.
Terkejut, Rina hanya bisa menjawab kalau ia biasanya memang harus bekerja lembur di akhir bulan. Ini adalah kali pertamanya juga bagi Chris untuk memberi perhatian pada kegiatan Rina. Biasanya Chris akan berangkat ke kantor sebelum Rina, dan akan pulang setelah isterinya tiba di rumah. Jadi yang ada dalam benak Chris adalah bahwa isterinya seharusnya sudah ada di apartemen ketika ia pulang dari kantor. Adanya hal di luar kebiasan ini tampak membuat Chris tidak nyaman dan tanpa alasan yang logis, ia merasa tidak suka.
Sudah tidak memiliki tenaga untuk bertengkar lagi dengan suaminya, Rina pun melangkah menuju kamarnya untuk istirahat namun terhenti karena perkataan kedua Chris.
"Tidak ada makanan."
Itu adalah pernyataan, bukan pertanyaan apalagi permintaan mengingat sebelumnya Chris pernah mengatakan hal-hal yang menyakitkan mengenai hal ini. Namun entah mengapa, Rina menangkap pesan bahwa Chris meminta makan padanya. Suaminya ingin dia memasak dan ingin memakan masakannya. Entah hal tersebut memang benar atau pikirannya yang sudah gila karena terlalu mencintai suaminya, namun hati Rina tetap sedikit tergetar mendengarnya. Bolehkah ia masih berharap?
Rina melihat suaminya tampak salah tingkah menunggu jawabannya. Suaminya juga tampak menghindari untuk memandang dirinya, dan memilih untuk melihat ponsel yang sedang dipegangnya saat itu. Pemandangan ini mau tidak mau membuat Rina sedikit tersenyum.
Dengan rasa lelah yang tiba-tiba hilang dari tubuhnya, Rina menaruh tasnya di salah satu kursi makan dan membuka kulkas untuk melihat isinya. Sambil berbalik, ia bertanya dengan penuh semangat pada suaminya, "Mau makan apa?"
Kembali ke masa sekarang.
Setelah meletakkan kembali cincin-cincin itu, Chris meraih kartu-kartu yang berserakan. Ia melihat itu adalah kartu-kartu yang pernah ia berikan pada Rina untuk digunakan. Satu kartu debit, satu kartu kredit dan satu kartu akses untuk apartemen. Kartu-kartu itu ia serahkan karena ia merasa berkewajiban untuk memberikan nafkah pada isterinya, meski sementara. Ia juga ingin agar mereka berdua ada privacy dan tidak saling mengganggu dengan pembagian akses yang berbeda. Chris tahu bahwa semenjak menjadi isterinya, Rina hampir tidak pernah mempergunakan kedua kartunya kecuali untuk membeli keperluan sehari-hari.
Iseng, Chris pernah menginstruksikan Rich agar mencetak pengeluarannya selama 4 bulan Rina menjadi isterinya. Dan hasilnya membuatnya cukup terkejut. Rina tidak pernah memakai kartu kreditnya satu kali pun, dan kartu debitnya ia gunakan seminimal mungkin. Sebagai suami, Chris merasa sedikit tertampar dan berfikir bahwa isterinya tidak menghargai dirinya.
Entah Chris yang terlalu tolol untuk menyadari maksud isterinya, namun hal ini membuatnya serta merta membelikan banyak gaun, sepatu, tas-tas dan juga perhiasan. Yang tentu saja kesemuanya tidak pernah ia pilih sendiri. Ia mengandalkan asistennya untuk memilih model yang sedang tren dan kira-kira disukai oleh banyak wanita. Ia tidak mempedulikan berapa banyak uang yang dikeluarkan, hanya untuk memuaskan egonya sebagai seorang laki-laki.
Sambil memainkan kartu-kartu tersebut di tangannya, Chris mengingat respon isterinya yang terlihat terkejut dan malah tampak kecewa dengan banyak pemberiannya. Apalagi ketika menyadari bahwa semua barang tersebut dipilih oleh orang lain, yang membuat Rina merasa tidak ada istimewanya untuk menerima barang-barang itu meski harganya mahal. Secara spontan, saat itu Chris tertawa ironis ketika isterinya malah menanyakan untuk apa suaminya memberikan banyak barang untuknya. Yang pada akhirnya membuat Chris kembali mengeluarkan perkataan yang menyakiti isterinya untuk kesekian kali.
