MRI (Membunuh Rasa Ini)

Seorang perawat wanita mengajakku ke ruang MRI guna menjalani tindakan yang telah dijadwalkan oleh Dokter Hartono sebelumnya. Perawat muda yang mengenakan hijab tersebut membantuku untuk menanggalkan seluruh pakaian serta aksesoris yang melekat ditubuh ini dan menukarnya dengan pakaian khas tindakan MRI.

Jari-jemari lembut wanita muda itu menuntun tanganku mengenakan baju khas itu. Beberapa kali ponsel milikku yang tergeletak tak berdaya di meja di dalam ruang ganti ini terus berbunyi.

Kutatap layar ponsel keluaran terbaru yang telah menjadi milikku itu. Nama yang tak asing di hidupku tertulis secara jelas di layar gawaiku.

"Panca ..." sebutku mengikuti nama yang tertulis sedang berusaha menghubungi nomer ini.

"Hallo Kak, bagaimana keadaanmu? Apa yang dikatakan oleh dokter pada Kakak?"

Panca menghujani telinga ini dengan berbagai pertanyaan yang membuatku kesulitan untuk menjelaskan bersamaan. Menang seperti itu lah Panca, pria imut serta manis putra pemilik rumah yang telah kusewa beberapa masa ini.

Panca dan aku telah akrab setelah kami pertama kali dipertemukan oleh keadaan di hubungan antara penyewa dan pemilik rumah. Panca adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi semester akhir di universitas ternama di kota ini. Pemuda modis serta hangat ini memang telah kuanggap seperti adikku sendiri, terkadang sifat kekanak-kanakannya membuatku seperti memiliki saudara lelaki sahaja.

"Belom tau Pan, setelah tindakan MRI ini kami baru tahu apa penyebab rasa sakit ini."

"Ouh, take care Kakak, doaku selalu menyertaimu!"

Begitu kami saling menguatkan dan menutup panggilan ini, segera kutitipkan ponselku pada perawat tersebut. Ada rasa yang membelenggu hati ini, ada sebuah kegetiran yang tiba-tiba merasuki alam bawah sadarku. Oke benar ini hanya sebuah prosedur pengecekan kesehatan biasa saja, aku hanya perlu untuk terus mengikuti arahan dokter brengsek itu saja. Kucoba untuk terus menyemai ragu di hati.

Perawat yang sedari tadi bersamaku mempersilakan pasiennya yakni aku untuk mengambil langkah mendekati mesin MRI untuk memindai keluhan yang kurasakan. Apa alat pindai itu juga bisa mendiagnosis penyakit hatiku? Bulshit!

Kokohnya alat pemindai itu tak mampu menyamarkan kekhawatiran yang kurasakan. Aku takjub pada teknologi kedokteran abad terakhir ini.

Di ruangan kontrol yang berada di seberang mesin pemindai ini kulihat dokter sialan itu menatap ke arahku. Rasa takjubku menyingkir begitu saja kala kulihat tatapan angkuh penuh kesombongan milik Syadam.

"Sebenarnya yang bertugas kali ini bukan saya, jam kerja saja telah berakhir. Namun dokter Syadam menahan pergantian shirt kami." keluh seorang wanita lagi yang kurasa seorang teknisi alat pemindai ini.

"Maaf, menyusahkan Anda karena harus menemani saya." ucapku tulus dari dalam hati yang terdalam. Bagaimanapun juga karena akulah yang menyebabakan wanita ini tidak istirahat.

"Tak masalah, karena dokter Syadam salah satu dokter idola di rumah sakit ini. Meski masih kalah muda dari dokter Andrian." tutur teknisi mesin MRI itu padaku.

Dia pikir aku perduli bila Syadam menjadi idola di rumah sakit ini? Dia pikir terhanyut bila tahu Syadam merupakan dokter yang dielu-elukan di rumah sakit ini? Pada kenyataannya aku sungguh tak perduli terhadap kehidupan Syadam.

"Dokter Andrian? Aku pernah bertemu beliau sebelumnya."

