Berbeda dengan suasana di desa, kota tampak ramai dengan hikuk-pikuk pedagang, pembeli, nelayan yang datang dari sisi kiri, bahkan rombongan pembawa bahan mentah seperti mereka. Jalan berpasir yang kira-kira selebar sepuluh langkah orang dewasa itu selalu padat. Di setiap tikungan, pasti ada gang sempit yang juga diisi oleh kios-kios yang tidak kebagian tempat berada di bahu jalan.
Terik matahari tidak menerbitkan senyum lebar Eve yang antusias duduk di atas sana. Bisa dibilang, dia tidak pernah menginjakkan kaki di kota sebab Margaret tidak pernah mengajaknya kemari, begitu juga dengan Sese si bibi menyebalkan. Banyak hal yang jarang ditemuinya di desa. Seperti cumi rebus yang dicelupkan ke dalam saos merah, boneka beruang yang berukuran sebesar dirinya, dan juga para bangsawan berpakaian rapi dengan sikap angkuh mereka. Perbedaan antara kota dan desa sungguh jauh berbeda!
"Kita turun di sini!"
Rombongan mereka akhirnya berhenti di sebuah lapangan besar yang sepertinya memang dikhususkan untuk kereta para pedagang. Garlein berniat membantu Eve turun, namun sebelum pria itu sampai, Eve sudah mendarat sempurna di atas tanah. Ah, lupakan saja. Eve tidak memerlukan bantuan sesimpel itu.
"Ayah dan ibu akan pergi ke toko langganan mereka, pasti akan sangat membosankan jika kita ikut serta. Bagaimana jika kita pergi ke tempat lain saja?"
"Ya, lebih bagus lagi jika kau membawa sedikit uang untuk kita," ujar Eve lalu tersenyum lebar sampai deretan giginya yang rapi itu terlihat, "Aku belum sarapan, Lein."
"Kenapa baru bilang? Ayo kita pergi ke kedai!" ujar Garlein khawatir. Ia menarik lengan Eve menuju sebuah kedai terkenal yang terletak tepat di tengah-tengah pasar. Kedai tersebut tidak pernah sepi. Selalu ada pengunjung yang rela menunggu antrian mereka walau berjam-jam lamanya.
Eve menyeringai. Garlein saja yang tidak tahu bahwa Sarah sebenarnya sudah memberikan sarapan untuk dirinya bahkan sebelum mereka pergi berangkat.
Seperti yang dikatakan orang-orang, kedai besar yang menyajikan makanan khas Sasania itu kini sudah ramai dikunjungi oleh manusia kelaparan. Garlein mengamati sekeliling, ia tidak melihat satupun kursi yang kosong untuk mereka tempati.
"Ada apa, Lein?"
Garlein menoleh ke arah gadis yang berdiri di sampingnya itu. "Tidak ada meja yang kosong. Bagaimana jika makanannya kita bawa pulang saja?"
"Tidak ada lagi?" Eve ikut memindai setiap meja yang disediakan oleh kedai populer tersebut. Dalam beberapa detik, bola mata birunya bersinar terang. Garlein salah, masih ada satu meja yang kosong terletak di tengah-tengah ruangan.
"Itu meja yang paling cantik. Tidak ada orang, ayo kita duduk di sana!"
"Eh—apa yang ingin kau lakukan?" Garlein buru-buru menarik kerah baju Eve yang hampir saja menghampiri meja besar itu. "Kita tidak bisa duduk di sana, Eve. Meja itu dikhususkan untuk keluarga Duke of Lumiere yang sering kemari."
"Memangnya hanya bangsawan saja yang boleh mendapat perhatian khusus seperti itu?" Eve sudah menunjukkan tanda-tanda akan marah. Maka dari itu, sebelum dia marah Garlein buru-buru menimpali.
"Mereka berani membayar lebih untuk meja itu. Sudahlah, jangan berharap kau bisa duduk di sana."
Tapi bukan Eve namanya jika dia penurut.
"Baiklah-baiklah, kau menang, Lein. Sekarang pesanlah apapun itu, aku akan makan dengan tenang," sahut Eve berpura-pura pasrah.
Garlein tersenyum kemenangan lalu menepuk pucuk kepala Eve perlahan. "Good girl. Tunggu sebentar, aku akan segera kembali."
Sesuai dengan yang dikatakan Garlein, dalam sekejap pria itu sudah menghilang di dalam kerumunan orang-orang. Eve bersorak di dalam hati lalu matanya kembali melirik meja khusus Duke of Lumiere yang masih kosong itu.
Duduk sebentar di sana tidak masalah, kan. Eve hanya duduk, bukan berniat untuk merusaknya.
Eve benar-benar menghampiri meja besar tersebut. Taplak mejanya saja terbuat dari kain bludru ungu bermotif yang juga dilengkapi dengan vas bunga dari keramik asal negeri tetangga. Kursinya pun tak kalah memukau. Eve mengira-ngira, mungkin kursi ini terbuat dari kayu pilihan yang dipahat halus dan hati-hati sehingga menciptakan permukaan yang sempurna bentuknya.
