00.02 (revisi)

Sore itu di taman, suasana cerah dengan langit biru yang dihiasi oleh awan tipis, menciptakan nuansa yang seharusnya tenang dan menyenangkan. Pepohonan hijau dan bunga-bunga yang mekar menambah keindahan alam, sementara udara segar menyelimuti seluruh area taman. Namun, di sebuah bangku taman, suasana yang jauh dari tenang sedang terjadi.

Dava, anak laki-laki mereka yang berusia tujuh tahun, duduk di ujung bangku dengan wajah masam dan tangan terlipat di dada. Matanya memandang jauh ke depan, seakan menghindari tatapan orang tuanya. Dia tampak gelisah dan cemas, tidak seperti biasanya yang ceria bermain di taman.

Helen dan Robert, duduk di sebelahnya, terlihat khawatir. Mereka sudah berusaha sabar, namun sekarang, setelah berjam-jam Dava menolak untuk minum obatnya, kesabaran mereka mulai menipis. Dava terlihat lelah setelah seharian bermain, namun demam yang datang mendadak membuatnya terkulai lemah, dan ini membuat Helen dan Robert merasa cemas.

“Dava, kamu harus minum obat ini,” kata Helen dengan lembut, namun ada ketegasan di balik suaranya. Ia memegang botol obat, mencoba menawarkan pada Dava yang kini menatapnya dengan mata penuh protes.

Dava menggigit bibirnya, wajahnya memerah karena marah dan frustrasi. “Aku nggak mau minum obat itu! Rasanya pasti jelek!” katanya, suara protes terdengar jelas.

Robert menghela napas, matanya menatap Dava dengan lembut namun juga penuh kekhawatiran. "Dava, ini untuk kebaikanmu. Kamu demam, dan obat ini bisa bantu tubuhmu cepat sembuh. Jangan bikin ibu dan ayah khawatir," katanya dengan suara yang pelan tapi penuh makna.

Dava berbalik, menatap ayahnya dengan tajam. "Aku nggak sakit! Kenapa harus minum obat?" protesnya, matanya memerah, kesal karena merasa dipaksa.

Helen dan Robert saling berpandangan sejenak, merasa terjebak di antara keinginan untuk menjaga Dava tetap sehat dan keteguhan hati Dava yang tidak mau mengalah. Ini bukan pertama kalinya Dava menolak obat, tapi kali ini, di tengah sore yang cerah ini, ketegangan terasa semakin menebal.

“Dava, sayang,” Helen berusaha lagi, berbicara dengan lembut. "Ini cuma sebentar, setelah kamu minum obat, kamu bisa tidur dan bangun dengan perasaan lebih baik. Kita masih bisa jalan-jalan di taman lagi besok, kalau kamu sudah sehat.”

Dava menggigit bibir bawahnya, tubuhnya semakin membungkuk, menunjukkan tanda-tanda frustrasi. “Aku nggak mau! Obat itu pasti pahit!”

Matanya mulai berkaca-kaca, seolah menahan tangis. Dava tahu ia harus minum obat, tetapi rasa tidak nyaman dan ketidaksukaannya terhadap rasa obat itu membuatnya merasa marah dan takut.

Robert duduk lebih dekat dengan Dava, mencoba berbicara dengan nada lebih tegas, meski masih dengan kasih sayang. “Dava, ini demi kesehatanmu. Kamu nggak bisa terus begini. Kalau kamu nggak minum obat, demammu bisa semakin parah. Kita nggak ingin kamu makin sakit, kan?”

Dava menunduk, menatap tanah dengan hati yang terasa penuh. “Tapi aku nggak mau! Aku benci obat itu!”

Helen, yang sudah mulai merasa frustasi, menghela napas dalam-dalam. “Dava, dengar ya, ini bukan pilihan. Kamu harus minum obat ini supaya tubuh kamu cepat sembuh. Ini untuk kebaikanmu.”

