"Eve, cepatlah bersiap untuk sekolah. Lihatlah, matahari sudah tinggi. Mau sampai kapan kau bertapa di dalam selimut!"
Luvena Calisteé, gadis berusia delapan belas tahun itu hanya memutar kedua bola matanya kesal. Sebenarnya sejak dua menit yang lalu dia sudah terbangun. Namun dikarenakan matanya yang masih berat, Eve memutuskan untuk tidur kembali. Tapi tidak disangka panggilan keras dari Sese di depan pintu bisa mengembalikan rohnya yang sudah bersiap terjun kembali ke alam mimpi.
Eve menyibak selimutnya dengan kasar. Sekali lagi, panggilan lantang dari Sese terdengar dari arah luar. Sambil sesekali wanita itu mengetuk pintu kamar Eve yang engselnya hampir copot.
"Cepat bangun dan mandi, Eve!"
"Ya, aku sudah bangun!" balas Eve tak kalah berisik dari dalam kamar.
Tapi bukannya menuruti permintaan Sese, selesai mencuci muka Eve justru membuka jendela kamarnya yang terletak di lantai dua. Nekat terjun dari atas sana dan kabur dengan mudah melewati batang pohon yang menjulang tinggi di samping kamarnya.
"Sekolah terus. Pintar juga tidak, apa gunanya?" gumam Eve berdesis. Andai tidak ada Mr. Basset di sana, tentu dunia sekolah akan lebih menyenangkan. Pria berperut buncit itu selalu marah-marah seperti bandit jalanan yang ingin memalak setiap orang yang lewat. Tidak ada aura pertemanan di balik wajahnya yang selalu sangar. Bahkan guru-guru yang lain pun segan untuk bertegur sapa dengannya.
Begitu juga dengan Eve. Dia tidak menyukai guru gendut itu mengajar di kelasnya padahal Mr. Basset sendiri adalah wali kelas Eve.
"Eve, pagi sekali sudah berkeliaran?"
Eve menoleh ke arah suara. Dia tersenyum lebar setelah mengetahui siapa yang menegurnya. Dia Garlein, putra petani paling sukses di desa mereka. Rumahnya ada lima, semuanya berukuran besar yang dilengkapi dengan halaman luas dan belasan kamar. Eve dan yang lain pernah menginap di rumahnya saat liburan musim panas tahun lalu. Setiap siang terik, para pembantunya dengan sigap membuatkan mereka jus jambu segar yang baru dipetik dari kebun.
Itulah enaknya menjadi orang kaya. Jujur saja, Eve sedikit iri terhadap nasib mujur Garlein.
Eve berjalan mendekati pria yang hanya satu tahun lebih tua dibanding dirinya itu. "Oi, Lein. Tidak berangkat sekolah?"
Garlein menggeleng, "Seharusnya aku yang menanyakan hal itu kepadamu. Sudah sering absen, apa lagi-lagi kau ingin bolos?"
"Pelajarannya masih mudah. Nanti aku susul, tenang saja."
Jika Eve iri terhadap kekayaan Garlein, maka Garlein merasa iri terhadap otak encer yang gadis itu miliki. Garlein rajin sekolah dan baru kali ini saja izin satu hari. Dia selalu mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh, belajar sampai larut malam. Akan tetapi Eve yang notabenenya selalu tidur di jam pelajaran, bolos paling tidak sehari seminggu, justru tidak pernah berhasil ia lengserkan dari peringkat pertama.
"Hari ini aku dan keluargaku ingin melihat-lihat kota sementara para pekerja akan menjualkan hasil pertanian desa kita. Mau ikut?"
"Sepertinya sangat menyenangkan!" Mata biru Eve berkilat senang. Ia bertepuk tangan antusias, "Tentu saja aku ikut!"
"Tapi ... apakah kau sudah meminta izin kepada Bibi Margaret? Dia akan sangat khawatir jika kau pergi seharian tanpa izin darinya," nasihat Garlein mengingat Margaret tergolong protektif terhadap putrinya.
"Aku bukan anak kecil lagi, ibu pasti akan maklum," sahut Eve pasti. "Ayo, Garlein. Jika kita terlambat, ayahmu pasti akan marah."
Garlein hanya bisa geleng-geleng kepala saat Eve mengambil langkah lebih dulu dibanding dirinya yang mengajak. Mereka sama-sama menuju rumah utama Garlein yang tak untungnya tidak terlalu jauh dari rumah Eve. Bertumpuk-tumpuk karung berisi jerami, beras, dan tepung sudah dinaikkan ke atas gerobak yang diangkut oleh dua ekor sapi. Eve begitu antusias. Tanpa ba-bi-bu, ia mengambil tempat duduk di atas karung-karung tersebut sehingga ia bisa melihat pemandangan sekitarnya dengan jelas. Mirip seperti menaiki gajah saat musim festival tiba.
"Eve ikut, ya. Kebetulan sekali aku membawakan ini untukmu," ujar Sarah senang, ibu Garlein itu sepertinya akan ikut rombongan pertama menaiki kereta lain. Bukan seperti Eve yang lebih suka mengawasi barang-barang dari desanya dengan duduk di atas tumpukan karung tersebut.
Eve menyambut wadah makan yang diberikan Sarah dengan sukacita. "Wah, kue kering. Pasti bibi membuatnya khusus untukku!"
Sarah tertawa kecil, "Iya, manis. Jangan lupa dimakan, ya?" ujarnya hangat.
Eve mengangguk semangat. "Pasti!"
Dari kejauhan, Johan tampak mengamati interaksi keduanya yang terlihat akrab satu sama lain. Ia mendekat, mendekap bahu istrinya itu sebelum berbicara kepada Eve.
"Gadis kecil, makanlah banyak-banyak agar tubuhmu tidak terlalu kurus," ujarnya disertai tawa lucu. "Biar nanti kau tidak disapu angin saat perjalanan kita dimulai."
Eve menanggapinya dengan tawa ringan. "Paman jangan khawatir. Bibi Sese saja sering mengeluh setiap kali aku makan karena mengambil porsi penuh. Makanan sebanyak apapun, pasti akan habis!" ujarnya bersemangat.
"Baiklah kalau begitu mari kita lihat seberapa banyak kau bisa makan saat berada di kota nanti," sahut Johan senang. "Eve, apa sebaiknya kau ikut duduk di kereta lain saja bersama kami? Cukup berbahaya jika kau terpental ke bawah," tanya Johan lagi meyakinkan. Kepala plontosnya mendongak curam dikarenakan Eve yang sudah duduk nyaman di atas sana.
Eve menggeleng. "Tidak perlu. Aku disini saja, paman. Kalian tidak perlu khawatir. Jika terjadi sesuatu, aku pasti akan teriak. Aku janji," jawab Eve sungguh-sungguh.
Johan maupun Sarah saling berpandangan. Mereka tidak bisa menolak permintaan gadis cantik itu. Dengan berberat hati, Sarah akhirnya mengangguk samar kepada suaminya untuk mengizinkan Eve tetap di atas sana.
Ia menghela napas. "Baiklah, Eve. Ingat, jika terjadi sesuatu segeralah panggil kami."
Eve mengangguk cepat. Kemudian dari arah kereta lain, suara Garlein terdengar keras.
"Ayah, ibu. Kereta kita sudah siap!"
"Kita harus pergi," ujar Sarah sembari menatap dua orang itu. "Eve, ingatlah pesan Johan tadi, ya?"
"Baik, bibi cantik," sahut Eve lagi gembira.
Begitu Johan, Sarah, dan Garlein masuk ke dalam kereta mereka, rombongan itu mulai bergerak pelan menyisiri tanah kering yang di sisi kanan dan kirinya dipenuhi rumput-rumput liar dan ilalang setinggi mata kaki.
Eve merasakan angin sepoi-sepoi menghembuskan anak rambutnya yang terlihat keemasan saat tertimpa cahaya matahari. Ia memejamkan mata, menikmati sapuan hangat tersebut sampai pekikan keras dari belakangnya mampu membuat Eve tersentak kaget.
"EVE, KEMBALI SEKARANG JUGA ATAU KAU AKAN DIHUKUM IBUMU!"
Itu Bibi Sese dengan wajah marahnya. Lengkap dengan kemoceng penuh debu di tangan kanannya seolah siap mendaratkan benda itu ke bokong Eve yang nakal.
Bukannya takut, Eve justru tertawa setengah mengejek. Bibinya itu sudah tua, tidak mungkin bisa mengejar laju dua ekor sapi yang kini sedang menariknya.
"BIBI, RENCANANYA AKU AKAN PULANG SORE. JADI TOLONG SIAPKAN AIR HANGAT UNTUKKU MANDI!" balas Eve tak kalah heboh sampai ayam-ayam yang awalnya sibuk mematuk tanah, kini terlihat celingukan mencari sumber suara yang frekuensinya melebihi batas normal yang bisa di dengar oleh manusia itu.
Kota, bersiaplah dengan kedatangan Eve ke sana!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Imam Sutoto Suro
good luck thor lanjutkan
2023-03-05
0
senja
aduh kl anaknya diculik smoga Ibunya gak jantungan
2022-01-31
0
💜⃞⃟𝓛 ➥ѕυͥηᷢѕͭнͥιᷦղᷧɛ➛📴
kacian bibi sese ya Thor 🤣
2021-10-07
0