Tubuhku begitu kaku. Terasa sulit untuk melangkah hanya untuk duduk di sofa yang jaraknya tak kurang dari dua meter saja. Pandangan dingin dan suara tak bersahabat itu yang menjadi pemicunya. Seketika ketakutan untuk diwawancara kembali datang melanda. Aku *******-***** tangan, untuk meredakan kegugupan.
"Hahaha, Armand! Kamu membuatnya takut! Hahaha. Ayo duduk, duduk. Santai saja." Suara tawa dan kelakar pria paruh baya itu sedikit mencairkan atmosfir ruang yang awalnya terasa sangat kaku. Aku menghembuskan napas. Seolah-olah beban hidup telah terangkat.
Perlahan aku duduk, berhadapan dengan pria paruh baya. Sementara pria bermata dingin tetap berdiri, memandangku dengan tatapan menilai.
"Mana CV-nya?" tanya pria paruh baya dengan tangan terulur tanpa melihat wajah si pria dingin. Dalam sedetik, file itu telah berpindah tangan.
"Hem, Arsha Nayyara Usman. Nama yang bagus. Apa artinya?"
"Ha?" Dengan bodohnya bibir ini langsung menjawab spontan. Jawaban-jawaban diplomatis untuk pertanyaan yang umum disiapkan, namun yang keluar justru tidak terbayangkan.
"Nama panggilanmu? Arsha? Nay? Ara?" Pria paruh baya melihat file sembari sesekali menatap wajahku.
"A-Arsha Pak ...."
"Oh, Arsha. Hem, Armand, Arsha. Arsha, Armand. Nama kalian cocok juga, hahaha!" Pria itu menoleh dengan tawa lebar, sementara pria di sebelahnya tetap bergeming. Ekspresinya kaku. Dari sorot mata seolah-olah mengatakan bahwa tak ada hal lucu untuk ditertawakan.
Pria paruh baya masih tak menyerah. Dia menyikut tubuh pria kaku yang bernama Armand dengan sikunya.
"Ayolah, jangan terlalu kaku. Nanti Arsha takut jadi anak buahmu," ledeknya, namun lagi-lagi ledekannya tak bersambut. Pria paruh baya menarik napas dalam-dalam dan mengangkut bahu. "Dasar pria kaku," dengusnya.
"Oh ya Arsha, rileks saja ya. Anggap saja sedang ngobrol dengan orangtua sendiri. Ayahmu umur berapa?"
"A-ayah saya Pak?"
"Iya, ayahmu."
"Ehm, sekitar awal 50-an Pak ...."
"Sama. Umurku juga 50-an. Sebentar lagi pensiun. Umurku dan ayahmu hampir sama. Jadi anggap saja sedang ngobrol dengan ayahmu. Santai saja ya. Mau permen?" Pria paruh baya yang kuketahui bernama Pak Marga dari name plate holdernya ini menyuguhkan semangkuk permen di hadapanku. Memaksaku untuk mengambilnya. Mau tak mau aku mengambil dan ikut-ikutan Pak Marga membuka bungkusnya.
"Ceritakan tentang dirimu, Arsha." Pertanyaan yang kutunggu dan telah kusiapkan jauh-jauh hari.
Aku memasang sikap tubuh sempurna. Duduk tegak dengan kedua tangan menyilang di atas pangkuan. Menarik napas dalam-dalam dan menatap mata lawan bicara. Aku siap di wawancara.
"Nama saya Arsha Nayyara Usman. Teman-teman memanggil saya Arsha, di rumah saya dipanggil Nay. Saya anak tunggal dari seorang ayah dan ibu yang hebat. Yang sangat memperjuangkan pendidikan putrinya. Menurut beliau tidak ada yang lebih penting selain akhlak dan pendidikan ...."
"Pekerjaan orangtuamu?"
"Ayah penjual krupuk rambak."
"Ibu?"
"Seorang ibu rumah tangga hebat yang sangat mendukung apapun pekerjaan Ayah."
"Arsha sangat bangga sekali ya terhadap kedua orangtuanya."
"Iya Bapak, saya sangat bangga," jawabku tegas. Setiap membicarakan kedua orangtua dan mengingat perjuangan mereka selalu berhasil membuatku menitikkan airmata.
"Anak hebat. Ingat selalu kata-katamu ya. Muliakan kedua orang tua, maka hidupmu juga akan mulia." Pak Marga tersenyum bijak.
"Apa kelebihan & kelemahan seorang Arsha?" Lagi-lagi pertanyaan yang sudah kutahu jawabnya. Aku tersenyum penuh percaya diri.
"Saya pekerja keras, rajin, bisa bekerja sendiri ataupun team work. Kelemahan, bila sedang fokus pada satu hal, terkadang saya melupakan hal lain. Semisal, ketika saya sedang fokus bekerja, saya bisa melupakan rasa lapar ...."
"Oh, itu tidak boleh. Mottoku, bekerjalah dengan bahagia. Jadi kalau lapar, tinggalkan pekerjaanmu dan makan makanan enak. Iya kan Ar?"