Dava memandang ibunya dengan wajah marah, lalu menatap botol obat itu seolah barang itu adalah musuh besar yang harus ia lawan. “Kamu nggak ngerti, Ma! Aku nggak mau!”

Saat itu, Robert sedikit mengangkat suara, tanpa meninggalkan kelembutan. “Dava, kita nggak mau berdebat lagi. Kalau kamu nggak minum obat, kamu nggak akan bisa bermain lagi di taman atau melakukan hal seru lainnya. Jadi, minumlah, ya?”

Dava, yang kini sudah mulai terbawa perasaan, akhirnya meledak. "Kenapa kalian selalu memaksa aku?" teriaknya dengan suara kecil yang terisak. “Aku nggak mau, kenapa nggak bisa kalian biarin aku aja?”

Suasana di taman itu, yang semula tenang, kini terasa semakin tegang. Orang-orang yang berjalan santai di sekitar taman mulai memperhatikan mereka, namun Helen dan Robert tidak peduli dengan pandangan orang lain. Mereka hanya ingin Dava sehat, dan mereka tahu cara terbaik adalah dengan memberikan obat itu.

Helen, dengan hati yang berat, akhirnya mendekat lebih dekat ke Dava. “Dava, sayang, kamu harus minum ini. Setelah ini, kita semua bisa pulang dan istirahat. Kamu nggak mau sakit lebih lama, kan?” Dengan lembut, Helen mencoba membuka mulut Dava, sementara Robert memegang tangannya dengan lembut agar tidak menahan.

Dava, dengan wajah penuh amarah dan air mata yang mulai menetes, akhirnya membuka mulutnya, walau sedikit, hanya untuk menerima obat itu.

Obat itu, dengan rasa pahit yang menusuk, segera menyentuh lidah Dava, dan ia langsung mengerutkan wajahnya, mencoba menahan rasa jijik dan ingin muntah. Namun, ia tahu, ini sudah tidak bisa dihindari lagi.

“Yuk, habiskan, Dava. Hanya sedikit lagi,” bisik Helen dengan lembut.

Dava terisak, namun setelah beberapa detik, ia menelan obat itu dengan terbata-bata. Wajahnya memerah, dan air mata masih mengalir, namun ia akhirnya berhasil menelan obat itu meski dengan sangat terpaksa.

Setelah itu, Dava terdiam, menatap ke depan dengan wajah penuh kemarahan yang masih tersisa. Namun, ia juga terlihat sedikit lebih tenang, seolah merasakan beban yang terlepas dari dirinya.

Robert menepuk bahunya pelan, mencoba memberi penghiburan. “Kamu hebat, Dava. Sekarang kita pulang dan istirahat. Kamu pasti cepat sembuh.”

Dava hanya mengangguk pelan, masih dengan wajah masam, tapi ia tak lagi berusaha melawan. Malam itu, meskipun suasana taman masih ramai dengan orang-orang yang menikmati sore, di dalam hati Dava, suasana hati yang tertekan itu akhirnya mereda sedikit.

Setelah Dava menelan obat pahit itu, suasana di taman yang tadinya tegang mulai sedikit mereda. Namun, ada perubahan yang perlahan terjadi pada dirinya. Wajahnya masih tampak kesal, tapi sekarang ada ekspresi yang lebih lelah, seperti tubuhnya mulai menyerah pada rasa kantuk yang datang.

Robert dan Helen saling memandang, melihat anak mereka yang kini tampak semakin lesu. Dava, yang sebelumnya begitu bersemangat, kini mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Matanya yang semula penuh amarah dan kebingungan mulai tampak berat. Ia terdiam sejenak, memandang kosong ke sekeliling taman yang mulai sepi.

"Sayang," Helen bersuara lembut, mencoba menarik perhatian Dava. "Kamu mulai merasa ngantuk, kan?"