"Benarkah?"

"Aku bertemu ketika datang poli gigi untuk merapikan posisi gigiku saat itu!" bodoh, mengapa aku harus menjelaskan pengalaman tak penting ini pada orang lain yang bahkan tidak kukenal sebelumnya.

"Meski dokter Syadam kalah muda, tapi beliau merupakan idola di divisi bedah sentral."

"I dont care!"

Tentu saja aku tidak peduli tentang hal itu, Syadam yang kukenal dulu telah lama mati. Meski nasib tidak berpihak pada hubungan kami, tapi kuharap tak bertemu dengannya lagi.

Jujur saja aku ingin segera menyelesaikan prosedur ini dan segera menghilang agar masa lalu tidak pernah lagi menyapaku, agar masa lalu tidak membisiki buaian manisnya harapan.

Aku sudah tak tahan lagi melihat wajahnya, wajah itu! wajah yang dulu menghilang begitu saja bak hantu.

Jujur saja perasaan itu telah lama padam, aku mulai bisa menerima kenyataan pahit dari hubungan yang tak berujung ini. Hubungan tanpa ada kata perpisahan, hubungan tanpa adanya kerinduan.

Kini Tuhan mulai mengajakku untuk bercanda. Nasib seakan ingin mengolok-olok diriku, sudah kuat kah perisai di dalam ragaku agar aku tak merima hadirnya kini.

Kenapa kita harus bertemu pada situasi ini? Ke mana lagi aku harus menghindar. Bagaimana lagi caraku untuk mengubur kenangan itu?

"Siap?" tanya teknisi itu padaku.

Aku lelah, maka dari itu aku tak menjawab pertanyaan teknisi itu namun kuganti jawaban itu dengan anggukan kepala saja. Ah segala rasa bercampur jadi satu dalam benakku kini.

Mata dokter itu tak sedikitpun lepas dariku. Entah ada masalah apa, Syadam beranjak dari tempat duduknya dan berjalan dengan pasti ke ruangan MRI stelah sejak tadi ia hanya duduk di ruang kontrol saja.

Syadam melangkah menuju posisiku, wajah seriusnya membuatku tak bisa menemukan bahwa dialah Syadam yang kukenal dulu. Pandangan matanya tajam, tak pernah terbesit sekalipun bila Syadam bisa berlaku seperti ini.

Apa dia mendengar pembicaraan di antara aku dan teknisi itu? Apa dia marah padaku?

Wajahnya penuh keseriusan, rahangnya mengeras penuh kebencian. Syadam menarik tanganku dan menggesekkan jari telunjukku pada benda yang baru saja ia keluarkan dari kantong jasnya.

"Sialan itu ponselku!"

Syadam membuka paksa ponsel milikku dengan sensor sidik jari milikku. Pria brengsek ini mengapa bertindak semaunya?

"Ingat Del, kamu pasien saya!" ucap dia penuh emosi lalu pergi, dan hanya menyisakan tanda tanya dari raut wajah teknisi yang sejak tadi bersamaku.

🎶🎶

If teardrops could be bottled

There'd be swimming pools filled by models

Told "a tight dress is what makes you a whore"

If "I love you" was a promise

Would you break it, if you're honest?

Tell the mirror what you know she's heard before

I don't wanna be you, anymore

Hand, hands getting cold

Losing feeling is getting old

Was I made from a broken mold?

Hurt, I can't shake

We've made every mistake

Only you know the way that I break

🍁🍁🍁

Terpopuler

Comments

Hasni Jaya Almahdaly

Hasni Jaya Almahdaly

masih menerawang jauh dii ujung timur 🤔🙄😅😅

akuuu datang TOOR 🥰
semangat 💪🏻

2021-12-19

0

🧭 Wong Deso

🧭 Wong Deso

Syadam, syadam, kau ini sebenarnya pria macam apa?😳

2021-09-25

1

྅≞⃗ Yudho☘️"ķïťå"

྅≞⃗ Yudho☘️"ķïťå"

belum jelas

2021-09-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!