Pengisi Hati Tuan Muda Kesepian

Pengisi Hati Tuan Muda Kesepian

00.01 (Revisi)

"DAVAAAA, AWASSSSS"

BRAKKK....

Malam yang biasanya tenang dan sunyi, mendadak berubah menjadi mencekam. Hanya suara desiran angin yang terdengar sebelumnya, kini tergantikan oleh sebuah dentuman keras yang mengguncang udara. Suara itu seperti petir yang menyambar, memecah keheningan malam. Sejenak, semua terdiam, seolah waktu berhenti. Beberapa orang yang tengah perjalanan pulang berhenti sejenak, matanya terbelalak mencari asal suara.

Tiba-tiba, terdengar dentuman keras dari sebrang jalan, ketegangan di hati mereka yang sedang melakukan aktivitas di jalanan. Sebagian orang berlari ke sebrang, mencari sumber suara. Di antara mereka, wajah-wajah yang cemas dan pucat, bibir yang terkatup rapat, berusaha menahan rasa takut. Seseorang menggigil, sementara yang lain terdiam, menatap kosong ke arah kegelapan yang menyelimuti.

Angin malam semakin kencang berhembus, membawa aroma tanah basah dan suara gemerisik daun-daun kering. Di balik bayangan pepohonan yang rimbun, tampak sesosok bayangan bergerak cepat, namun tak ada yang tahu pasti apa itu. Hati setiap orang berdebar, ketakutan bercampur rasa ingin tahu yang tidak terucapkan. Suasana semakin pilu, seakan malam ini menyimpan sesuatu yang tak ingin diungkapkan.

......***......

Helen dan Robert pasangan suami istri yang sedang berbahagia menanti kehadiran putra mereka yang ke tiga, tapi kali ini bukan hanya satu putra saja tapi ada tiga dalam kandungan helen 2 seorang putra dan 1 seorang putri sedang bersemayam dalam kandungan Helen.

penantian panjang yang yang mereka nantikan akan segera hadir, usia kandungan sudah sangat matang hanya tinggal hitungan minggu saja dan mereka siap kedatangan anggora baru di keluarga nya.

namun di usianya kandungan yang belum semestinya untuk lahir, helen mengalami penurunan kesehatan, perutnya mulai berkontraksi membuat nya merasakan sakit yang sangat parah

Tak kuasa dengan rasa sakit yang dia rasakan ia berteriak memanggil suaminya yang sedang berada di ruang kerjanya, Helen merosot kebawah karena tidak tahan menahan perutnya yang terus bergejolak

AAAAAA

teriaknya begitu nyaring hingga terdengar di sepanjang lorong dan ruang an, Robert yang sedang berkecamuk dengan laporan laporan perusahaan tersentak mendengar teriakkan istrinya.

Robert sengaja untuk bekerja dari rumah karna khawatir dengan kondisi istri tercinta nya.

semua orang yang mendengar teriakkan Helen langsung berlari menuju kearahnya dan dengan panik melihat keadaan nya yang terus kesakitan

Bi Ijah kepala pelayan rumah dan beberapa pelayan ikut panik dan segera menghampiri tuanya untuk memberi tahu keadaan sang nyonya, seisi rumah ini berguncang karna kondisi dari Nyonya besar rumah ini sedang di landa rasa sakit

Robert yang mendengar suara istrinya langsung berlari menuju ruang tengah, saat ia keluar dari ruangan nya ia bertemu dengan salah satu pelayan rumah yang hendak memanggil nya, dengan raut wajah cemas ia mengatakan dengan terbata bata

"Tuan, nyonya Tuan"

Robert mengangguk dan segera pergi ke ruang tengah tempat istrinya tengah menahan kontraksi, dengan segera ia memanggil istrinya dengan panik segera mengangkat tubuh istrinya dan berteriak pada bawahan nya.

"sayang!, cepat siapkan mobil!"

Langit yang penuh awan putih, dengan terik mataharii semakin menambah sensasi ketegangan. Kegelisahan dalam hati Robert semakin membara. Ia memegang setir mobil dengan cemas, matanya sesekali melirik ke arah Helen yang duduk di kursi penumpang, wajahnya memucat dan keringat dingin membasahi dahinya. Kontraksi yang datang lebih cepat dari yang mereka harapkan telah memecah keheningan malam.

Helen menggenggam tangan Robert dengan erat, matanya terpejam, dan bibirnya menggigit, menahan rasa sakit yang datang bergelombang. Setiap kali gelombang kontraksi datang, tubuhnya menegang, membuatnya menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengeluarkan suara kecil, menahan rasa sakit. Wajahnya terlihat lelah, namun ada semangat di balik kesakitannya—semangat untuk menyambut tiga nyawa yang ada di dalam perutnya.

“Tenang, sayang. Kita hampir sampai," kata Robert dengan suara yang terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan. Ia berusaha keras untuk tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang. Rasa cemas menyelimuti, takut jika bayi-bayi mereka datang terlalu cepat, lebih cepat dari yang seharusnya.

Di luar, jalanan terasa padat, Robert menekan pedal gas lebih dalam membelah jalanan, berharap mereka bisa sampai ke rumah sakit secepat mungkin. Suara mesin mobil yang menggulung seolah ikut bersaing dengan deru napas Helen yang terengah-engah.

“Robert...” Suara Helen terdengar parau, penuh kepanikan. “Ini... sakit sekali. Aku takut… terlalu cepat, kan? Aku tidak siap, ini belum waktunya.”

Robert menggenggam tangan Helen lebih erat, berusaha menenangkan, meskipun dadanya terasa sesak. “Kita sudah siap, Helen. Kamu kuat. Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan ini hanya langkah terakhir. Kita akan sampai ke sana, dan semua akan baik-baik saja."

Namun, meskipun ia mencoba menenangkan, ada rasa tak pasti yang merayap di benaknya. Bagaimana jika ini berisiko? Bagaimana jika bayi-bayi mereka lahir lebih cepat dari yang bisa ditangani? Setiap detik terasa seperti sebuah perjalanan yang memisahkan antara ketenangan dan ketegangan, antara harapan dan kecemasan.

Helen menggigit bibirnya, menahan isak tangis yang semakin tak bisa ia kendalikan. “Robert… aku merasa seperti… ini akan terjadi sekarang juga,” katanya dengan suara tercekat, matanya membuka, penuh rasa takut dan kebingungan.

“Jangan khawatir, sayang. Kita sudah hampir sampai,” jawab Robert, meskipun nada suaranya semakin serak, tak mampu menyembunyikan kegugupan yang membuncah.

Sekali lagi, kontraksi datang menghampiri, lebih kuat dan lebih sering. Helen menutup mata, menggenggam tangan suaminya lebih erat lagi. Suara Helen yang sesekali terlepas dalam isakan, membuat hati Robert semakin teriris. Ia memaksakan diri untuk tidak melihat ke belakang, meski tubuh Helen sudah menunjukkan tanda-tanda kesakitan yang tak terbendung.

Mobil terus melaju, menggulung jalanan yang kosong, namun setiap detiknya semakin terasa semakin berat. Ketegangan antara mereka berdua seperti menghimpit ruang di dalam mobil. Namun, di tengah rasa takut itu, ada pula kekuatan yang tumbuh. Kekuatan yang datang dari kenyataan bahwa mereka tidak sendirian, bahwa mereka berdua, dan bayi-bayi mereka, akan melewati ini bersama.

“Robert... aku… aku takut,” suara Helen kembali terdengar, kali ini lebih lembut, hampir seperti bisikan.

Robert menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, lalu berkata, “Aku di sini, sayang. Kita bersama-sama.”

Ketika mobil mereka akhirnya menyentuh pintu gerbang rumah sakit, hati Robert merasa lega sejenak, meskipun kecemasan masih membayangi. Begitu pintu mobil terbuka, perawat segera mendekat, dan mereka dengan cepat membantu Helen keluar dari mobil.

Hari yang sebelumnya damai dan santai, kini berubah menjadi penuh ketegangan. Robert menggenggam tangan Helen saat mereka berjalan menuju ruang bersalin, satu-satunya hal yang dapat ia lakukan adalah berdoa, berharap kelahiran anak kembar tiga mereka dapat berjalan lancar.

sampainya di koridor rumah sakit langkah kaki perawat yang terburu buru segera menghampiri suara roda bangsal rumah sakitpun semakin membuat suasana semakin cemas. Kontraksi yang datang lebih awal, jauh sebelum perkiraan dokter, membuat segalanya terasa lebih mendesak.

Suasana di ruang bersalin itu terasa penuh harapan dan kekhawatiran. Helen, dengan perut yang semakin membesar, duduk di tepi tempat tidur, menggenggam tangan Robert dengan erat. Mereka saling menatap, seakan menguatkan satu sama lain. Selama sembilan bulan terakhir, mereka telah menantikan momen ini—kelahiran anak kembar tiga mereka, yang sudah mereka bayangkan akan menjadi anugerah terbesar dalam hidup mereka.

Robert, meski tampak tenang, tidak bisa menyembunyikan kilatan kecemasan di matanya. Ia memegang tangan Helen dengan penuh perhatian, wajahnya penuh harap. "Bunda, kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya lembut, mencoba menenangkan.

Helen mengangguk, meski napasnya mulai terengah. Ia merasakan sedikit ketegangan di perutnya, namun masih menganggap itu bagian dari proses normal. Mereka berdua tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan kegugupan. Namun, suasana yang tenang itu tiba-tiba pecah dengan suara keras.

"Hhh... Robert, sakit!" Helen berteriak pelan, wajahnya berubah menjadi pucat. Tiba-tiba, rasa nyeri yang kuat menyerang perutnya, memaksanya untuk meremas tangan suaminya lebih erat lagi. Wajahnya memucat dan keringat dingin mulai membasahi dahinya.

Robert terkejut, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Helen? Apa yang terjadi? Ini... ini terlalu cepat!" Ia segera berdiri, tampak cemas, matanya mencari-cari bantuan. Sesuatu yang tak terduga terjadi—kelahiran anak kembar tiga yang seharusnya masih beberapa hari lagi kini mendekat lebih cepat dari yang mereka harapkan.

Helen menahan rasa sakit yang datang begitu mendalam. "Aku rasa... ini... kontraksi, Robert," katanya dengan suara tercekat. "Tapi, ini... terlalu cepat, bukan? HPL masih beberapa hari lagi..."

Robert mengusap keringat di dahi Helen, dan meskipun ia berusaha tenang, ketegangan di wajahnya tidak bisa disembunyikan. "Tenang, sayang. Kita sudah di ruang bersalin sekarang," kata Robert, berusaha meyakinkan, meskipun hatinya sendiri penuh kekhawatiran.

Dalam detik-detik yang menegangkan itu,

Helen menggigit bibir, menahan rasa sakit yang semakin hebat. "Aku takut, Robert," suaranya gemetar. "Apa semuanya akan baik-baik saja?"

Robert menatapnya dengan penuh kasih, mencoba menenangkan. "Anak-anak kita kuat, dan kamu juga. Kamu bisa melaluinya, Helen. Kita sudah menunggu momen ini. Semua akan baik-baik saja."

Namun, meskipun ia mencoba menunjukkan keberanian, dalam hatinya, Robert merasakan ketakutan yang sama mendalam. Mereka hanya bisa berdoa, berharap segala sesuatunya berjalan lancar. Saat perawat datang dan mulai mempersiapkan segala sesuatunya, satu-satunya yang mereka tahu adalah kenyataan bahwa kelahiran anak-anak mereka—yang sudah lama dinantikan—akan segera dimulai, lebih cepat dari yang mereka bayangkan.

Ruangan bersalin itu penuh dengan suara mesin yang berdengung dan langkah kaki para perawat yang sibuk mempersiapkan peralatan. Di sudut ruangan, Robert berdiri dengan cemas, menatap Helen yang terbaring di ranjang. Wajahnya tampak pucat dan penuh kelelahan, namun yang paling mengganggu pikirannya adalah rasa sakit yang semakin hebat yang dirasakan Helen—serta kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.

Helen terbaring dengan napas tersengal-sengal, tubuhnya menggigil di bawah selimut tipis. Matanya yang terpejam sesekali terbuka, menatap Robert dengan ekspresi kesakitan yang tak bisa lagi disembunyikan. Tubuhnya sudah lelah, namun kontraksi masih datang, lebih kuat dan lebih sering.

Robert memegang erat tangan Helen, mencoba memberikan kekuatan dengan senyum yang bahkan ia sendiri tahu tidak meyakinkan. Namun, saat itu juga, pintu ruangan terbuka dan seorang dokter wanita, yang tampaknya sudah memeriksa kondisi Helen, masuk dengan wajah serius. Di belakangnya, beberapa perawat segera mengikuti, membawa peralatan medis.

“Tuan Robert,” dokter itu memanggil, dan suaranya yang tenang tapi tegas membuat jantung Robert berdegup lebih kencang. “Kita perlu bicara.”

Robert berdiri sedikit lebih tegak, berusaha menutupi rasa cemas di wajahnya dengan ekspresi yang penuh perhatian. “Apa yang terjadi, Dok?”

Dokter itu menghela napas sebelum berbicara, memandang Robert dengan penuh perhatian. “Keadaan Istri anda menurun. Kita sudah melakukan pemeriksaan, dan ada beberapa komplikasi. Bayi-bayi kembar di dalam kandungannya tersangkut, dan detak jantung mereka mulai menurun. Ini bisa membahayakan mereka dan ibunya jika dibiarkan berlanjut.”

Robert terdiam sejenak, kata-kata dokter itu seperti petir yang menyambar. “Apa maksudnya, Dok? Apa yang harus dilakukan?” suara Robert mulai pecah, suaranya terbata-bata, tapi matanya tak pernah lepas dari wajah dokter itu.

Dokter itu menatapnya dengan serius. “Kami harus melakukan operasi sesegera mungkin, Robert. Persalinan normal sudah tidak memungkinkan lagi. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan ibu dan anak-anaknya.”

Robert merasa seolah dunia berputar lebih cepat. Rasa cemas dan ketakutan yang selama ini ia coba sembunyikan kini datang menghujam begitu mendalam. Ia menoleh ke arah Helen yang kini mulai terisak, wajahnya penuh ketakutan. Robert menggenggam tangan Helen dengan kuat, berusaha memberi dukungan, meski hatinya penuh dengan kecemasan yang sama.

“Helen, sayang…” Robert berkata pelan, suaranya bergetar. “Dokter akan membantu kita, semuanya akan baik-baik saja.”

Helen memandangnya dengan mata yang basah, mulutnya terbuka ingin berkata sesuatu, namun rasa sakit membuat suaranya terhenti. Air matanya mengalir deras, wajahnya penuh ketakutan. "Robert… aku… aku takut..." katanya dengan suara terengah-engah.

Robert mengusap air matanya, lalu menatap dokter itu dengan penuh harap. “Tolong… lakukan apa yang harus dilakukan, Dok.”

Dokter itu mengangguk dan mendekat. “Kami akan membawa Helen ke ruang operasi sekarang. Prosedurnya harus segera dilakukan sebelum kondisinya semakin memburuk. Kamu harus menunggu di luar, Robert. Kami akan memberi kabar setelahnya.”

Robert merasakan dadanya terhimpit. “Tapi… aku harus di sana, bersama Helen…”

Dokter itu menatapnya dengan penuh pengertian, lalu berkata lembut. “Kamu harus kuat, Robert. Kami akan lakukan yang terbaik. Helen akan baik-baik saja, dan bayi-bayi kalian juga.”

Robert mengangguk lemah, meskipun rasa cemas semakin menggulung di perutnya. Ia mencium tangan Helen dengan lembut, memandang wajah istrinya yang tampak begitu lemah. "Aku cinta kamu, sayang. Aku akan menunggumu."

Helen hanya bisa mengangguk, matanya yang lelah menatap suaminya dengan penuh harapan dan ketakutan. Sebelum perawat dan dokter membawa Helen keluar dari ruang bersalin, Robert memberikan ciuman terakhir di dahinya, dan dengan hati yang berat, ia melangkah mundur, meninggalkan ruangan itu, berdoa dalam hati bahwa semuanya akan berjalan lancar.

Suasana di luar terasa begitu sunyi, dan meskipun lampu-lampu rumah sakit berkelip terang, Robert merasa seakan malam itu begitu gelap. Ia duduk di kursi ruang tunggu dengan perasaan cemas yang menyelimutinya, menunggu, berharap, dan berdoa agar istrinya dan anak-anak mereka selamat.

...***...

Ruangan bersalin itu penuh dengan suara mesin yang berdengung dan langkah kaki para perawat yang sibuk mempersiapkan peralatan. Di sudut ruangan, Robert berdiri dengan cemas, menatap Helen yang terbaring di ranjang. Wajahnya tampak pucat dan penuh kelelahan, namun yang paling mengganggu pikirannya adalah rasa sakit yang semakin hebat yang dirasakan Helen—serta kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.

Helen terbaring dengan napas tersengal-sengal, tubuhnya menggigil di bawah selimut tipis. Matanya yang terpejam sesekali terbuka, menatap Robert dengan ekspresi kesakitan yang tak bisa lagi disembunyikan. Tubuhnya sudah lelah, namun kontraksi masih datang, lebih kuat dan lebih sering.

Robert memegang erat tangan Helen, mencoba memberikan kekuatan dengan senyum yang bahkan ia sendiri tahu tidak meyakinkan. Namun, saat itu juga, pintu ruangan terbuka dan seorang dokter wanita, yang tampaknya sudah memeriksa kondisi Helen, masuk dengan wajah serius. Di belakangnya, beberapa perawat segera mengikuti, membawa peralatan medis.

“Robert,” dokter itu memanggil, dan suaranya yang tenang tapi tegas membuat jantung Robert berdegup lebih kencang. “Kita perlu bicara.”

Robert berdiri sedikit lebih tegak, berusaha menutupi rasa cemas di wajahnya dengan ekspresi yang penuh perhatian. “Apa yang terjadi, Dok?”

Dokter itu menghela napas sebelum berbicara, memandang Robert dengan penuh perhatian. “Keadaan ibunya menurun. Kita sudah melakukan pemeriksaan, dan ada beberapa komplikasi. Bayi-bayi kembar di dalam kandungannya tersangkut, dan detak jantung mereka mulai menurun. Ini bisa membahayakan mereka dan Helen jika dibiarkan berlanjut.”

Robert terdiam sejenak, kata-kata dokter itu seperti petir yang menyambar. “Apa maksudnya, Dok? Apa yang harus dilakukan?” suara Robert mulai pecah, suaranya terbata-bata, tapi matanya tak pernah lepas dari wajah dokter itu.

Dokter itu menatapnya dengan serius. “Kami harus melakukan operasi sesegera mungkin, Robert. Persalinan normal sudah tidak memungkinkan lagi. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan ibu dan anak-anaknya.”

Robert merasa seolah dunia berputar lebih cepat. Rasa cemas dan ketakutan yang selama ini ia coba sembunyikan kini datang menghujam begitu mendalam. Ia menoleh ke arah Helen yang kini mulai terisak, wajahnya penuh ketakutan. Robert menggenggam tangan Helen dengan kuat, berusaha memberi dukungan, meski hatinya penuh dengan kecemasan yang sama.

“Helen, sayang…” Robert berkata pelan, suaranya bergetar. “Dokter akan membantu kita, semuanya akan baik-baik saja.”

Helen memandangnya dengan mata yang basah, mulutnya terbuka ingin berkata sesuatu, namun rasa sakit membuat suaranya terhenti. Air matanya mengalir deras, wajahnya penuh ketakutan. "Robert… aku… aku takut..." katanya dengan suara terengah-engah.

Robert mengusap air matanya, lalu menatap dokter itu dengan penuh harap. “Tolong… lakukan apa yang harus dilakukan, Dok.”

Dokter itu mengangguk dan mendekat. “Kami akan membawa Helen ke ruang operasi sekarang. Prosedurnya harus segera dilakukan sebelum kondisinya semakin memburuk. Kamu harus menunggu di luar, Robert. Kami akan memberi kabar setelahnya.”

Robert merasakan dadanya terhimpit. “Tapi… aku harus di sana, bersama Helen…”

Dokter itu menatapnya dengan penuh pengertian, lalu berkata lembut. “Kamu harus kuat, Robert. Kami akan lakukan yang terbaik. Helen akan baik-baik saja, dan bayi-bayi kalian juga.”

Robert mengangguk lemah, meskipun rasa cemas semakin menggulung di perutnya. Ia mencium tangan Helen dengan lembut, memandang wajah istrinya yang tampak begitu lemah. "Aku cinta kamu, sayang. Aku akan menunggumu."

Helen hanya bisa mengangguk, matanya yang lelah menatap suaminya dengan penuh harapan dan ketakutan. Sebelum perawat dan dokter membawa Helen keluar dari ruang bersalin, Robert memberikan ciuman terakhir di dahinya, dan dengan hati yang berat, ia melangkah mundur, meninggalkan ruangan itu, berdoa dalam hati bahwa semuanya akan berjalan lancar.

Suasana di luar terasa begitu sunyi, dan meskipun lampu-lampu rumah sakit berkelip terang, Robert merasa seakan malam itu begitu gelap. Ia duduk di kursi ruang tunggu dengan perasaan cemas yang menyelimutinya, menunggu, berharap, dan berdoa agar istrinya dan anak-anak mereka selamat.

istrinya di pindahkan ke ruang perawatan VVIP dengan segala kenyamanan dan kemewahan, pelayanan terbaik di rumah sakit ini sebagai pasien istimewa. Rumah sakit ini adalah rumah sakit elite di ibu kota.

Beberapa bulan kemudian

2 anak mereka sudah bisa mereka peluk, dirawat dalam satu ruangan dengan Helen sang ibu. Robert memberikan mereka nama Davi Anggara Ramsay anak yang lahir lebih dulu dan putri kedua dengan jarah 5 menit bernama Devi Anggareta Ramsay satu lagi anak terakhir dengan jarah waktu 7 menit bernama Dava Anggara Ramsay

Dava masih berada di ruang ICU.

Robert berada di balik kaca ruangan, melihat putra nya di dalam lengkap dengan selang dan alat yang membantu ia tetap bertahan hidup..

mata Robert memanas melihat kondisi putra nya, mata yang biasanya terlihat tajam dan dingin kini berubah menjadi sendu dan penuh harap, keadaan ini mengingatkan nya pada kejadian beberapa tahun lalu, ia tidak menyangka bahwa ini akan terulang kembali.

Hari demi hari, minggu demi Minggu berlalu kondisi Dava kini mulai membaik

4 bulan sudah berlalu waktu terasa begitu cepat berjalan, bayi kembar tiga itu semakin hari semakin menggemaskan. mereka sudah aktif bermain dengan hal hal yang berada di sekitar nya..

meski masih harus dirawat di rumah sakit Dava juga masih terlihat sangat aktif dan sangat menggemaskan, dengan selang oksigen yang masih menempel di hidung dan mulutnya.

...***...

"kondisi nya sudah stabil, perlu saya sampaikan dia memiliki kelainan jantung tetap jaga imun nya, dia juga memiliki tubuh yang sensitif hindari dari benturan, di bawah sinar matahari terlalu lama, sekecil apa pun lukanya bisa menjadi pemicu gejala lain, tetap kontrol satu minggu sekali, besok sudah boleh pulang", kata Dokter Harun

genap usia satu setengah tahun, untuk pertama kalinya nya Dava akan keluar dari rumah sakit, pertama kali nya ia akan melihat mansion keluarga Ramsay...

sorak ramai dari sebuh ruangan penuh dengan pemainan dan banyak anak sedang bermain di sana

disinilah tempat paling di sukai anak anak di rumah sakit

ruangan itu juga menjadi saksi bisu bagi kebahagiaan anak yang sedang berjuang mempertaruhkan hidup dan matinya, melawan rada sakit yang ia terima dari ribuan jarum suntik

tempat ini pula yang membuat mereka bahagian sementara dan melupakan segala rasa sakit yang di deritanya

Begitu pula Dava telah banyak menghabiskan waktunya di sana bermain berlari dan berteman

"Dava, ikut mama yuk, kita pulang" ucap Helen sambil mengangkat tangan sejajar dada

Hari ini adalah hari penantian panjang untuk Robert dan Helen mereka bisa membawa putra bungsu mereka pulang ke mansion

Namun karna minim nya Dava bertemu dengan mama nya membuat ia merasa asing dengan seseorang di depan nya.

merasa asing dan canggung bercampur takut membuat Dava lari kearah Siska.

Siska suster yang selalu berada di samping Dava dari usia nya menginjak 3 bulan, di samping itu ia juga bersama Rio rekan kerjanya..

mereka berdua adalah perawat yang setia menemani Dava,

duh dah kayak keluarga deh ibu bapak anak..

melihat kedekatan mereka Robert dan Helen merasa cemburu, dan merasa sedih akan hal itu.

Robert menyadari kesedihan sang istri dan ia menggenggam tangan nya sembari memberi dukungan pada sang istri.

melihat kedekatan Dava dan dua perawat itu Helen dan Robert memutuskan untuk membawa Siska dan Rio ke mansion untuk tetap merawat Dava.

selama perjalanan menuju rumah Dava hanya menempel pada Siska, mereka duduk di kursi belakang bersama helen di samping siska rio dan rober di kursi depan denga Robert yang mengendarai

Sesekali Helen akan mengambil kesempatan untuk menarik perhatian putra nya. Hingga mereka sampai di depan gerbang mansion Ramsay. Dava tertidur saat perjalanan

Bimo yang melihat mobil tuanya telah kembali segera bejaga untuk menyambut dan membuka pintu mobil, sebelum itu dia juga sudah menyiapkan kereta bayi untuk berjaga jaga.

sampai di pintu utama mansion Ramsay, mansion dengan segala fasilitas, mereka memasuki pintu utama dengan kreta bayi yang mereka dorong,..

disambut dengan teriakan anak laki laki usia 7 tahun. "mamaaaa" teriak Kevan tuan muda ke tiga dari keluarga Ramsay..

"mama, apa Dava sudah boleh pulang? apa dia tidak akan kembali ke rumah sakit? dia sudah boleh main dengan kita kan?" rentangan pertanyaan di lontarkan oleh Kevan, yang sangat antusias dengan kepulangan nya.

bukan hanya Kevan saja namun juga Kevin serta Nadia anak tertua Robert dan Helen..

"mama apa aku boleh menggendongnya,?"-Nadia

Helen berdiri mensejajarkan tinggi nya dengan putri nya "Sayang untuk sekarang Dava belom bisa di gendong sembarangan, kan dia baru saja keluar dari rumah sakit, kita juga harus sangat berhati-hati menjaga nya"

"okee ma, kalau gitu aku akan menjaganya dengan saamngat baik"

"aku juga,aku juga aku akan menjaga nya dengan sangat baik" sambung Kevan dan Kevin bersamaan

Dava yang sedang tidur dalam troli baby merasa terusik dengan perbincangan Kakak-kakak dan kedua orang tuanya..

perlahan mulai membuka mata bulat nya, pipi tembem dan merah, terlihat sangat lucu..

Dava yang belum terbiasa dengan suasana dan keadaan ini terkejut dan merasa takut.

...******...

Satu bulan berlalu Dava mulai terbiasa dan mulai mengenal keluarga nya, tapi tetap masih menempel pada Helen atau Robert..

rupanya Robert dan Helen berhasil menarik hati Dava, ada kala nya ia akan menempel pada Nadia atau Kevin...

Disaat ia menempel pada Helen ada rasa iri di hati dua kembaran nya Davi dan Diva dan menimbulkan, pertengkaran kecil...

tapi kereka bisa mengatasinya dengan memberi pengertian sedikit demi sedikit pada keluarga nya

Di usia dini mereka membaca keadaan sekitar, sepertinya keluarga Ramsay memiliki kecerdasan di atas usia mereka, tidak lupa mereka juga di bantu oleh Nadia yang perlahan lahan menjelaskan pada mereka...

Dava tumbuh menjadi anak yang ceria dengan dukungan keluarga dan saudaranya ia berhasil melewati masa masa sulit, kini ia sudah jarang pergi ke rumah sakit, meski hanya sebatas cek darah. ia hanya perlu pemeriksaan di rumah..

usianya sudah menginjak usia 7 tahun, dia sudah mulai aktif bersekolah pada umum nya anak seusia nya, meski keputusan untuk ia pergi bersekolah menjadi perdebatan panjang dalam keluarga..

Robert yang sangat posesif terhadap putra bungsu nya itu tidak setuju Dava pergi ke sekolah, ia memilih agar Dava Homeschooling saja..

Tapi Helen membiarkan untuk ia pergi ke sekolah, karna melihat antusias Dava saat melihat kakak nya berangkat sekolah dan selalu merengek untuk ikut bersekolah...

Akhirnya Robert mengalah dan membiarkan Dava pergi ke sekolah, mereka bersekolah di RM schooling internasional. Tidak lain adalah milik keluarga Ramsay sendiri..

...***...

~Taman~

"Dava, jangan jauh jauh, Dava jangan lari-lari nanti capek, Dava ayo makan dulu" -Helen

" Aduh, Mama kenapa cerewet sekali" gerutu Dafa yang mendengar mama nya berulang kali memanggil nya

"sudah lah ayo kita kembali" saut Davi saat mendengar Dava berdecak kesal, meski Dava mengucapkan dengan pelan namun cukup jelas di dengar Davi..

"yaa sudah ayo kita kembali" -kevin & Nadia

mereka semua kembali ke tempat orang tua mereka duduk, sedangkan Dava masih berdiri di tempat melihat ke arah keluarga nya dengan wajah lesung, pasal nya ia Masih ingin bermain.

"Dava"suara berat Robert membuyarkan lamunan nya, ia berjalan berjalan dengan lesung...

...***...

"paa, Dava masih ingin bermain pa"Dava merengek ingin kembali bermain besama temannya dan anak anak sebaya nya di taman kota itu, Dava berusaha untuk berdiri namun perut nya di tahan oleh tangan Robert,

Dava berada di pangkuan Robert dengan tangan Robert melingkar di perut Daffa "paa, please kali ini saja, Papa" ia tak berhenti merengek

"kan dari tadi sudah main, sekarang sini dulu temenin papa, luruskan kaki nya dulu.."

Helen terkekeh melihat tingkah suami dan putra nya, namun wajah Helen berubah "paa"

Robert yang mendengar dengan samar menoleh kearah istri nya dengan wajah bertanya

Helen memberi isyarat pada Robert dengan memegang telinga nya namun ia menunjuk ke arah Dava yang berada di pangkuan Robert. Robert yang paham dengan maksud istrinya langsung melihat kearah Dava,..

melihat Helen yang mengeluarkan beberapa botol obat-obatan Dava mulai menangis takut..

"ma, jangan ma, Dava nggak mau hiks hiks"

next part....

Terpopuler

Comments

pacar renjun

pacar renjun

min Daffa apa Dava

2022-08-26

0

pacar renjun

pacar renjun

min kurang greget

2022-08-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!