Dava hanya mengangguk pelan, namun ia tak berkata-kata. Tubuh kecilnya mulai merosot sedikit ke samping, seolah tak punya tenaga lagi untuk duduk tegak. Obat yang baru saja diminumnya mulai bekerja, meresap ke dalam tubuhnya, dan perlahan-lahan, rasa kantuk itu datang begitu mendalam.

Robert mengangkat Dava ke pangkuannya, merasa tubuh Dava yang semakin lemas. "Kamu ngantuk banget, ya?" katanya sambil mengelus rambut Dava yang sudah mulai terurai. "Ayo, tidur di pangkuan Mama."

Helen, yang sudah siap untuk membopong anaknya, menarik Dava lebih dekat ke tubuhnya. Dengan hati-hati, ia memeluknya, merasakan tubuh kecil yang mulai lentur dalam pelukannya. Wajah Dava yang tadi penuh protes dan kebencian terhadap obat itu kini tampak lebih tenang, meski masih ada sisa-sisa kesal di matanya.

Dava merapatkan kepalanya di dada Helen, dan dengan berat, matanya yang setengah terpejam akhirnya mulai tertutup. Perlahan-lahan, napasnya menjadi lebih pelan, tanda bahwa ia mulai tenggelam dalam tidur yang sangat dibutuhkannya. Obat itu bekerja dengan cepat, dan kantuk yang datang semakin dalam.

"Mama..." suara Dava yang lemah terdengar, hampir tak jelas. "Aku... ngantuk..."

Helen hanya tersenyum lembut, membelai rambut Dava dengan lembut. "Iya, sayang. Tidur saja, kamu butuh istirahat. Nanti kalau sudah bangun, badan kamu pasti lebih baik."

Dava tidak menjawab, hanya mengeluarkan suara kecil dari dalam tidurnya, dan dalam beberapa detik, tubuhnya benar-benar terkulai dalam pelukan Helen. Suasana di taman yang semula ramai kini terasa semakin sepi, hanya terdengar suara burung malam dan angin sepoi-sepoi yang menyentuh daun-daun pohon.

Robert dan Helen duduk diam, saling berpandangan sejenak, menikmati momen tenang setelah semua kekhawatiran dan ketegangan. Tangan Robert menggenggam tangan Helen, dan mereka tahu bahwa meskipun Dava merasa terganggu dengan obat itu, kini ia akhirnya bisa beristirahat dan pulih.

“Mungkin kita harus pulang sekarang, ya?” Robert berbisik, melihat anak mereka yang sudah tertidur lelap di pangkuan Helen.

Helen mengangguk, namun wajahnya masih dipenuhi rasa kasih sayang dan khawatir. "Iya, kita bawa Dava pulang, biar dia bisa tidur lebih nyenyak, tapi anak anak masih ingin bermain sepertinya" jawabnya pelan.

...***...

Sementara itu di sudut taman yang mulai sepi, di bawah bayang-bayang pohon yang tinggi, tampak dua sosok kecil berdiri, menyaksikan dengan penuh rasa ingin tahu. Devi dan Davi, saudara kembar Dava yang berusia tujuh tahun, berdiri di samping bangku taman, matanya besar dan terbelalak saat melihat Dava yang kini terkulai lemah di pelukan Helen. Wajah Dava yang semula penuh protes dan kebencian kini tampak damai, meskipun masih ada sisa-sisa keengganan di wajahnya.

Di samping mereka, Nadia, kakak tertua yang berusia dua beles tahun, duduk di atas rumput dengan tangan terlipat, memandang dengan khawatir. Nadia menyadari perubahan yang terjadi pada adiknya, dan meski ia sudah terbiasa melihat Dava yang tidak suka minum obat, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Dava tampak begitu lelah, begitu lemah.

Devi, yang selalu ceria dan penuh rasa ingin tahu, menarik lengan Nadia dengan lembut, matanya tidak bisa lepas dari Dava yang sedang tertidur di pangkuan ibu mereka. “Kak, kenapa Dava nggak bangun? Kenapa dia langsung tertidur?” tanyanya dengan suara kecil, penuh kebingungan.