Dan saat Eve duduk, tubuhnya tenggelam beberapa senti ke dalam kursi —yang ternyata— empuk tersebut. Melupakan bahwa dirinya tengah berada di dalam kerumunan, Eve memejamkan mata. Ah, andai dia memiliki satu buah kursi yang sama empuknya seperti ini di rumah, pasti dia dapat tidur dengan nyenyak setiap hari.
"Apa yang dia lakukan. Berani sekali dia duduk di sini."
Eve membuka kedua bola matanya. Entah sudah beberapa menit dia terlelap, tapi yang pasti kini dialah yang menjadi pusat perhatian orang-orang.
Di depannya berdiri tiga orang pria yang wajahnya agak mirip-mirip, kecuali salah satu dari mereka yang membelalakkan mata saat menatap Eve. Pria yang terbelalak itu, memiliki paras Eve dalam versi laki-laki.
"Apa yang sedang kau lihat? Apakah telingamu tuli sampai-sampai tidak mendengarkan apa yang baru saja aku ucapkan?!"
Atensi Eve kembali kepada pria berambut hitam yang berani meneriaki dirinya itu. Menatapnya marah, seakan Eve sudah mengambil sesuatu yang paling berharga di dalam hidupnya.
Apakah sebelumnya Eve sudah pernah mengatakan bahwa dia tidak takut terhadap apapun? Oh, sepertinya belum. Kalau begitu, mari kita buktikan.
"Aku tidak tuli. Sekarang, aku yang akan bertanya padamu. Apa kau buta?" balas Eve sama-sama tajam. "Kau bertanya 'Apa yang dia lakukan' padahal kau sendiri tahu kalau aku sedang duduk. Kakiku pegal, tahu!"
Pria berambut pirang sebahu itu terlihat ingin menyahuti ucapan pedas Eve. Namun pria yang sempat terbelalak tadi dengan cepat melarangnya. "Beckett, sudahlah. Jangan berkelahi di sini. Orang-orang akan menilai mu buruk."
Pria yang mirip dengan Eve itu mengatakannya dengan berbisik namun bukan Eve namanya jika tidak menguping. Ia tersenyum lebar—tidak, kali ini bukan karena bahagia, namun senyum itu lebih menunjukkan bahwa dia tahu kartu as bagi si ketiga pria di depannya.
"Oh, jadi kalian para bangsawan, ya. Pantas saja tidak mempunyai sopan santun tapi masih berani mencari muka di hadapan semua orang. Jika aku menjadi kalian, aku pasti malu. Lagipula, aku perempuan dan kalian laki-laki. Apa masih berani bermain hakim di sini, di hadapan orang-orang sebagai bukti bahwa kalian kuat, begitu?"
Beckett—begitulah ia dipanggil tampak geram sambil sesekali melotot kejam ke arah Eve yang masih duduk santai di kursinya. Pria lain yang memiliki rambut hitam segera menepuk pundak Beckett, seolah memberi tanda bahwa pada hari ini lebih baik mereka mengalah sebelum nama ketiganya masuk ke dalam koran yang bertajuk; Ketiga Putra Lumiere Berani Menindas Rakyat Jelata!
Kedua saudaranya lebih dulu keluar dari area kedai sementara Beckett masih memonitori Eve seperti seekor singa yang enggan melepaskan mangsanya.
"Kali ini kubiarkan. Tapi jika aku melihat wajahmu sekali lagi, aku tentu tidak akan segan-segan untuk menghajarmu. Tidak peduli pria atau wanita, semuanya sama di mataku," peringat Beckett terdengar kejam.
Eve yang menganggap perkataan itu seperti angin lalu saja sontak menaikkan bahunya dengan acuh. Tidak peduli bagaimana orang-orang mulai menatapnya aneh, yang jelas Eve ingin tidur siang di kursi empuk ini.
Sebenarnya siapa itu keluarga Lumiere? Seberapa besar pengaruh mereka sampai-sampai kedai sebesar ini mau repot-repot menyediakan meja khusus untuk keluarga mereka saja?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Imam Sutoto Suro
mantul thor lanjutkan seruuuu
2023-03-05
0
senja
sebenarnya kl dia gak ada darah bangsawan, udah lama mati pasti, karna dunia sana kan ada aturan, n dia gak sekuat itu, kl dia bisa ngegas ketika dilabrak orang, Ibunya Bibinya bisa aja yg kena imbas, bs dibunuh, kl di novel tragis kan gt
tapi karna di sinopsis dia polos, berarti gak akan ada scene kejam, kl ada, dia harusnya jadi kejam sm orang bukan hanya sekadar "nakal"
2022-01-31
2
💜⃞⃟𝓛 ➥ѕυͥηᷢѕͭнͥιᷦղᷧɛ➛📴
uwihhh, Eve keyennn dah ketemuan ye ama sodara sebangsa setanah air🙈
2021-10-07
0