Flashback 8 bulan lalu.
Ketika sampai di rumah dan memasuki kamarnya, Rina terkejut mendapati banyak sekali kotak dan kantong-kantong belanja tersebar di lantai kamar dan tempat tidurnya. Dari tulisan yang ada di tas-tas tersebut, Rina tahu bahwa semuanya adalah merk ternama dan harganya pun jauh di luar jangkauan Rina. Dalam mimpi pun ia tidak berani membayangkan akan memilikinya karena bahkan jika menyimpan sisa gajinya selama setahun pun, belum tentu ia akan mampu membeli salah satu dari barang-barang tersebut.
Sambil terduduk dengan lesu di tempat tidur, Rina memandang seluruh belanjaan tersebut dengan hati yang tidak karuan. Di satu sisi, sebagai perempuan tentunya ia senang akhirnya dapat memiliki barang-barang yang bagus. Namun mengingat karakter suaminya yang dingin, sejujurnya Rina tidak tahu apa maksud Chris melakukan semua ini.
Saat sedang merenung, Rina mendengar pintu apartemen terbuka. Mengira suaminya sudah pulang, ia pun segera keluar dari kamar untuk menanyakan situasi ini. Namun, bukan suami yang ditemuinya melainkan Rich, asisten pribadi Chris yang tampak kerepotan membawa beberapa kantong kecil.
"Rich."
Rina berseru, terkejut. Ia tidak menyangka jika Rich memiliki akses masuk ke apartemen ini.
Seperti Rina, Rich pun tidak mengira akan melihat isteri atasannya yang ternyata sudah berada di rumah. Sambil menegakkan badannya, Rich berusaha untuk menjaga sikapnya dihadapan sang nyonya rumah.
"Selamat sore, Ibu Rina."
Meski sebenarnya Chris pernah menyuruhnya untuk tidak memberikan embel-embel di depan nama isterinya, namun Rich tetap memiliki hati nurani untuk tidak mematuhi perintah atasannya. Dengan sedikit kaku, ia mengulurkan kantong-kantong kecil itu ke hadapan Rina.
Tampak bingung, Rina pun menerima keseluruhan kantong yang jumlahnya ada enam.
"Apa ini Rich? Seingatku, saya belum berulang tahun."
Ia bertanya santai, berusaha untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa tidak enak. Ia memang tidak akrab dengan pria yang sebaya dengannya ini, namun Rina harus menjaga hubungannya dengan Rich kalau ia mau tetap dapat bertanya soal Chris padanya.
Sejujurnya, Rich tidak tahu harus mengatakan apa. Tadinya, ia berharap Rina belum pulang sehingga pria itu bisa meninggalkan begitu saja berbagai barang di kamarnya.
Sebagai pria yang memiliki 2 saudara perempuan, tentu saja ia cukup mampu untuk dapat membaca benak seorang wanita mengingat ia sering menjadi bulan-bulanan kedua saudaranya yang menganggapnya sebagai pria yang tidak peka. Rich mengingat bahwa ia juga pernah mendapatkan curhatan dari salah satu kekasih kakaknya yang sekarang menjadi suaminya, yang mengatakan betapa sulitnya untuk memuaskan wanita.
"Perempuan itu mahluk aneh."
Aldo, pacar kakak pertamanya tiba-tiba masuk dan menghempaskan dirinya di tempat tidur Rich. Saat itu, Rich masih berstatus sebagai mahasiswa sekaligus karyawan part-time di kantor Chris dan masih tinggal bersama dengan orang tua serta kedua kakaknya.
"Hmm."
Acuh tak acuh Rich menjawab, karena ia sedang sibuk mempersiapkan bahan presentasi untuk ujian skripsinya besok.
Melihat orang yang ingin dicurhatinnya cuek, Aldo memegang bahu Rich dan mengguncang-guncangnya pelan.
"Richhh... tolong bantu kakakmu ini," rengeknya.