Nadia menoleh, memberikan senyum tipis, meski di matanya tampak kekhawatiran. "Dava sedang merasa nggak enak badan, Dev. Obat yang dia minum membuat dia jadi ngantuk. Dia butuh tidur supaya bisa cepat sembuh."

Davi masih memandang dengan penuh rasa ingin tahu. “Tapi kenapa harus minum obat? Bukannya rasanya nggak enak?” tanya Davi lagi, mata besarnya penuh dengan pertanyaan.

Davi, yang dari tadi hanya diam, kini ikut mengangguk. “Iya, Kak. Kenapa Dava harus minum obat, sih? Kita kan nggak suka juga, kan?”

Nadia menghela napas, menyadari bahwa ini mungkin pertama kalinya mereka benar-benar melihat Dava dalam keadaan seperti ini. Sebelumnya, Dava selalu terlihat kuat dan berani, dan mereka sering kali mendengar protes Dava yang nggak suka minum obat. Namun, hari ini, Dava terlihat begitu rentan.

“Obat itu memang nggak enak, sayang. Tapi kalau Dava nggak minum, dia bisa makin sakit, dan itu bisa bikin dia nggak bisa bermain dengan kita,” jawab Maya dengan lembut. “Kamu lihat, kan? Dava sekarang demam. Obat itu harus masuk ke tubuhnya supaya dia cepat sembuh.”

Davi dan Devi saling pandang, tampak sedikit bingung dan khawatir. Devi menggigit bibir bawahnya, merasa kasihan pada Dava yang sudah begitu lelah. “Tapi, Kak, sampai kapan Dava harus minum obat itu?” tanyanya lagi, kali ini dengan suara yang sedikit cemas.

Nadia terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat. Ia tahu ini adalah momen yang sulit bagi adik-adiknya, terutama bagi Davi dan Devi yang masih begitu kecil dan tidak sepenuhnya mengerti tentang sakit dan obat.

“Sampai Dava benar-benar sembuh, Dev. Kalau Dava sudah nggak demam dan tubuhnya sudah kuat lagi, dia nggak perlu minum obat lagi. Tapi untuk sekarang, obat itu membantu tubuhnya melawan sakit,” jawab Maya dengan hati-hati, sambil menatap Dava yang masih tertidur di pelukan ibunya.

Davi mengangguk pelan, meskipun ekspresinya masih cemas. “Tapi... Dava nggak suka obat itu, Kak. Dia pasti benci banget sama obat itu.”

Nadia tersenyum tipis, mencoba menenangkan adik-adiknya. “Iya, aku tahu. Tapi Dava tahu itu baik untuk dirinya. Meski nggak enak, tapi dia harus kuat supaya cepat sembuh.”

Davi, yang semula terlihat bingung, akhirnya berbicara dengan suara pelan, "Kita bisa bantu Dava, ya, Kak? Biar dia nggak ngerasa sendirian?"

Nadia menatap adik kembarnya, dan kali ini ia tersenyum penuh kasih. “Tentu. Kita bisa bantu Dava. Kalau dia sudah sembuh, kita bisa bermain lagi bersama. Jadi, kita harus jaga dia dan biar Mama dan Papa nggak khawatir.”

Maya merangkul kedua adiknya, merasakan beratnya situasi ini, tapi ia tahu, mereka semua harus tetap kuat. Mereka harus mendampingi Dava, walaupun itu berarti harus melalui momen yang tidak mudah.

Davi dan Devi saling memandang, dan meskipun mereka masih merasa cemas, mereka mulai merasa sedikit lebih tenang, mengetahui bahwa mereka bisa membantu Dava dengan cara mereka sendiri—dengan kesabaran dan kasih sayang. Mereka duduk di samping Maya, memandang Dava yang sedang terlelap, sementara angin sore berbisik lembut di sekitar mereka, membawa rasa damai yang perlahan-lahan menghilangkan ketegangan.