"Hem."
"I-iya Pak ...." Tanpa sadar Tuan Dingin dan aku menjawab secara bersamaan.
"Wah kalian kompak. Sudah pasti jodoh ini, hahahaha!"
"Ehem." Pria dingin memalingkan wajah sembari berdehem. Pak Marga terbatuk-batuk, seperti memaklumi.
"Armand, ada yang ingin kamu tanyakan pada Arsha?" tanyanya seperti mengalihkan pembicaraan. Tangannya terjulur, menyerahkan file pada Tuan Dingin. Pria itu membaca sekilas, kemudian tatapan mematikannya kembali menatapku.
"Di sini tertulis pada tahun 2019 sampai 2021, kamu mengikuti proyek dosen dan digaji enam sampai tujuh juta begitu proyek selesai. Bisa kamu jelaskan proyek yang dimaksud? Dan mengapa kamu memilih melamar bekerja di sini bila gaji dari proyek lebih besar dibanding di sini?"
Dan lagi-lagi pertanyaan yang bisa kujawab dengan mudah. Kepercayaan diriku mulai meningkat. Segala rasa khawatir dan cemas yang awalnya mendera, kini terhapus sudah. Dengan penuh rasa percaya diri, aku menjawab segala pertanyaan yang terlontar.
Tak terasa setengah jam aku berada di ruangan eksekusi itu. Wawancara kali ini lebih bisa kutangani dibandingkan wawancara-wawancara sebelumnya. Mungkin karena pembawaan end usernya / pemimpinnya yang ramah, membuat suasana tak lagi menegangkan.
"Oke, Arsha. Sepertinya cukup sampai di sini rasa ingin tahu kami. Ada yang mungkin ingin kamu tanyakan?" Pak Marga mulai menutup pembicaraan.
Aku *******-***** tangan. Rasa khawatir karena takut kembali gagal mulai datang.
"B-boleh saya tahu pengumuman karyawan yang diterima atau tidak itu kapan Pak?"
"Oh, kamu khawatir hal itu." Pak Marga tersenyum kecil. Dia menoleh pada Armand. "Kapan pengumumannya?" tanyanya, melempar pertanyaan yang harusnya ia jawab.
"Paling cepat nanti sore, paling lambat besok siang," ujar Armand singkat. "Terima kasih." Armand menjulurkan tangan, pertanda menyuruhku untuk cepat-cepat hengkang.
"Terima kasih Bapak, atas kesempatan yang telah diberikan. Ditunggu kabar baiknya," ucapku sembari menjabat tangan mereka satu per satu dan keluar dari ruangan.
***
Kabar itu datang tak berselang lama. Baru setengah jam berkendara, ponselku mulai berbunyi. Suaranya yang cukup nyaring sedikit mengganggu konsentrasi. Aku memutuskan untuk menepi dan menjawab panggilan itu.
0331-33627x
Itu nomor si penelepon. Jantungku kembali berdegub kencang karena aku tahu nomor itu biasa digunakan oleh perusahaan, bukan personal.
"Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikumsalam. Benar dengan Ibu Arsha Nayyara Usman?"
"Iya, dengan saya sendiri? Ada yang bisa saya bantu?"
"Kami dari bank J. Bisakah besok Anda datang ke kantor kami dengan memakai baju office look? Kami akan membicarakan kontrak kerja dengan Anda ...."
Ah, kata-kata berikutnya tak lagi bisa kudengar. Rasanya tubuhku seperti melayang. Ingin rasanya berteriak-teriak dan menari-nari saat itu juga. Keinginan itu begitu tak tertahankan dan pada akhirnya kulakukan.
"Ayah!! Ibu!! Anakmu dapat kerja!! Yesss!! Yesss!!" Bagai orang gila aku menari-nari di pinggir jalan. Menghiraukan banyaknya mata yang memandang.
Setelah empat bulan menganggur, melamar berbagai posisi yang mungkin. Dari posisi sebagai admin, bahkan staff gudang pernah ia layangkan. Ditolak sana-sini, puluhan lamaran telah diterbangkan, banyak effort yang telah dilakukan, berdoa dan ikhtiar, pada akhirnya ada bank bonafid yang mau menerimaku bekerja. Mengapa dunia menjadi begitu sempurna?
Itulah pikiran bahagiaku. Aku tidak pernah tahu, dunia kerja akan seperti ini.
***
"Ketika dirimu tidak merasa melakukan apa-apa namun hidupmu selalu lancar saja dan berjalan dengan begitu mudahnya, maka terselip doa-doa orangtua di dalamnya."
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah : 216)
***
Happy Reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Lia Kiftia Usman
masyaAllah....
jadi kangen bapak ibu.... alfatehah🤲
2024-11-24
0
Ma Malikha
masya Allah... dah lama gak baca karya kak Erkaaaa... 😇😇😇😇
2024-11-22
0
Ma Malikha
betuuuulll... 100
2024-11-22
0