Dengan tubuh yang bergoyang-goyang tidak karuan, Rich menutup kedua matanya agar tidak merasa pusing. Terus terang ia mulai merasa jengkel dengan tingkah laku pria yang 'seharusnya' lebih tua itu. Aldo adalah pacar termanja kakaknya yang pernah dikenal oleh Rich. Meski menunjukkan kompetensi yang signifikan saat dihadapkan pada masalah pekerjaan namun di luar itu, Aldo memperlihatkan diri sebagai pribadi yang kekanak-kanakan dan tampak haus kasih sayang. Ia manja karena memang dibesarkan sebagai anak tunggal dan berasal dari keluarga yang kaya. Hal ini berbanding terbalik dengan pacarnya, Elsa.
Sebagai kakak tertua, Elsa tumbuh menjadi pribadi yang tegas dan bertanggungjawab. Meski ia tidak dibebankan untuk dapat menjadi tulang punggung keluarga, namun sudah ada kesadarannya untuk tidak menjadi ketergantungan pada orang tua yang membuatnya terbiasa mencari pekerjaan sampingan mulai dari ia SMA. Pada adik-adiknya pun, Elsa tampak bersikap tegas dan menanamkan nilai-nilai kemandirian sejak dini.
Oleh karena itu, Rich tidak habis pikir bagaimana kakaknya itu bisa berpacaran dengan pria setipe Aldo, bahkan berakhir dengan menikahinya. Bahkan-
"Rich?"
Panggilan Rina tiba-tiba membuyarkan lamunan Rich mengenai kejadian 10 tahun yang lalu.
Pria itu memandang Rina, dan ia tahu pasti apa jawaban yang diinginkan oleh wanita itu.
Perempuan itu mahluk aneh. Saat tidak dikasi hadiah pas ulang tahun, mereka akan bilang 'kamu tidak perhatian.' Tapi pas ditawarin 'ya udah ni cc, terserah kamu mau beli apa,' mereka malah bilang kamu tidak peka. Maunya mereka apa sih?
Dengan perkataan kakak iparnya yang masih berputar-putar di otaknya tersebut, Rich mencoba menjawab dengan hati-hati. "Begini-"
***
Rina membuang potongan ayam yang tampak gosong ke tempat sampah. Selama 1 jam ia mencoba untuk memasak, tapi sepertinya tidak ada kegiatan apapun yang ia lakukan dengan benar seperti biasanya. Ia tidak bisa berkonsentrasi untuk membuat makanan karena perkatan Rich beberapa waktu lalu masih terngiang-ngiang di otaknya.
Membuang nafas frustasi, Rina akhirnya berniat untuk menyajikan makanan seadanya. Untungnya beberapa masakan lain masih terlihat cukup terlihat representatif, meski sebenarnya ia kurang puas. Ia merasa percuma untuk memaksakan diri, karena tangannya seolah tidak mau bergerak sesuai dengan kemauannya. Ia sudah menumpahkan tepung di lantai, mengiris jari-jarinya, memecahkan beberapa telur dan yang terakhir menggosongkan ayamnya. Ia tidak mau sampai membakar dapurnya, jadi Rina memutuskan untuk berhenti.
Sambil mencuci serbet yang digunakan untuk membersihkan kekacauan yang dibuatnya sendiri, benak Rina berkelana ke kejadian sore tadi. Apa yang dikatakan Rich mengenai barang-barang yang ada di kamarnya membuat Rina ingin menuntut penjelasan langsung dari Chris. Ia tidak habis fikir, kenapa Chris sampai meminta Rich untuk membeli barang-barang tersebut bahkan tanpa peduli, apakah Rina akan menyukainya atau tidak. Tanpa harus Rich akui pun, Rina tahu pria itu pasti tidak mengatakan keseluruhan kebenarannya. Tentu saja, ia akan berusaha menutupi aib bosnya tersebut.
Mendengar pintu depan dibuka, Rina tersadar dari lamunannya dan segera mencuci bersih serbet di tangannya serta meniriskannya. Tepat ketika membalik badannya, ia melihat suaminya sudah berdiri memandang meja makan. Rina menelan ludahnya, berfikir bagaimana caranya untuk bertanya pada Chris tanpa menyinggungnya. Ia tahu suaminya cukup temperamental, mengingat kejadian saat dulu mereka memilih cincin sebelum menikah.