Dava mungkin sedang terlelap dalam tidurnya, tapi di sekelilingnya, ada keluarganya yang dengan penuh kasih sayang menjaga dan merawatnya, menanti dengan harap-harap cemas sampai ia kembali ceria dan sehat.

***

Angin sepoi-sepoi yang mengusap wajah. Di sekitar mereka, anak-anak lain tampak ceria bermain, mengejar bola, atau berlarian dengan riang. Helen dan Robert, bersama dengan Davi, Devi, Kevan Kevin dan Nadia, menikmati sore yang damai, meskipun hati mereka masih dipenuhi kekhawatiran tentang kondisi Dava.

Di bangku taman yang teduh, Robert berdiri sambil memandang ke arah Bimo, asisten keluarga mereka, yang sedang berdiri tak jauh dari situ, menunggu instruksi lebih lanjut. Dava, yang masih terlelap dalam pelukan Helen, terlihat tenang dengan wajah yang damai setelah tidur cukup lama. Obat yang diminumnya kini mulai bekerja, dan demamnya sudah mereda, meskipun ia masih sangat lemah.

“Anak Anak” Robert memanggil sambil mengamati anak-anaknya yang sedang bermain dengan riang di dekat ayunan. “Kalian tetap di sini ya, bermain dengan Mama. Papa akan minta Bimo untuk membawa Dava pulang ke rumah dulu. Nanti kita bisa menyusul setelah pulang.”

Nadia, yang sedang sibuk memegang bola, menoleh dan mengangguk. "Oke, pa," jawabnya, meskipun masih tampak sedikit khawatir melihat kondisi adiknya.

Robert berjalan beberapa langkah menuju Bimo, wajahnya terlihat serius namun penuh perhatian. “Bimo, tolong bawa Dava pulang. Pastikan dia tetap nyaman dan aman selama perjalanan,” perintahnya dengan nada yang tegas namun penuh kasih.

Bimo mengangguk cepat. “Tentu, Pak. Saya sudah menyiapkan mobil di dekat pintu taman. Dava akan baik-baik saja.”

Robert menghela napas lega. "Pastikan dia duduk dengan nyaman dan jangan terlalu cepat. Dia butuh istirahat, dan kita nggak ingin dia terganggu selama di perjalanan," lanjutnya.

Bimo mengangguk lagi, mengerti dengan jelas apa yang diinginkan majikannya. “Akan saya pastikan, Pak.”

Sementara itu, Helen yang masih duduk di bangku taman, mengelus rambut Dava yang terbaring di pangkuannya, memandang dengan penuh kasih sayang. “Pa, aku akan menemani anak-anak di sini. Bimo bisa bawa Dava pulang dengan aman, kan?”

“Ya, Bimo sudah cukup berpengalaman,” jawab Robert dengan senyuman tipis. “Kita bisa tenang sementara anak-anak di sini masih bisa bermain."

Helen mengangguk, merasa sedikit lega meskipun masih ada rasa cemas di dalam dirinya. Ia tahu Dava butuh istirahat, dan di rumah nanti ia akan bisa lebih nyaman untuk tidur. Tapi sekarang, ada rasa tenang melihat anak-anak yang lain bisa tetap ceria dan menikmati waktu mereka di taman.

Sambil mengawasi Dava yang masih terlelap, Robert meraih tangan Helen, menggenggamnya erat. “Kita akan pastikan semuanya baik-baik saja. Anak-anak juga butuh waktu untuk bermain. Mereka sudah cukup khawatir dengan Dava, dan ini adalah kesempatan bagus untuk memberi mereka sedikit waktu untuk merasa lebih baik,” katanya pelan, memberikan dukungan pada Helen yang terlihat sedikit lelah.

