Pada awal Februari, tepatnya tiga minggu setelah resepsi pernikahan Ari dan Zia, aku kembali mengembara -- maksudku: melakukan pelarian. Dulu, pelarianku hanya pada musik, film, novel, dan game. Empat hal itu menjadi pelarianku yang membawaku ke dunia khayalan. Akhirnya aku mencoba menuangkan khayalan-khayalan itu dalam bentuk tulisan fiksi. Dari sana aku mulai menjadi seorang penulis.
Aku tahu, aku tidak akan pernah menjadi seorang miliarder hanya dengan menulis. Tapi, dengan menulis, aku bisa menghasilkan uang sendiri. Dengan uang itu aku bisa memulai pengembaraanku, sebuah perjalanan yang membawaku ke tempat-tempat baru, orang-orang baru, dan pengalaman-pengalaman yang baru.
Sebelum memulai pengembaraan baru -- ibuku memintaku untuk pergi ke Bogor, ke rumah bibiku yang satunya, bibi bungsu, adik ibuku. Aku ke sana untuk mengantarkan titipan ibuku, oleh-oleh khas dari Lampung: engkak, sambal lingkung, dan kopi khas Lampung. Aku hanya sebentar, aku memutuskan untuk tidak menginap di sana. Aku pun pergi sebelum ada yang bertanya-tanya tentang privasiku.
Pada jam makan siang, aku masuk ke Dinata Resto, sebuah resto dua lantai dengan konsep yang berbeda antara lantai satu dan lantai duanya. Lantai satu adalah kawasan indoor, dibuat lebih simpel dan menyatu dengan alam. Sedangkan lantai dua dengan konsep lebih klasik, di mana pengunjung akan disuguhkan dengan hiasan dinding serta lampu gantung yang memberikan kesan romantis, terlebih saat malam hari. Saat itu aku duduk di meja sudut kiri, di lantai satu.
Sambil menunggu pesananku, aku membuka map plastik yang kubawa, melihat-lihat desain rumah yang sudah lama kuimpikan -- sebuah tempat untuk kembali jika suatu saat aku sudah jenuh dengan pengembaraanku.
"Aduh, ya ampun!" Aku langsung berdiri karena kaget.
Seorang pelayan resto tidak sengaja menumpahkan minuman ke mejaku. "Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja. Maaf...," katanya memohon.
Aku cepat-cepat menyelamatkan isi map-ku dari tumpahan air. "Tidak apa-apa. Berkas saya tidak basah."
"Langsung dibersihkan, Mas!" perintah seorang pria yang tahu-tahu sudah berdiri di sampingku. "Mohon ma...af," ucapnya, tiba-tiba dia mematung saat melihat wajahku. "Hei, kamu... Inara?" tanyanya sesaat kemudian.
Menurutku dia adalah pemilik resto itu atau minimal manajernya. Aku menilainya dari caranya memberi perintah pada si pelayan, juga dari penampilannya yang necis, setelan jas yang aku yakin harganya cukup mahal.
Aku terdiam beberapa detik. "Mmm... ya," jawabku, agak ragu, antara mau menjawab dan tidak.
Aku yang biasanya bersikap cuek, jutek, dan judes pada lawan jenis yang sok kenal, kali ini malah sedikit terperangah pada pria asing yang ada di depanku. Eits, bukan karena penampilannya yang necis atau jasnya yang mahal, tapi karena dia mirip dan setampan Reza Rahadian.
Yeah, Reza Rahadian, aktor yang kugilai karena akting dan ketampanan wajahnya. Aku rasa aku tidak perlu mendeskripsikan sosoknya dengan panjang lebar. Kau cukup browsing di google jika kau tidak tahu siapa Reza Rahadian. Tapi yang ini rambutnya agak panjang, persis Reza Rahadian dalam topeng seorang Timur, tokoh utama pria dalam Strawberry Surprise. Agak panjang, bukan gondrong seperti Tristan, topeng Reza Rahadian dalam film Toko Barang Mantan. Apalagi si kribo Rosid, big no. Aku geli melihat Reza Rahadian dengan rambut yang aneh seperti itu.
Setelah pertama kali melihat sosoknya pada hari itu, untuk pertama kalinya aku merasa ada yang meleleh di dalam tubuhku, darahku serasa berdesir. Astaga, bagaimana kalau aku bertemu Reza Rahadian sungguhan? Hmm....
"Silakan pindah meja dulu, In." Tangannya mengarahkan ke meja di depan kami. "Mohon maaf atas ketidaknyamanannya," kata pria itu. Dan itu pertama kali seseorang memanggilku dengan panggilan In, tapi anehnya aku tidak keberatan.
Aku mengedarkan pandangan ke meja kosong lainnya yang berada di sudut kanan. "Boleh pindah ke sana?" tanyaku seraya menunjuk ke meja yang kuinginkan. "Aku tidak suka kalau duduk di tengah. Lebih nyaman di pojokan."