Ketika suaminya sudah duduk, Rina pun segera menyiapkan makanan suaminya seperti biasa. Setelah itu, ia memilih untuk duduk di depan Chris dengan tegang, menunggu suaminya menghabiskan makanan tersebut sebelum mulai bertanya. Rina juga menunggu komentar suaminya mengenai masakannya yang tidak selengkap biasanya, namun sampai Chris selesai makan, tidak satu pun komentar yang keluar dari mulut suaminya seperti biasa.
Sejauh ini, Rina juga tidak tahu apakah Chris menyukai masakannya atau tidak, tapi semenjak ia memasak tampaknya Chris selalu menyempatkan makan pagi dan juga malam di rumah. Seingat Rina, suaminya tersebut cukup jarang pulang tanpa menyicipi masakannya. Oleh karena itu, selama suaminya tidak berkomentar apa-apa maka Rina menganggap masakannya cukup sesuai dengan selera suaminya. Meski demikian, kadang ia merasa sedih karena sebagai seorang isteri, adakalanya ia juga menginginkan adanya pujian dari suaminya. Tapi Rina juga cukup sadar, seperti apa pernikahan yang sedang dijalaninya kini. Ia hanya bisa berharap bahwa waktulah yang akan dapat merubah pandangan suaminya terhadap dirinya.
Ini adalah pertama kalinya Rina mencoba untuk membuka pembicaraan yang serius dengan suaminya. Selama ini, mereka berdua seperti orang asing. Datang dan pergi, makan dan tidur dengan tanpa adanya interaksi yang berarti. Mereka juga hanya bertukar informasi saat Chris harus dinas ke luar kota. Ia cukup gugup, karena belum terlalu mengenal karakter suaminya.
Saat melihat Chris akan beranjak dari duduknya, Rina memberanikan diri untuk berkata, "Hmmm... Chris, ada yang mau aku tanyakan sedikit."
Rina melihat alis suaminya sedikit terangkat, namun menyadari mata isterinya yang membulat dan tampak memohon, akhirnya Chris pun menuruti permintaan Rina dan duduk kembali. Ketika duduk, Rina memperhatikan kedua lengan Chris yang tertangkup di meja makan. Tanpa sadar, ia mengagumi betapa panjang dan bersihnya jari-jari tangan suaminya tersebut. Meski tahu Chris banyak menghabiskan waktunya di dalam ruangan, namun jari-jari dan lengannya tampak kuat dan berotot, hasil dari olah raganya selama ini. Rina menelan ludahnya dengan susah payah dan mulai membayangkan, bagaimana jika-
"Ehem."
Suara deheman Chris mengembalikan pikiran Rina ke akal sehatnya. Akhirnya ia kembali tersadar mengenai tujuannya meminta berbicara dengan suaminya.
Dengan mengumpulkan seluruh keberaniannya, Rina menegakkan posisi duduknya dan berusaha memandang suaminya tepat di kedua matanya. Dan hal itu terjadi lagi. Tanpa diinginkannya, ia kembali menyadari betapa indah mata suaminya. Kedua bola matanya yang tajam terlihat berwarna abu-abu tua, hasil perpaduan antara darah Indonesia dari pihak ibu, dan Jerman-Jepang dari ayahnya. Hidungnya terlihat lurus dan sempurna, tanpa harus mendapat sentuhan operasi plastik. Bibirnya pun berwarna merah muda alami dan-
"Sampai kapan kamu mau menatap saya?"
Dengan risih Chris bertanya, ketika melihat isterinya hanya terbengong dan memperhatikan mukanya dari tadi.
Menyadari kesalahan yang sudah dilakukannya, Rina membuang pandangannya dan berusaha menutupi wajahnya yang memerah dengan menunduk dan menatap kedua tangan di pangkuannya. Dalam hati, ia mengutuk ketidakmampuannya untuk mengontrol diri di hadapan suaminya. Ia tidak habis fikir, hal seperti ini hampir tidak pernah terjadi sebelumnya. Rina sadar bahwa Chris cukup ganteng untuk dapat disandingkan dengan para aktor film, tapi tidak pernah sekali pun terfikir dalam benaknya untuk mengagumi fisik suaminya, apalagi dengan situasi pernikahan mereka yang tidak normal. Apa yang terjadi padanya?
"Sebenarnya kamu mau ngomong apa?"