Helen tersenyum kecil, lalu memandang ke arah anak-anak mereka yang tampak sedang menikmati waktu bermain mereka. Davi sedang berlari-lari sambil tertawa, Devi bermain dengan bola, dan Nadia tampak memimpin permainan mereka, mengajak mereka bermain ayunan. Kevan dan Kevin sibuk dengan dunia mereka sendiri

“Terima kasih, sayang,” Helen mengucapkan dengan lembut, meyakinkan Robert bahwa mereka berdua saling mendukung. “Aku tahu Dava akan baik-baik saja.”

Robert tersenyum, mengusap lembut kepala Helen. “Aku yakin semuanya akan baik-baik saja,” jawabnya dengan penuh keyakinan.

Saat itu, Bimo sudah mendekati bangku taman, dengan langkah hati-hati membawa Dava yang masih tidur. "Pak, saya akan berangkat sekarang," katanya dengan suara lembut.

Robert menoleh dan tersenyum, memberikan isyarat agar Bimo melanjutkan perjalanan. “Jaga Dava dengan baik. Kami akan menyusul nanti,” katanya, lalu melangkah kembali ke sisi Helen.

Bimo, dengan hati-hati dan penuh perhatian, mengangkat Dava ke dalam mobil, memastikan bahwa Dava terbaring dengan nyaman di kursi belakang. Ia menutup pintu mobil dengan hati-hati dan melaju pelan, meninggalkan taman dengan tujuan rumah yang tak jauh dari situ.

Setelah mobil Bimo berlalu, Robert kembali bergabung dengan Helen dan anak-anak mereka. Ia duduk di sebelah Helen, menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku taman, sambil mengamati anak-anak yang tengah bermain.

"Anak anak" Robert memanggil, membuat ketiga anak itu berhenti sejenak dan berbalik. "Kita tetap akan tinggal di taman ini untuk sementara. Nikmati waktumu bermain, ya?"

"Tapi pa, apa kita tidak pulang saja kasihan dava dirumah sendirian kitanya asyik bermain" jawaban pertanyaan dari putri kecilnya Devi dan di setujui oleh semua saudaranya

Robert tersenyum mendengarnya ikatan di antara mereka begitu kuat dan menggemaskan menurutnya "Tidak apa apa Dava di rumah agar bisa istirahat dengan nyaman kalian bisa tetap habiskan waktu kalian di taman, besok jika dia sudah lebih baik kita bisa ajak dia untuk bermain sepuasnya" jawaban robert dengan penuh kasih sayang dan hati hati

"Baiklah pa besok kita bisa ajak Dava bermain puas puas saat sudah sembuh" jawab mereka serentak

Anak-anak mengangguk riang dan melanjutkan permainan mereka dengan ceria. Suasana di taman kembali tenang, dengan suara tawa mereka yang mengisi udara. Meski cemas masih terasa di hati Helen dan Robert, mereka tahu bahwa Dava sudah berada di tangan yang tepat. Di rumah, Dava akan mendapatkan istirahat yang dibutuhkan, dan semuanya akan kembali normal setelahnya.

Sore itu, meskipun ada rasa cemas yang masih menggelayuti hati, mereka merasa sedikit lebih tenang, mengetahui bahwa keluarga mereka saling mendukung dan bersama-sama melewati momen yang tidak mudah ini.

Hari mulai meredup saat matahari tenggelam di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Suasana di taman yang tadinya riuh dengan tawa anak-anak kini berubah menjadi lebih tenang, dengan udara yang mulai sedikit sejuk. Lampu-lampu taman mulai menyala, menciptakan suasana yang hangat meski gelap sudah mulai menyelimuti.

Helen menoleh ke arah Robert yang sedang berdiri di dekat ayunan, memandang anak-anak mereka yang masih asyik bermain. Nadia, Kevan,Kevin Davi, dan Devi tampak tak ingin berpisah dari taman, menikmati setiap detik sisa waktu mereka. Namun, Helen tahu sudah saatnya mereka pulang.

"Robert, sepertinya sudah cukup. Hari mulai gelap," kata Helen sambil menyeka pelipisnya yang sedikit berkeringat.