Dia setuju. Dan begitu kami duduk di meja baru, pesananku pun datang.
"Tolong bawakan saya hidangan yang sama, ya. Jangan lupa air mineralnya," katanya kepada pelayan resto. "Eh, sori. Aku boleh duduk di sini?"
Yap, dia tersadar sendiri, dan aku hanya mengangguk menyetujui. Dia benar. Meski itu restonya atau dia bekerja di sana -- bukan berarti dia bebas duduk bersama tamu, kan?
"Oh ya, aku Reza," katanya lagi sembari menjulurkan jabat tangan kepadaku. Mulutku membulat mendengar dia menyebutkan namanya. "Kenapa?" tanyanya dengan ekspresi heran.
Spontan aku berkata, "Tidak apa-apa. Kukira tadi cuma wajahmu yang mirip. Ternyata namamu juga." Aku langsung menyambut jabat tangannya.
Seperti sebuah magic, ada suatu getaran yang kurasakan saat tangan kami bersentuhan. Entahlah, tapi itu yang kurasakan. Genggaman tangannya begitu ramah, tapi juga menyiratkan sikap tegas dari seorang lelaki. Kesan-kesan pertama di awal perjumpaan itulah yang membuatku memberikan peluang bagi orang asing itu untuk mengenalku.
"Mmm... maksudnya? Mirip siapa?"
Aku gelagapan, "Ee... itu, aktor... aktor favoritku, Reza Rahadian," kataku, kemudian aku tersenyum semringah.
"Sori," katanya sambil menahan tawa. "Sebenarnya aku tidak tahu siapa aktor yang kamu maksud. Tapi biar kutebak, dia pasti tampan, kan? Karena itu kamu menyukainya."
Aku mengiyakan, Reza Rahadian memang tampan, kan? Perempuan mana yang bilang tidak?
"Well, berarti dengan kata lain, menurutmu aku setampan Reza Rahadian?" tanyanya dengan penuh percaya diri.
Aku mengangguk. "Yeah, sebelas - dua belas. Mmm... bukan, sama-sama dua belas," kataku, dan itu kukatakan dengan jujur. Dia memang tampan, setampan Reza Rahadian.
"Thank you...," katanya memanjang-manjangkan suku kata terakhir. "Reza Dinata, itu nama lengkapku."
Selang beberapa detik, pelayan datang mengantarkan makanan untuknya. Hidangan yang sama persis dengan pesananku, sayap ayam panggang dan sebotol air mineral. Kami pun makan siang bersama sambil melanjutkan obrolan.
"Reza Dinata. Berarti ini resto milikmu?"
Dia menggeleng. "Ini resto ibuku. Karena beliau sekarang sedang sakit, jadi aku yang bantu urus."
"Ok, I see. Tapi sepertinya kamu sudah mengenalku. Memangnya kenal dari mana?"
Reza cengar-cengir menahan tawa. "Itu...!" serunya. "Kamu sih... waktu aku mengajakmu bicara di resepsinya Ari dan Zia, boro-boro berkenalan, kamu bahkan tidak menolehku."
"Uhuk!" aku tersedak, dengan sigap kuambil air dan cepat-cepat minum. "Itu kamu?" tanyaku. Aku pun tertawa. "Sori... aku tidak tahu kalau itu kamu. Ya salah kamu juga, sok menilai seperti juri kontes menyanyi."
Dia mengulum senyum. "It's ok. Kalau begitu aku juga minta maaf karena hari itu aku sok tahu," ucapnya.
Aku malah semakin tertawa mendengar ucapannya, terlebih dia memberi penekanan saat mengucapkan kata sok tahu. Sedangkan dia malah menatapku lekat, seperti seseorang yang sedang menikmati keindahan yang disuguhkan khusus untuknya. Caranya begitu santai, seolah normal-normal saja duduk sambil memandangi lekat-lekat seseorang yang baru pertama kali duduk mengobrol bersamanya. Tapi, aku merasa tatapannya terasa bermakna, atau aku hanya terlalu percaya diri? Entahlah. Dan, sebenarnya saat itu aku mulai nervous. Kurasa dia pun menyadari itu meski aku berusaha menutupinya.
"Sori. Aku tidak bermaksud mentertawakanmu. Aku cuma merasa lucu karena kamu ingat semua kejadian hari itu."
Dia menggeleng lagi. "Tidak masalah. Aku malah senang melihatmu tertawa."
Ya ampun, dia membuatku semakin nervous.
Tenang, Nara. Jangan sampai salah tingkah. "Ehm, omong-omong, kok kamu bisa ada di resepsi Ari dan Zia? Kamu temannya? Eh, atau keluarganya? Maksudku... keluarga dari Ari atau keluarganya Zia? Sori, kuralat lagi, maksudku, apa kamu keluarga dari ayahnya Zia?"
Hmm... santai sekali dia mendengar celotehanku.
"Aku temannya Ari, teman kuliah. Dia dulu kuliah di sini. Selebihnya kamu pasti tahu, kan, tentang suami sepupumu itu?"
Oh Tuhan... aku hanya bisa manggut-manggut. Jujur saja, ucapannya itu terasa menamparku. Aku tidak menyangkal dan juga tidak mengiyakan, biarlah dia berpikir kalau aku tahu tentang Ari. Padahal, sebenarnya aku tidak tahu apa-apa tentang suami sepupuku itu.
"Hei, Nona Pengembara," katanya -- membuatku tertegun. Dia satu-satunya orang asing yang menyebutku Nona Pengembara. "Kamu cerita dong tentang kamu."
Aku berdeham lagi. "Bertambah satu orang lagi yang menyebutku Nona Pengembara. Mau cerita apa? Kamu sendiri sepertinya sudah tahu banyak tentangku. Kamu bertanya pada sepupu-sepupuku, kan? Mereka juga ada cerita yang buruk-buruk, ya?"
Aku menebak-nebak. Sementara dia hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. "Tidak sama sekali," ujarnya.
"Syukurlah kalau mereka tidak menceritakan hal-hal yang buruk. Jadi, sekarang kamu saja yang cerita tentang kamu. Kamu pasti sudah tahu cukup banyak tentangku. Mending kamu saja yang cerita. Kamu asli orang mana, lahir di mana, atau apa saja, terserah mau cerita apa."
Reza pun menyetop makan siangnya, dan mulai bercerita, "Aku anak tunggal. Ibuku asalnya dari Palembang, aku juga lahir di Palembang. Tapi waktu aku berumur tujuh tahun kami pindah ke sini, karena orang tuaku berpisah. Ibuku tidak tahan dengan sikap ayahku yang kasar, suka KDRT. Jadi beliau meminta cerai, lalu membawaku ke sini, ikut temannya bekerja di warung makan. Tidak lama dari situ... mereka memutuskan untuk menikah. Jadi, aku punya ayah baru, beliau sayang padaku, dan, dia memberikan nama belakangnya padaku, Dinata. Kemudian mereka keluar dari tempat mereka bekerja, dan bangun usaha sendiri, usaha baru, resto ini. Yah, sayangnya ayahku berumur pendek. Sori, maksudku... emm... kamu mengerti, kan? Ayahku meninggal di usia delapan tahun pernikahan mereka. Ya, mungkin memang takdirku tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ayah sampai dewasa."
Dia menghentikan sejenak ceritanya lalu meminum sedikit air mineralnya. Dia haus setelah menyerocos panjang. Sementara aku hanya bersikap selayaknya seorang pendengar yang baik.
"Ibuku tidak menikah lagi. Beliau fokus membesarkan aku dan fokus menjalankan usahanya sampai maju dan bisa punya banyak cabang di beberapa kota. Sekarang aku dua puluh delapan tahun, dan ibuku sekarang sudah mulai sakit-sakitan karena usia tuanya. Karena itu sebagai anak, aku diwajibkan mengemban semua tanggung jawabnya. Begitulah cerita singkat dari hidupku." Dia pun mengakhiri ceritanya.
Jujur, sebenarnya aku agak merasa "aneh" dengan obrolan ini. Agak terlalu pribadi untuk diceritakan kepada orang asing, terlebih pada pertemuan pertama. Tapi aku tetap menyimak, karena -- sekali lagi -- karena aku bersikap selayaknya seorang pendengar yang baik.
Tapi... beberapa detik kemudian dia setengah berteriak, "Astaga! Aku lupa, sebentar lagi aku ada meeting," katanya sambil menepuk dahinya. "Sori, aku harus pergi." Dia pun berdiri. "Oh ya, kamu tidak perlu bayar makanannya, In."
Beberapa saat aku agak tercengang, semacam ada rasa tidak rela dia pergi, perasaan asing yang segera kutepis. "Oke, tidak apa-apa kalau kamu ada urusan. Aku juga mau pergi, kok. Sudah selesai juga makannya." Aku tersenyum dan langsung berdiri. "Thanks for lunch."
"Urwell. Eh, aku boleh minta kontakmu?" tanyanya dengan tiba-tiba.
Aku yang baru saja hendak pergi langsung berbalik. "Mmm... next time, ya. Kalau takdir mempertemukan kita lagi. Bye, Reza Rahadian."
Aku tersenyum, melambaikan tangan dan melangkah pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Win_dha88
klo aku malah ngga suka Reza Rahadian..
jadi agak gmna baca nya karen visual nya Reza Rahadian
2022-09-03
0
Deliana
senja yg manis 😁😁😁..
2022-06-10
2
Hidayah Airiz
Thor Visual nya mana???
2021-11-06
3