Ini pengalaman ke dua belasku dalam wawancara di dunia kerja. Meskipun bukan pengalaman pertama, namun tetap tak bisa dipungkiri, selama beberapa hari ini aku kesulitan untuk berkonsentrasi. Berbagai artikel sudah kubaca. Praktik berbicara di depan cermin pun sudah dilakukan, namun semua itu tetap tidak mengurangi rasa gugup yang bersarang di dada.
Berbicara di depan orang menjadi momok yang menakutkan. Aku lebih memilih bekerja di belakang layar daripada harus bertatap muka dengan banyak orang. Untuk itulah aku memilih posisi ini. Menjadi back office di sebuah perusahaan jasa keuangan. Tentu saja aku tidak bisa melewatkan proses seleksi karyawan. Salah satunya adalah wawancara.
Tangan kananku mulai berkeringat. Sarung tangan terasa lembab. Setiap tarikan kecepatan, semakin mendekatkanku pada tujuan. Butiran keringat mulai menghiasi pelipis, membuat rambut, - yang dengan susah payah kutata rapi menjadi lepek. Terik matahari tidak bisa dikompromi.
Nasib tinggal di pinggiran kota. Tidak bisa menggunakan jasa taksi online karena masalah jangkauan jarak yang terlalu jauh. Aku hanya berharap masih diberi kesempatan untuk membenahi diri, sebelum giliranku tiba nanti.
Rasa gugup, cemas, tidak percaya diri, bingung membaur menjadi satu. Bibir tak berhenti komat-kamit, meyakinkan dan menghibur diri untuk tetap tenang, namun bayangan wawancara menegangkan tak bisa hilang.
Sudah puluhan lamaran pekerjaan kulayangkan. Sudah belasan tes kulakukan, namun selalu saja gagal. Aku selalu tidak lulus kualifikasi. Kelemahanku hanya satu yaitu di wawancara akhir.
Kali ini pun begitu. Ini adalah wawancara kesekian. Bayangan kegagalan-kegagalan sebelumnya membuatku menjadi semakin pesimis. Bisakah aku diterima kerja kali ini?
Dari puluhan lamaran yang kulayangkan, tidak ada satu pun yang berasal dari luar kota. Menjadi anak tunggal merupakan alasan utama. Orangtuaku tidak ingin berjauhan denganku.
Jarak antara rumah dan perusahaan tempatku melamar saat ini berkisar 40 kilometer. Perusahaan itu terletak di pusat kota, sementara rumahku berada di pinggiran. Aku berangkat satu jam lebih awal.
Siang itu kutelusuri jalanan dengan kecepatan 60 km/jam. Semakin mendekati pusat kota, lalu lintas pun semakin ramai. Hiruk pikuk kendaraan berlalu-lalang, kepulan asap dan suara klakson bersahut-sahutan. Lalu lintas di jalan tersebut tergolong ramai lancar. Menyadari tujuan sudah hampir di depan mata, membuat jantungku berdebar semakin kencang.
Dalam kurun waktu tak kurang dari sepuluh menit, gedung itu mulai terlihat. Kulewati jalan Gajah Mada dan mulai memasuki area Gajah Mada Square. Di kota Jember, area tersebut cukup terkenal strategis untuk bisnis.
Terdapat beberapa belas ruko yang berjejer hampir seragam. Ruko-ruko tersebut kebanyakan ditempati oleh perusahaan penyedia jasa keuangan semisal dari perbankan, asuransi, pegadaian dan juga koperasi.
Kulayangkan pandang, untuk melihat bangunan yang kucari. Jantungku kembali berdegup lebih kencang ketika kulihat bangunan bernuansa merah dengan logo kepak sayap burung berwarna merah.
Melihat bangunannya saja sudah membuatku berkeringat dingin, apalagi memasuki dan diwawancarai langsung oleh pimpinan di dalamnya?
Tidak mau terlalu banyak berpikir, kupacu motor secara perlahan dan kuparkir tepat di depan gedung.
Sudah ada belasan motor yang terparkir di sana. Entah itu motor karyawan atau pelamar kerja sepertiku.
"Mau interview Mbak?" Terdengar suara pria dewasa yang cukup mengejutkan. Aku cepat-cepat menoleh dan melihat pria berseragam coklat. Awalnya kukira seorang polisi, namun begitu membaca badge name yang tertera di dada, baru kusadari bahwa pria berusia akhir 30an tersebut seorang security.
"Iya Pak," jawabku sembari tetap berusaha memarkir motor.
"Biar saya bantu Mbak." Tanpa menunggu persetujuan, pak security segera merapikan motor dan membuatnya sejajar dengan motor yang lain.
"Silakan Mbak, ikuti saya," ucapnya lagi dengan nada sopan. Tanpa banyak bicara, aku pun mengikutinya.