Robert mengangguk, matanya masih tertuju pada anak-anak. “Kita harus pulang. Dava sudah di rumah, dan mereka juga butuh istirahat setelah seharian bermain.”

Nadia, yang sedang berlari di sekitar ayunan, mendengar suara ayahnya dan segera berhenti. Ia menoleh dengan wajah kecewa, meskipun sudah tahu bahwa waktunya bermain sudah hampir habis. "Pa, masih sebentar, dong... Aku nggak mau pulang dulu," protesnya.

“Sudah malam, Nak. Kita harus pulang sekarang,” jawab Robert lembut, meskipun nada suaranya tetap tegas. "Dava sudah di rumah dan Mama juga butuh istirahat. Kalian juga pasti capek"

Davi dan Devi yang melihat kakaknya berhenti bermain ikut menghampiri, tampak kecewa juga, namun mereka tahu saatnya pulang memang sudah tiba. “Ayo, kalian bisa bermain lagi nanti di rumah,” kata Nadia dengan senyuman kecil, mencoba menenangkan adik-adiknya.

Helen berdiri dan menyapa mereka semua. "Sudah cukup bermain, sayang. Saatnya pulang dan beristirahat." Ia menarik pelan tangan Nadia, Kevan,Kevin dan Devi sementara Davi berlari kecil mendekat.

Robert berjalan mendekat, menyadari bahwa mereka semua memang sudah harus pulang. “Bimo sudah membawa Dava pulang lebih dulu, jadi sekarang kita juga harus siap-siap,” katanya sambil tersenyum pada anak-anak mereka yang sudah mulai lelah.

Di kejauhan, mereka bisa melihat mobil **Bimo** yang sudah terparkir di pintu keluar taman. Semua barang yang mereka bawa dari rumah, seperti tas dan piknik, sudah siap diambil. Taman yang semula penuh dengan tawa kini sepi, dengan suara alam yang mulai tenang.

Nadia menghela napas, meski ia tahu tak bisa berlama-lama lagi. "Oke, pa. Kita pulang," katanya dengan suara pasrah.

Mereka semua, bersama Helen dan Robert, mulai berjalan menuju mobil. Di sepanjang jalan, suasana terasa lebih tenang. Suara langkah kaki mereka terdengar lembut, diselingi dengan tawa kecil dari Nadia, Kevan,Kevin Davi, dan Devi yang masih berbicara tentang permainan mereka di taman.

Di dalam mobil, suasana terasa hangat. Helen duduk di samping Robert, dan anak-anak duduk di kursi belakang. Nadia, Kevan,Kevin Davi, dan Devi mulai tertidur dengan kepala bersandar di sandaran kursi, kelelahan setelah seharian bermain. Hanya beberapa detik setelah mereka melaju, keheningan mulai merayap di dalam mobil.

Robert memandang Helen dan tersenyum. "Terima kasih sudah menemani mereka bermain hari ini. Aku tahu, ini bukan hari yang mudah."

Helen mengangguk sambil tersenyum kecil, matanya juga mulai mengantuk. "Aku juga senang melihat mereka ceria lagi, meski Dava masih harus pulih."

Mereka berdua saling berpegangan tangan sejenak, merasakan kedamaian dalam perjalanan pulang. Meski hari itu dipenuhi dengan kekhawatiran, mereka tahu keluarga mereka selalu saling mendukung dan bahwa mereka akan terus bersama, melewati semua hal dengan penuh kasih.

Dalam keheningan mobil yang berjalan perlahan, mereka akhirnya sampai di rumah. Mobil berhenti di depan rumah, dan Bimo sudah menunggu di depan pintu, siap membantu mereka masuk ke dalam.

Hari itu berakhir dengan tenang. Semua anggota keluarga, meski kelelahan, merasa bahwa mereka sudah melakukan yang terbaik untuk satu sama lain.

