Kurindu disayangi sepenuh hati
Sedalam cintaku, setulus hatiku
Kuingin dimiliki kekasih hati
Tanpa air mata, tanpa kesalahan
Bukan cinta yang melukai diriku
Dan meninggalkan hidupku lagi
Tolonglah aku dari kehampaan ini
Selamatkan cintaku dari hancurnya hatiku
Hempaskan kesendirian yang tak pernah berakhir
Bebaskan aku dari keadaan ini
Sempurnakan hidupku dari rapuhnya jiwaku
Adakah seseorang yang melepaskanku
Dari kesepian ini?
Kesepian ini....
Itu -- penggalan lirik dari lagu berjudul Kesepian milik Dygta. Aku mempersembahkannya kepada semua orang yang memaksa sang "Nona Pengembara" ini untuk menyumbangkan suaranya di hadapan para tamu undangan dalam resepsi pernikahan Zia, saudari sepupuku yang waktu itu menikah dengan seorang lelaki bernama Ari. Zia berumur satu setengah tahun lebih muda dariku, dan hanya berbeda empat hari dengan Ihsan. Jika saja itu pernikahan orang lain aku tidak akan hadir meskipun mendapatkan undangan dan suvenir emas sekalipun. Tapi, Zia adalah salah satu saudari sepupuku, anak ketiga dari bibi sulung-ku, saudari kandung ibuku, karena itulah aku harus hadir, atau gendang telingaku bisa pecah mendengar ceramah ibuku yang hampir tak berujung.
"Nara harus pulang, Sayang. Kembali dari pengembaraanmu, ya," pinta yang sekaligus perintahnya -- yang sebaiknya kuturuti. Aku sudah terlalu sering menolak dan mengatakan tidak kepadanya. Sebab, sedari kecil aku memang keras kepala. Tapi jauh di dalam lubuk hatiku -- dia salah satu wanita yang aku cintai, selain nenekku -- ibu dari ibuku, juga kedua bibiku, mereka menyayangiku, itu yang kurasakan dulu di saat aku masih kecil.
Dalam keluarga besarku, aku dijuluki "Nona Pengembara" sejak aku sering bepergian dan jarang pulang. Jika aku pulang -- itu karena perintah ibuku atau karena permintaannya. Selain itu, bagiku, kepulanganku hanyalah sekadar untuk bertemu keluarga. Tapi, siapa sangka, mereka malah memaksaku untuk menyanyi di atas panggung resepsi itu, lebih tepatnya sebuah tantangan -- bahwa aku bukanlah seorang pecundang yang hanya bisa lari dari kenyataan. Andai mereka tahu, aku sudah muak diperolok. Sebab, sedari kecil dulu teman-teman sepermainanku seringkali memperolokku hanya karena aku tidak memiliki ayah seperti mereka.
Aku mengenakan longdress warna biru muda lengan panjang di hari resepsi pernikahan Ari dan Zia. Warna kulitku sawo matang, karena itu semua pakaianku berwarna soft. Aku tidak percaya diri jika memakai pakaian berwarna terang, menyala, putih, hitam, dan warna-warna gelap lainnya. Sebagai perempuan aku merasa cukup cantik dan cukup manis, meski dengan tinggi badanku yang tidak lebih dari seratus enam puluh sentimeter yang selalu kututupi dengan wedges yang lumayan tinggi. Tubuhku cukup berisi, tidak kurus kerempeng, juga tidak gemuk. Rambutku panjang, berwarna hitam dan dijuluki orang dengan istilah keriting sosis -- roll alami. Uniknya, bagian atas -- beberapa senti dari akarnya -- lurus, sama sekali tidak nge-roll, tapi bagian bawahnya curly dengan sempurna. Selain sewaktu aku mandi, aku selalu mengikat atau menjepit rambutku, hampir tidak pernah terurai.
Aku percaya diri dengan penampilanku hari itu, sehingga aku nekat naik ke atas panggung. Aku tahu menyanyi itu harus dari dalam hati dan tergantung keadaan dan suasana hati -- agar lebih indah di telinga pendengarnya. Dan itulah keadaan hatiku -- hampa dan kesepian. Tetapi, rasa hampa dan kesepian itu malah mengundang tepuk tangan meriah saat lagu itu berakhir.
Mereka menghujaniku tepuk tangan meriah karena menurut mereka penampilanku spektakuler, aku tahu itu. Tapi yang kurasakan malah sebaliknya, bagiku mereka memberikan tepuk tangan atas kehampaan dan kesepian yang kurasakan. Itu yang terlintas dalam pikiranku. Tentu saja, aku harus menahan emosiku. Sensitif, memang. Aku terlalu baper karena masa laluku yang teramat pahit.
Aku turun dari atas panggung, kembali ke tempat semula, di teras rumah Ari. Aku tidak suka duduk di bawah tenda yang menurutku sangatlah panas dan gerah, segerah hatiku yang selalu gersang dan nestapa -- meski tenda itu dihias dengan begitu megahnya.
"Perform yang bagus. Tapi lagu itu terlalu sedih untuk orang secantik kamu," kata seseorang di belakangku. Entah siapa, aku tidak menolehnya. Ucapan orang itu terdengar seperti rayuan gombal dan aku tidak suka itu.
Aku berdeham. "Terima kasih. Tapi cuma itu lagu yang kuhafal," jawabku, tanpa menoleh sedikit pun. Walau sebenarnya waktu itu aku berbohong, ada lagu-lagu lain yang aku juga hafal semua liriknya. Aku hanya tidak suka meladeni orang itu.
"Sori, kalau boleh tahu, apakah lagu itu menggambarkan suasana dalam hatimu? Kalau yang aku lihat, rasanya seperti itu."
Bertanya sekaligus berkomentar? Dasar lelaki menyebalkan. "Jangan sok tahu!" kataku kasar. Aku tidak suka pada orang asing yang sok akrab, apalagi menurutku dia berlagak seperti juri-juri dalam kontes menyanyi. Aku pun langsung pergi dari sana tanpa menoleh si pemilik suara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Deliana
sensitif y klu urusan jodoh.. 😁😁😁
2022-06-09
2
Dyana Arsi
Alhamdulillah seperti nya saudara nya baik baik sayang semua
2022-03-20
2
TikTikTik
lagu favoritku nih 😍😍😍
2021-12-29
1