Dengan tidak sabar Chris membuka pembicaraan. Saat ini, waktu sudah cukup malam baginya untuk dapat mandi dan segera beristirahat.
Terus terang ia cukup lelah berhadapan dengan para investor tadi siang di kantor, yang memperdebatkan mengenai beberapa strategi perusahaan yang harus disesuaikan dengan ketentuan dari pemerintah yang sering kali berubah-ubah. Belum lagi adanya potensi penyelewengan dari salah satu karyawan terpercayanya, yang saat ini masih dalam tahap penyelidikan secara internal. Kepala Chris sudah cukup pusing, sehingga tadinya ia memikirkan untuk segera pulang, makan dan beristirahat dengan cukup.
Melihat suaminya mulai memperlihatkan gelagat kurang menyenangkan, Rina segera mengutarakan hal yang menjadi ganjalannya sejak sore tadi.
"Hmmm, mengenai barang-barang yang tadi sore kamu titipkan ke Rich. Kenapa kamu-"
Belum selesai Rina bertanya, Chris sudah memotong.
"Jadi bagaimana? Kamu suka?"
Chris yakin bahwa Rina akan menyukai barang-barang pemberiannya. Setiap wanita akan suka diberikan barang-barang yang mahal, menurutnya. Chris menatap Rina dengan intens, dan bersiap untuk menerima ucapan terima kasih yang bertubi-tubi dari isterinya tersebut. Aku yakin kamu pasti sama seperti perempuan kebanyakan.
Ucapan Chris membuat Rina terpaku. Apa yang Chris harapkan darinya?
"Aku... Apakah aku harus menyukainya?" Tanya Rina tidak yakin.
Jawaban tidak terduga ini mulai membuat darah Chris mendidih. Apa-apaan perempuan ini!
"Bukannya semua perempuan suka diberikan barang mahal?"
Chris berusaha mengontrol intonasi suaranya. Jangan katakan bahwa isterinya lebih suka diberikan uang tunai dibandingkan barang-barang konyol itu. Ia sudah menghabiskan banyak waktu dan uang untuk menyuruh Rich memilih dan membeli semuanya.
Pertanyaan Chris membunyikan alarm tidak sadar dalam benak Rina.
"Apakah kamu yang memilih semuanya?" Tidak sadar Rina berharap jawabannya: ya.
"Tidak."
Jawaban yang sudah diduga, tetap membuat Rina menutup kedua mata ketika mendengar kelanjutannya.
"Kamu kira saya punya waktu?"
"Kalau begitu, kenapa kamu membelinya?" Tantang Rina.
Dengan kecewa ia menatap mata Chris. Ia harus mendapatkan jawabannya sekarang. Untuk memastikan ada dimana posisi dirinya di mata suaminya.
"Barang-barang itu tidak murah, Chris."
Dengan tertawa ironis, Chris menjawab.
"Supaya kamu pantas saya bawa ke rumah mamah."
Sebenarnya dalam hati kecilnya, Chris sama sekali tidak pernah bermasalah dengan gaya berpakaian Rina. Ia malah cenderung menyukai gaya isterinya yang casual dan tetap terlihat sopan. Ia tahu barang-barang yang dipakai Rina tidak mahal, namun cocok dan pantas saat di kenakan oleh isterinya.
Tapi egonya sebagai lelaki menginginkan agar Rina mengakui kemampuannya untuk dapat membiayai isterinya secara finansial. Laporan yang diberikan Rich pagi tadi cukup membuatnya tertampar, terutama karena ia berasumsi bahwa Rina menganggapnya tidak mampu untuk membelikannya barang-barang yang mahal.
Chris tersadar dari pikirannya ketika Rina tiba-tiba beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak ingat pernah mendengar jawaban dari isterinya mengenai hal ini, dan karena merasa pembicaraan mereka sudah selesai maka Chris pun masuk ke kamarnya juga untuk beristirahat dengan tanpa ambil pusing mengenai pembicaraan tadi.
Malam itu di dalam kamarnya, Rina menangis untuk pertama kalinya sejak menjadi isteri Chris dan itu karena 2 hal. Pertama karena ucapan Chris yang menyakiti hatinya, dan kedua karena ia menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta pada suaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments