“Helen, aku ada meeting malam ini,” katanya singkat, namun nada suaranya serius. Helen berhenti sejenak, matanya menatap Robert dengan sedikit ragu. Malam ini? Ia baru saja berharap bisa menghabiskan waktu bersama Robert.
“Haruskah malam ini perginya?” tanya Helen dengan nada yang sedikit lemah, penuh keraguan. Namun setelah jeda singkat, dia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa kecewanya. “Baiklah, aku akan menyiapkan bajumu,” tambahnya dengan suara lebih tenang, berusaha bersikap pengertian.
Selesai dengan Robert, Helen beranjak ke dapur, menyiapkan air untuk Dava yang masih beristirahat di kamarnya. Ia memanggil Ririn, pembantu baru mereka. “Ririn, tolong antar ini ke kamar Dava, ya,” ujar Helen lembut sambil menyerahkan nampan berisi gelas air.
Ririn tersenyum, menerima nampan itu dengan anggukan. “Baik, Bu Helen, saya akan antarkan,” katanya. Tapi ada sesuatu dalam senyumnya—senyum yang samar, hampir tidak terlihat. Mata Ririn tampak berkilat aneh sejenak, seolah menyembunyikan niat yang tidak jelas. Helen merasa ada yang ganjil, tapi tak mengatakan apa-apa. Ririn berbalik, melangkah menuju kamar Dava, sementara Helen hanya memandangnya dengan sedikit keraguan yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
...****************...
~tiga hari lalu~
"nyonya saya ingin minta izin untuk pulang ke kampung, ibu saya sedang sakit dan tidak ada yang menjaga" -siska
Siska adalah perawat yang di bawa dari rumah sakit..
"Mbk Siska mau pulang?? Tidak, kamu tidak boleh pulang hiks hiks hiks" saut Dava yang merengek sambil memeluk kaki Siska dengan erat...
''Dava, mama nya Mbak Siska sedang sakit jadi Mbak Siska nya harus pulang, nanti kalo mama nya sudah sehat Mbak Siska akan kembali kesini" -Helen
''enggak, enggak boleh pulang Huaa" Dava mulai menangis, Helen pun langsung menarik lembut Dava dari kaki Siska dan menggendong nya
"Siska pulang lah rawat ibumu dan segera kembali, jangan cemas Dava biar nanti saya jelaskan perlahan"
"Baik nyonya" Siska dengan perasaan tidak tega meninggal kan Dava yang sudah seperti anak atau adik nya sendiri, harus pergi karna orang tua nya membutuhkan nya..
sedang kan Dava masih menangis dalam gendongan Helen, Robert yang mendengat tangisan putranya, langsung keluar dari ruang kerjanya...
Robert pun menghampiri istri nya yang sedang kalang kabut untuk menenangkan Dava. ia mengambil alih Dava dari Helen..
''Hai, anak papa kenapa kok nangis? hei diam sebentar saja dan cerita sini sama papa ada apa" sambil mengusap punggung putra nya
''papa, cegah Mbak Siska paa'' '' memang Mbak Siska mau kemana?'' ''Dia mau pulang paa, Dava nggak mau mbak Siska pulang " ''Hai dengerin papa, Mbak Siska pulang nya kenapa, pasti ada alasannya kan'' ''kata mama, mama nya Mbak Siska sakit'' ''klo mama nya Mbak Siska sakit maka Mbak Siska harus pulang untuk merawat nya dulu'' "Tapi Dava nggak mau Mbak Siska pergi" Dava mulai menangis kembali
''Hai dengerin papa, dengerin papa dulu baru nangis lagi,'' mendengar ucapan Robert Dava pun mulai tenang
''Dengerin papa, sekarang papa tanya dulu sama Dava kalo misal Oma sakit mama pulang ke rumah Oma nggak?" ''pulang'' ''kita semua pergi ke rumah Oma kan'' dijawab anggukan oleh Dava
''Nah sama seperti itu juga Mbk Siska, Mbak Siska punya mama, kalo mama nya sakit Mbk siska harus pulang dulu, sama seperti kita, saat Oma sakit maka kita semua harus pulang ke rumah Oma, dan saat Oma sudah sehat apa kita tetep di sana?" "Tidak" ''jadi sama seperti itu juga Mbak Siska kalo mama nya sudah sehat pasti Mbak Siska akan kembali lagi kesini''
''Jadi apa sekarang mbak Siska boleh pulang??'' ''iya pa, boleh'' "ya udah berikan salam dulu sama mbak Siska..'' Dafa pun pergi ke kamar Siska
''Mbak Siska...'' ''Ehh mas Dava, kenapa?'' tanya Siska dengan lembut ''mbak Siska cepat kembali yaa, Dava berdoa agar mamanya mbak Siska cepat sehat dan Mbak Siska cepat kembali..'' Siska pun tersenyum mendengar ucapan anak asuh nya ''Siap tuan muda, mbak Siska akan cepat kembali dan bermain lagi dengan tuan muda Dava'' Dava pun memeluk Siska ''mbak siska hati hati di jalan yaa''
"Mama Mama, mama bilang kita akan makan bersama di taman?'' Tanya Davi dengan antusias
''iya...'' "lalu kapan kita akan berangkat? aku ingin bermain puas puas" "Emm, kapan yaa? Bagaimana kalo sekarang, ini mama sudah siap kan makanan nya" mata Davi pun berbinar mendengar ucapan Helena...
"Yesss...''
...****************...
Di tempat lain, sebuah mobil hitam terparkir di area terpencil, jauh dari keramaian. Seorang laki-laki duduk di kursi pengemudi, wajahnya terlihat tegang di bawah cahaya redup dari layar ponselnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir dengan irama cepat, tanda ketidaksabarannya. Dia menekan panggilan, dan setelah beberapa nada tunggu, terdengar suara di seberang.
"Masuk ke Mansion Ramsay sekarang," ucap laki-laki itu tanpa basa-basi. Suaranya rendah dan dingin, seperti orang yang terbiasa memerintah. "Buat keributan. Pastikan semua orang teralihkan."
Namun, terdengar suara penolakan samar di seberang, yang jelas tidak sesuai dengan perintahnya. Laki-laki itu menyipitkan mata, menahan amarah yang mulai merayap ke permukaan.
"Apa maksudmu? Ini bukan saatnya mempertanyakan rencanaku," katanya dengan nada marah, menggenggam ponsel lebih erat. "Kau hanya perlu melakukan apa yang aku suruh! Aku tidak peduli dengan alasanmu. Masuk ke sana dan lakukan pekerjaannya."
Suasana di dalam mobil semakin mencekam. Suara napas laki-laki itu semakin berat, penuh emosi yang hampir meledak.
"Jangan banyak bicara lagi! Aku tidak mau tahu! Kalau kau gagal, aku pastikan ini tidak akan berakhir baik untukmu," ucapnya dengan tegas, lalu menutup telepon tanpa menunggu jawaban. Wajahnya terlihat gelap, penuh amarah dan frustrasi, sementara mobilnya tetap terdiam di kegelapan, seperti bayangan yang mengintai dari kejauhan.
...****************...
Kevin menatap Rini dengan tatapan tajam, matanya penuh amarah. Pelayan itu berdiri mematung di depan pintu kamar Dava, tidak bergerak sedikitpun meski sudah beberapa kali diperingatkan. Suasana kamar terasa tegang, hanya terdengar napas berat Kevin yang semakin geram.
“Keluar sekarang!” bentaknya, suaranya menggelegar memenuhi ruangan. Namun, Rini tetap diam, tubuhnya kaku seperti tidak mendengar perintahnya. Kevin tidak bisa lagi menahan kesabarannya. Tanpa berpikir panjang, dia menghampiri Rini dan dengan kasar menarik lengannya, menyeretnya keluar dari kamar.
Saat pintu kamar terbuka, langkah kaki terdengar di koridor. Robert, yang baru saja keluar dari kamarnya yang tidak jauh dari kamar Dava, berhenti dan memandang ke arah mereka. Wajahnya tenang, berbeda dengan Kevin yang masih dikuasai amarah. Robert mengenakan pakaian rapi, jas hitam yang diseterika sempurna, memberi kesan bahwa dia siap menghadapi sesuatu yang penting. Matanya menatap tajam ke arah Kevin dan Rini, namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Hanya suasana dingin yang menyelimuti koridor itu.
Robert melangkah mendekat, alisnya berkerut melihat Kevin menyeret Rini dengan kasar. Suasana di koridor mendadak hening, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Robert, yang biasanya tenang dan berwibawa, tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Apa yang terjadi, Kevin?" tanyanya dengan suara rendah namun tegas. "Kau tidak biasanya bersikap seperti ini pada pelayan."
Kevin berhenti sejenak, masih menggenggam lengan Rini yang berusaha melepaskan diri. Napasnya berat, amarah di matanya belum juga surut. Dia menatap Robert dengan intens, lalu akhirnya mengeluarkan kata-kata yang mengejutkan.
"Dia mencoba membunuh Dava," Kevin berkata, suaranya penuh kebencian. "Aku melihatnya sendiri... menggunakan bantal. Dia hampir membuat Dava kehabisan napas."
Robert terdiam sejenak, terkejut dengan pengakuan itu. Tatapannya beralih ke Rini yang tampak gemetar, wajahnya pucat seperti kehilangan darah. Sementara itu, Kevin masih memandang Robert dengan ekspresi penuh kemarahan dan frustrasi, berharap dukungan atas tindakannya.
"Benarkah itu?" tanya Robert, nadanya tetap tenang meski pikirannya bergolak.
Rini tetap diam, wajahnya semakin pucat. Tatapannya kosong, tidak ada sedikit pun usaha untuk menjawab pertanyaan Robert. Hening kembali menyelimuti koridor itu, hanya terdengar deru napas Kevin yang masih terbakar amarah. Robert, yang biasanya begitu tenang dan menguasai situasi, kini mulai tampak geram. Matanya menyipit, menatap Rini dengan penuh kecurigaan.
“Rini!” seru Robert, suaranya kini lebih keras, namun pelayan itu tetap bungkam. Sikap diamnya hanya membuat suasana semakin tegang, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Robert akhirnya kehilangan kesabaran.
Dengan langkah cepat, Robert menarik ponselnya dari saku dan menekan tombol panggil. “Bimo,” katanya dengan nada dingin namun jelas penuh kemarahan. “Datang ke sini sekarang. Aku ingin kau menyelidiki siapa Rini ini sebenarnya dan siapa orang-orang di baliknya. Ada sesuatu yang tidak beres”
Tidak lama setelah Robert menutup telepon, suara langkah kaki terdengar mendekat dari ujung koridor. Bimo muncul dengan cepat, ditemani beberapa bodyguard berpakaian hitam di belakangnya, wajah mereka serius tanpa ekspresi. Robert melirik ke arah mereka dan mengangguk singkat. Bimo tak perlu diberi arahan lebih lanjut; dia langsung menghampiri Rini yang masih berdiri pucat, tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
"Ambil dia," perintah Bimo tegas. Para bodyguard segera bergerak, dua di antaranya memegang lengan Rini dan membawanya pergi tanpa perlawanan. Suara sepatu mereka menggema di sepanjang koridor, membawa Rini entah ke mana, meninggalkan keheningan yang semakin berat di mansion.
Kevin, yang sedari tadi berdiri mematung dengan amarah yang perlahan mereda, menghela napas panjang. Perasaan campur aduk antara cemas, lega, dan ketidakpastian memenuhi dirinya. Dengan langkah berat, dia masuk kembali ke kamar Dava. Saat melihat adiknya terbaring, wajahnya sedikit melunak, namun bayangan insiden tadi masih menghantui pikirannya. Ia berdiri di samping ranjang Dava, memperhatikan napas tenang yang perlahan-lahan mengusir kecemasannya.