###

Ihh, bang Kevaaaan itu punyaku, Balikin siniii'' suara ribut dua kakak beradik itu memenuhi ruang tengah

''ya udah ini, ambil, kalo nyampe hahahaaa''

''Abaaaang"

Helen yang baru keluar dari dapur hanya menggeleng kan kepala nya melihat anak anak nya....

Di samping 2 insan sedang beradu bacot, ada 2 manusia sedang melepas tawa mereka di ruang TV. sedangkan Dava yang sudah terlelap tidur dari tadi, dan sudah di pindah ke kamar nya, di lantai tiga.

Helen masuk ruang TV dengan membawa camilan dan duduk di sofa singel, melihat Helen duduk Nadia pun membuka suara

''Maa, besok di sekolah ada camp ke puncak apa aku boleh ikut??"

Nadia gadis cantik Putri pertama keluarga Ramsay yang kini duduk di bangku kelas 2 SMA, dan menginjak usia 16 tahun.

''Besok?"

''Ehh maksudnya dalam jangka dekat ini''

''Ohhh, ikut aja''

'Boleh mah? serius"

''kenapa enggak, ikut lah masa enggak''

''makasih mamaaa''.

Asyik keluarga bahagia yah bund, bikin iri Mimin aja deh hahahaaa...

semua orang di ruang TV sedang asik dengan dunia mereka masing masing...

PYAARR

Suara benda pecah itu menghancurkan suasana nyaman di ruang keluarga, semua orang menoleh pada sumber suara.

ada seorang wanita sedang berdiri di dekat serpihan gelas yang pecah karna jatuh dari tangan nya

Bimo yang mendengarnya langsung menghampiri nya untuk mencari tahu apa yang terjadi. pelayan itu pun meminta maaf pada kepala penjaga yang bernama Bimo

''Maaf pak Bimo saya tidak sengaja''

''Ada apa Bim?" tanya Helen yang baru menghampiri mereka

''maaf nyonya membuat keributan, dia tidak sengaja menjatuhkan gelas berisi air yang akan dibawa ke kamar mas Dava"

''Ya sudah bersihkan hingga bersih, jangan tersisa sedikit pun, nanti bisa melukai siapapun''

''Baik nyonya''..

"Cepat bersihkan ini hingga bersih dan bawakan gelas air yang baru untuk di bawa ke kamar tuan muda Dava"

'' Ohh iya Bim, air untuk Dava biar saya sendiri yang bawa''

''baik nyonya, kamu cepat bersihkan"

''baik pak''

Di sisi lain Kevin berjalan melewati kamar kakaknya, Nadia, ketika pintu tiba-tiba terbuka. Nadia muncul dengan ekspresi penasaran, "Kevin, kamu mau ke mana?"

''Kamar Dava.'' jawab nya singkat langsung berjalan menuju kamar Dava. Kevin memasuki kamar Dava dengan perasaan senang, membayangkan melihat dava tidur dengan lelap. sesekali dia berniat untuk tidur bersama sang adik.

Namun, begitu ia membuka pintu, pemandangan yang mengejutkan menyambutnya. Di sana, seorang wanita berdiri di samping tempat tidur, memegang bantal erat di kedua tangannya, siap membekap Dava yang terbaring tak sadar.

Mata Kevin membelalak, dan tanpa berpikir panjang, dia langsung bergerak cepat. Dengan sigap, tangannya menangkap bantal itu sebelum sempat menyentuh wajah Dava. Bantal terlempar ke samping, dan Kevin berdiri tegak, menatap tajam wanita itu. Nafasnya memburu, penuh kemarahan.

“Siapa kau? Apa yang kau pikirkan? Apa yang kau coba lakukan?” Kevin menggeram, suaranya keras dan penuh tuntutan. Mata wanita itu melebar sejenak, tapi belum menjawab. Kevin terus menatapnya, marah dan penuh waspada, menunggu penjelasan yang mungkin tak akan pernah datang.

"

next part....

****************

okee guys segitu dulu semoga kalian seneng

Salam cantik semua....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!