Bangunan itu memiliki tiga lantai, yang mana lantai pertama dikhususkan sebagai area pelayanan sementara lantai kedua dan ketiga diperuntukkan karyawan.
Langkah demi langkah semakin membuatku gugup. Kupikir interview itu akan dilakukan di lantai pertama, namun nyatanya, security membawaku ke lantai tiga. Semakin tinggi gedung, maka akan semakin tinggi pula jabatan penghuninya. Menyadari hal itu, membuatku semakin berkeringat dingin. Perut mulas secara tiba-tiba. Sementara keinginan muntah mulai tak terbendung.
"Mbak, kita telah sampai. Silakan menunggu di sini." Pak security menunjuk kursi berwarna merah yang berada tepat di depan sebuah ruangan yang kuyakin sebagai ruang pimpinan.
"Ehm, iya Pak. Terima kasih." Aku duduk dengan kaki gemetar. Penyakitku mulai kambuh. Penyakit demam panggung yang susah untuk sembuh.
Perut semakin mulas, kaki mengetuk-ngetuk lantai tanpa sadar sementara gigi mulai bergemeretak.
"Minum Mbak?" suara itu mengalihkan pikiran. Kulihat pak security tengah menyorongkan sekeranjang air mineral. Aku menggeleng lemah.
"Jangan takut Mbak. Bos-bosnya enakan kok. Tidak semenyeramkan yang Mbak pikirkan ..." Suara menenangkan itu terputus begitu terdengar dering telepon di sampingnya. Pak security mengangkat gagang telepon dan terlihat mengangguk-anggukan kepala.
"Mbak Arsha, sekarang giliran Anda. Silahkan."
***
Ruangan itu didominasi oleh warna krem, sementara tirainya berwarna merah, menunjukkan logo dari perusahaan itu sendiri. Di sudut ruang terdapat meja kayu berpelitur coklat lengkap dengan monitor dan keyboard di atasnya. Kursi berwarna merah berada di baliknya. Dalam sekali lihat, bisa dipastikan bahwa meja itu milik seorang pimpinan.
Di tengah ruang terdapat dua sofa memanjang berwarna merah tua dengan meja berkaca tebal sebagai pemisah.
Terlalu memperhatikan detail ruang, membuatku sedikit melupakan kehadiran dua pria di dalamnya.
Di atas sofa, duduk seorang pria berusia sekitar 50 tahun dengan tinggi badan tak kurang dari 160 cm. Perawakannya tidak kurus ataupun gemuk. Biasa-biasa saja. Standar normal orang Indonesia. Memakai kemeja garis berwarna pink yang dipadu dengan celana krem. Wajahnya terlihat ramah dengan ujung bibir yang hampir selalu tersenyum.
Tampilan ramahnya sangat bertolak belakang dengan pria yang berdiri di sebelahnya. Pria itu terlihat menjulang. Sangat kontras dengan pria sebelumnya.
Pria itu memiliki tinggi tak kurang dari 180 cm. Tubuhnya tegap, meskipun tersembunyi dibalik kemeja formal. Memakai kemeja merah gelap berlengan panjang yang dipadu dengan celana hitam slimfit. Setelan itu tak mampu menyembunyikan otot tubuhnya yang liat. Aku terpana melihatnya.
Puas memperhatikan tampilan tubuh, mataku tanpa sadar bergerak memperhatikan wajahnya.
Deg ...
Jantungku seolah telah jatuh entah kemana. Dalam sekejab, mata lancangku telah bertemu pandang dengan mata paling dingin yang pernah kulihat. Seketika tubuhku menjadi kaku. Perasaan mual kembali datang.
Sang pemilik mata dingin memiliki wajah yang rupawan. Alis tebal yang terangkat tinggi, hidung mancung dan tegas, garis rahang yang kuat, serta bibir tipis yang nampaknya jarang sekali tersenyum. Sayang sekali, pria dengan wajah serupawan itu harus memiliki ekspresi sekaku itu.
"Dengan saudari Arsha Nayyara Usman?" tanyanya sembari menatap file di tangan. Bahkan suaranya pun terdengar sangat berat dan seksi, membuatku lagi-lagi harus menelan ludah.
"I-iya ...." Susah payah aku menganggukkan kepala sembari menjawab sebisanya.
"Silahkan duduk," tegasnya. Membuatku seperti tersangka yang tengah menjalani sidang vonis mati.
***
Happy Reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Ma Malikha
ko berasa deg-degan jg.. berasa ikutan mo wawancara 😚😚😚😚😚
2024-11-22
0
Lia Kiftia Usman
menarik sampai sini...
lanjut baca aah😊
2024-11-24
0
Dinda Gusti
sllu the best karya2 k'Erka 👍❤❤
2024-11-22
0