Tak lama kemudian, Robert pun menyusul masuk ke kamar Dava. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kekhawatiran, sorot matanya menunjukkan betapa besar perhatiannya terhadap putra bungsunya itu. Robert berdiri di samping Kevin, keduanya saling berpandangan sebentar tanpa berkata apa-apa, berbagi kekhawatiran yang sama.
Di dalam kamar itu, keheningan terasa berat. Meski Dava terlihat aman, perasaan cemas dan tak menentu masih menggantung di antara mereka. Robert menatap anaknya dengan penuh perhatian, masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi, sementara Kevin berdiri di dekatnya, mencoba menenangkan pikirannya yang terus berputar.
Setelah beberapa saat mengamati Dava yang terbaring dengan tenang, Robert menghela napas panjang. Wajahnya sedikit melunak, tetapi kekhawatiran masih tergambar jelas di matanya. Meski putranya tampak baik-baik saja, rasa tanggung jawab sebagai seorang ayah membuat pikirannya tetap waspada.
Robert berbalik menghadap Kevin, yang berdiri tidak jauh darinya, masih dalam keadaan siaga. Setelah jeda singkat, Robert berbicara dengan nada tegas namun tenang.
"Kevin, Papa harus pergi untuk sebuah meeting yang tak bisa ditunda. Tapi malam ini bisakah kamu menemani Dava?," ucapnya sambil menatap mata Kevin.
Kevin mengangguk pelan. Meski masih ada kekhawatiran di wajahnya, dia berusaha menenangkan diri. Ia tahu betul apa yang dipertaruhkan, apalagi setelah insiden tadi.
"iya pa Dava akan tidur bersamaku malam ini" jawab Kevin dengan nada penuh keyakinan.
Robert menatap putranya sekali lagi, memastikan semuanya aman sebelum melangkah keluar kamar. Meski ada urusan penting yang menunggunya, tatapan beratnya menandakan bahwa pikirannya masih tertuju pada Dava. Namun, ia tahu tugasnya belum selesai malam ini. Ia meninggalkan kamar dengan langkah tegas, meninggalkan kedua putranya.
Setelah Robert pergi, suasana kamar kembali hening. Kevin duduk di kursi dekat ranjang Dava, mengawasi setiap gerakan kecil yang dilakukan adiknya. Di tengah kesunyian, Dava tiba-tiba menggeliat di tempat tidurnya, perlahan membuka mata. Wajahnya masih sedikit kusut karena tidur, dan ia terlihat mengantuk, mencari-cari sesuatu di sekitarnya.
Dengan langkah lemah, Dava bangkit dari tempat tidur, ingin mengambil air di meja samping ranjang. Namun sebelum dia sempat melangkah lebih jauh, Kevin tiba-tiba berdiri dan tanpa peringatan memeluknya erat. Pelukan itu penuh emosi, seolah Kevin tak ingin melepaskannya. Dava, yang masih setengah sadar, terkejut dengan pelukan mendadak itu. Tubuhnya menegang, dan ia mengerutkan kening, kebingungan.
"Kak, ada apa? Kenapa tiba-tiba peluk aku?" tanya Dava, suaranya masih serak karena baru bangun tidur. Dia mencoba melihat wajah Kevin, tapi kakaknya hanya memeluknya semakin erat, seakan tidak ingin melepaskannya.
Kevin tetap diam beberapa detik, tidak segera menjawab. Perasaan campur aduk yang sejak tadi menghantui pikirannya kini terasa mendidih, tapi dia tidak ingin Dava tahu apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya, dengan nada tenang, Kevin berkata, "Tidak ada apa-apa, Dava. Kamu jangan khawatir, aku cuma… merindukanmu. Aku ingin memelukmu saja."
Dava sedikit bingung, tapi dia mengendurkan ketegangannya. Walaupun tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang dirasakan kakaknya, pelukan itu terasa tulus. Dia pun membiarkan Kevin memeluknya lebih lama, tanpa bertanya lebih jauh. Kevin, di sisi lain, hanya bisa menahan napas dalam kelegaan, mencoba menenangkan kecemasan yang bergelut di dalam dirinya, bersyukur bahwa Dava masih aman di sisinya.
Kevin masih memeluk Dava dengan erat, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun setelah beberapa saat, Dava bergerak pelan, merasa tak tahan lagi dengan rasa haus yang semakin mengganggu.
“Kak, aku haus… Aku butuh air,” ujar Dava dengan suara pelan, masih setengah mengantuk tapi tak lagi bisa mengabaikan rasa kering di tenggorokannya.
Kevin melepaskan pelukannya, tapi matanya tetap waspada. Dia melirik ke arah gelas yang ada di meja samping ranjang, berisi air yang semula ingin diambil Dava. Namun, rasa khawatir tiba-tiba muncul di dalam dirinya. Pikirannya bercampur aduk, seolah ada sesuatu yang tak beres dengan benda-benda di dalam kamar ini. Setelah semua yang terjadi, Kevin merasa tidak ingin mengambil risiko sekecil apapun.
“Nggak usah minum air yang di sini,” jawab Kevin cepat, nada suaranya lembut tapi tegas. Dava menatap kakaknya, bingung dengan jawabannya.
“Kenapa, Kak? Ini kan cuma air…” Dava bertanya, tapi Kevin menggeleng pelan.
“Biar aku saja yang ambilkan air baru buatmu, ya?” lanjut Kevin, sambil berdiri dari tempat duduknya. Dia berusaha menyembunyikan kecemasannya, tak ingin membuat Dava curiga atau khawatir. “Kamu tunggu di sini sebentar, aku akan segera kembali.”
Dava mengerutkan dahi, masih tidak mengerti kenapa Kevin begitu protektif malam ini. Tapi melihat ekspresi serius di wajah kakaknya, dia memutuskan untuk tidak membantah. “Oke, Kak,” ucapnya pelan.
Kevin berjalan keluar kamar, namun sebelum membuka pintu, dia menoleh sekali lagi ke arah Dava, memastikan adiknya tetap aman di tempatnya. Dengan langkah cepat tapi hati-hati, dia meninggalkan kamar, pikiran masih berputar soal insiden yang hampir saja terjadi. Sesuatu tentang kamar itu membuatnya merasa gelisah, seolah bahaya masih mengintai, dan dia tak mau mengambil risiko sekecil apapun terhadap keselamatan Dava.
Sebelum Kevin benar-benar melangkah keluar dari kamar Dava, dia berhenti sejenak di ambang pintu. Perasaan cemas yang terus menghantui membuatnya berpikir dua kali untuk meninggalkan adiknya sendirian, meski hanya sebentar. Dia tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang muncul setelah insiden sebelumnya.
Dengan cepat, Kevin membuka pintu dan melangkah ke koridor. Di luar, salah satu bodyguard yang tadi datang bersama Bimo terlihat berjaga di ujung lorong. Kevin melambaikan tangan, memanggilnya mendekat.
"Aku mau kau berjaga di depan kamar ini," perintah Kevin dengan nada tegas tapi tenang. "Pastikan tidak ada yang masuk atau mendekat. Aku hanya akan ke dapur untuk mengambil air sebentar."
Bodyguard itu mengangguk tanpa banyak bicara, langsung mengambil posisi di depan pintu kamar Dava. Matanya waspada, memperhatikan setiap gerakan di sekitar. Kevin menatapnya sejenak, memastikan dia memahami betapa pentingnya tugas ini.
"Jaga Dava baik-baik," tambah Kevin dengan sedikit tekanan dalam suaranya. "Aku tidak ingin ada yang terjadi selama aku pergi."
"Ya, Pak," jawab bodyguard itu dengan tegas, berdiri siap siaga di tempatnya.
Kevin, meski masih merasa cemas, sedikit lega mengetahui ada pengawasan ketat di depan kamar adiknya. Setelah memberikan instruksi, dia berjalan cepat menyusuri koridor menuju dapur. Perasaan tegang belum sepenuhnya hilang, tapi dia berusaha menenangkan diri, fokus pada satu tujuan—membawa air baru untuk Dava, dan memastikan semuanya tetap aman.
Kevin dan kevan adalah putra kedua dari Robert dan Helen, berusia 14 tahun. Meskipun usianya masih muda, pemikirannya jauh lebih dewasa dibandingkan teman-temannya. Hal ini disebabkan oleh pengalaman hidup yang telah dilaluinya, terutama sejak kelahiran adik-adiknya yang merupakan kembar tiga. Dava adalah salah satu dari ketiga bayi tersebut yang memerlukan perawatan lebih lama di rumah sakit.
Selama masa-masa sulit itu, Kevin bersama dengan kakaknya yang tertua, Nadia, mengambil peran penting dalam mengurus kedua adiknya, Devi dan Davi. Mereka berdua terpaksa tumbuh lebih cepat dan belajar tanggung jawab di usia yang sangat muda. Kevin sering kali merasa perlu menjaga adik-adiknya, mengasuh dan melindungi mereka seolah-olah mereka adalah anak-anaknya sendiri.
Kondisi tersebut membuatnya lebih peka terhadap situasi di sekitarnya dan memberi kontribusi besar terhadap cara pandangnya tentang dunia. Kevin memahami bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus dan bahwa dia harus siap menghadapi tantangan. Dia bertekad untuk selalu melindungi Dava, Devi, dan menjaga keluarganya, bahkan jika itu berarti mengorbankan waktu dan kebahagiaannya sendiri. Keterikatan yang kuat dengan adik-adiknya membuat Kevin merasa lebih dewasa, bertanggung jawab, dan penuh kasih sayang.
...****************...
Setelah pulang dari meeting yang berlangsung panjang dan melelahkan, Robert langsung menuju ruang kerjanya dengan langkah cepat. Suasana di dalam ruangan itu terasa serius, dan dia tahu bahwa ada banyak hal yang perlu dibahas setelah insiden di kamar Dava.
Setibanya di dalam, Robert melihat Bimo sudah menunggu dengan ekspresi tegas di wajahnya. Di samping Bimo, Helen, istrinya, tampak khawatir, wajahnya menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap keadaan keluarga mereka. Robert mengangguk pada mereka berdua sebelum berbicara.
"Bimo, apa yang terjadi tadi malam di kamar Dava?" tanya Robert, suaranya tegas. "Aku ingin tahu setiap detailnya."
Bimo menjelaskan tentang insiden dengan Rini, pelayan yang ditangkap, dan kekhawatiran yang melingkupi situasi tersebut. Setelah mendengar penjelasan Bimo, Robert menyandarkan punggungnya pada kursi dan menatap Bimo dengan tajam.
"Jangan lepaskan wanita itu. Terus selidiki siapa orang di balik semua ini," perintah Robert, nadanya menunjukkan ketegasan yang tidak bisa ditawar. "Aku ingin tahu siapa yang berani mengancam keluargaku."
Helen mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya terasa berat dengan situasi yang tengah dihadapi. Dia menyentuh lengan Robert, mengingatkan suaminya untuk tetap waspada, namun tidak menimbulkan kepanikan yang lebih besar.
Robert melanjutkan, "Bimo, aku juga ingin kau memperketat penjagaan di mansion ini. Setiap sudut harus diawasi. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi lagi. Keselamatan keluarga adalah prioritas utama."
Bimo mengangguk tegas, mencatat semua perintah Robert dengan seksama. "Baik, Pak. Saya akan memastikan semua langkah pengamanan diperketat dan terus memantau situasi."
Robert merasa sedikit lega mendengar komitmen Bimo. Namun, rasa khawatirnya belum sepenuhnya sirna. Dia tahu bahwa ancaman bisa datang dari mana saja, dan dia akan melakukan segala cara untuk melindungi keluarganya. Saat pertemuan itu berakhir, dia merasakan beban yang masih tersisa di pundaknya, tetapi tekadnya untuk melindungi keluarga Ramsay semakin kuat.
Helen, yang mendengar nama putranya, langsung merasakan gelombang kekhawatiran. “Aku ingin melihat keadaan Dava,” katanya dengan nada penuh kekhawatiran, matanya melirik ke arah pintu seakan berharap Dava segera muncul. Namun, Robert dengan lembut menahan tangannya. “Helen, Kevin sudah ada di kamar Dava. Mereka berdua baik-baik saja. Yang lebih penting, kita harus menyelesaikan pembicaraan ini,” ujarnya, berusaha menenangkan istrinya.
Bimo mengangguk setuju. “Betul, kita tidak bisa panik. Fokus kita sekarang adalah memastikan bahwa situasi ini tidak terulang. Kita harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana melindungi keluarga kita ke depan.”
Helen menghela napas dalam-dalam, berusaha menahan kekhawatirannya. “Tapi bagaimana jika ada sesuatu yang terjadi lagi? Aku tidak bisa berpikir dengan tenang,” keluhnya, suaranya mulai bergetar.
Robert menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku mengerti, Helen. Namun, jika kita terus berada dalam keadaan panik, kita tidak akan bisa berpikir jernih. Mari kita selesaikan rencana ini bersama-sama, demi keselamatan kita semua,” katanya tegas.
Helen menunduk, berusaha mengumpulkan pikirannya. Dia tahu Robert benar, tetapi naluri keibuannya membuatnya sulit untuk tenang. Bimo melanjutkan, “Kita perlu mengidentifikasi titik-titik rentan dalam keamanan rumah dan melakukan langkah-langkah preventif yang lebih baik. Kita juga perlu meningkatkan komunikasi dan koordinasi antara kita.”
Suasana di ruangan itu mulai terasa lebih terarah, dan Helen berusaha berpegang pada harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja, asalkan mereka bersatu dalam menghadapi masalah ini.
Di tengah diskusi yang semakin intens, pintu ruang kerja terbuka dan salah satu anak buah Bimo masuk, membawa sebuah amplop besar. Ia menyerahkan amplop tersebut kepada Bimo, yang segera mengambilnya dan membukanya dengan cepat. Suara kertas yang menggesek menambah suasana tegang di ruangan.
Robert memperhatikan dengan saksama dan kemudian bertanya pada Helen, “Apakah kamu kenal dengan wanita ini?” Ia menunjuk pada foto yang muncul dari dalam amplop. Helen mengambil foto tersebut dan mencermatinya, memperhatikan detail wajah wanita di dalamnya.
Mata Helen menyipit, mencoba mengingat. Wanita itu tampak familiar, tetapi bayangan ingatannya masih samar. “Aku… merasa pernah melihatnya,” kata Helen, suaranya bergetar sedikit, “tapi aku tidak bisa mengingat di mana atau kapan.”
Robert mengamati reaksi Helen, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Kita perlu tahu siapa dia. mungkinkah dia ada di belakang rini?”
Bimo mengangguk setuju. “Ini mungkin kunci untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Jika Helen mengenalnya, kita bisa mencari tahu lebih lanjut.”
Helen masih memegang foto itu erat-erat, berusaha mengingat detail-detail kecil. “Mungkin dia pernah datang ke acara keluarga atau pertemuan bisnis,” katanya, mengernyitkan dahi. “Tetapi, aku tidak bisa memastikan. Rasanya, ada sesuatu yang penting di balik semua ini.”
Robert menambahkan, “Jika kita bisa menemukan informasi lebih lanjut tentang wanita ini, kita mungkin bisa mencegah potensi bahaya di masa depan.”
Diskusi pun berlanjut, dengan Helen berusaha mengingat lebih banyak sambil Robert dan Bimo mulai merumuskan langkah-langkah berikutnya untuk menyelidiki siapa wanita itu dan apa keterkaitannya dengan situasi yang sedang mereka hadapi.
next part.....
...****************...
Sampai jumpa di part selanjutnya temen temen...
salam cantik dari author.....
partnya segini dulu yaa, semoga sukaa....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Anonymous
kurangin kata "dan", jangan terlalu banyak
2022-09-18
1